Bagian 20

1.5K 151 7
                                    

Sinem, menatap pantulan dirinya di cermin. Setelah melepas kepergian Dadang.

5 Tahun sudah dirinya membenci cermin, lebih dari itu, dirinya menatap sinis pada pantulan cermin.

Bukan, bukan pada bayangan dirinya. Namun, pada sosok hitam yang tengah menatapnya dengan sorot mata dingin.

"Kita hanya sejauh lapisan cermin, mau diikat di hutan manapun, aku punya celah mengunjungimu. Kenangan itu mengendap di kepalamu, tapi membeku di hatimu, hingga tak bisa kau utarakan. Bayi, yang darahnya di paksa tumpah itu.. Kau juga ambil bagian" ucap sosok hitam itu, kembali menatap kaca.

Lambat laun, pantulan sosok hitam dengan wajah rusak, mulai memudar. wajahnya berangsur pulih, hingga menampilkan paras ayu.

"Bolehkah, kita lupa Mbok? Nyatanya bayi-bayi itu menuntut kebenaran. Semua darah yang tumpah menuntut balasan yang setimpal, jangan ada yang mati lalu seakan-akan dia hitam sepertiku" ucap sosok itu, sebelum benar-benar menghilang.

Di gantikan dengan segerombol anak yang menatap Mbok Sinem dengan pandangan menuntut. "Mati" ucap anak perempuan yang menggunakan jaket berwarna biru, satu-satunya anak yang tidak telanjang.

Mbok Sinem, menutup mulutnya. Kala, bayi-bayi semerah darah mulai merangkak, menaiki badanya yang gemetar. Bayi itu terus naik, lalu berucap "Ileng" (ingat)

Gelap, Mbok Sinem seakan di suguhi potongan-potongan memori yang sudah usang. Memori yang menyuguhkan potongan dosa yang dia lakukan.

5 tahun silam.

Widuri, mengenakan sarung tangan karetnya. Memandangi Mega yang tengah kesakitan. Obatnya sudah bekerja, membuat Bayi dalam kandunganya meregang nyawa.

"Gimana? Kamu harus cepat bunuh bayinya! Sebelum warga curiga sama saya!" ucap Dharma kasar.

"Kalau gamau Warga curiga, harusnya jangan melakukanya lagi! ini sudah ke lima kali Bayi si Mega di gugurin! Mas Dharma gak mikir ya?"

Plak...

Tamparan keras mendarat pada pipi Widuri, tatapan Widuri melotot, seakan sudah muak dengan semua permainan kotor Dharma.

"Kalau gak mau nurut apa kata saya, saya sebarkan apa yang sudah kamu lakukan sama Dadang!" ancam Dharma.

"Saya sudah muak, dengar permainan licik kamu! Adik kamu yang memperkosa saya, kamu juga yang mengancam akan menyebarkan berita itu terus menerus! Kamu ancan saya, suapa saya ikut andil dalam permainan kotor kamu, termasuk mengaborsi anak si Mega!"

"Harrrgggg saya gak peduli! kamu singkirkan anak itu sekarang juga!" bentak Dharma.

Mbok Sinem menguping dari balik pintu, sebelum masuk membawa satu bokor air hangat.

"Saya sudah gak mau ikut permainan kotor ini! Persetan semuanya!" ucap Widuri bergegas pergi dari dalam rumah.

Tapi baru juga membuka pintu, terlihat warga beramai-ramai datang dengan wajah penuh amarah.

"Dokter Setan! Tukang aborsi!" teriak warga penuh anarah, di belakang Warga terlihat Dadang yang tengah menatap Widuri dengan senyum sinis.

Dhama yang mendengar hal itupun bergegas lari, lalu merengkuh badan Widuri dengan sigap.

"Aku wes ngonangi disek! Widuri arep ngluruhne jabang bayine, Mega!" (Aku sudah mergokin duluan! Widuri mau menggugurkan Bayinya si Mega) ucap Dharma, membuat Widuri menatap tajam pada Dharma.

"Bohong!! Dia dalangnya!" teriak Widuri.

"Opo enek penjahat seng gelem ngaku? Mesti golek kambing hitam to?" (apa ada penjahat yang mau ngaku? Pasti cari kambing hitam kan?) ucap Dadang, menyulut kemarahan Warga.

"Sengkuni!!" teriak Widuri, menatap Dadang dengan pandangan penuh amarah.

Sedangkan Dadang, tersenyum puas, melihat Warga mengerumuni Widuri. Menjambak rambutnya, memukul wajahnya, menendang badanya.

Namun, dari kejauhan ada sosok yang hanya mematung. Menatap tanpa bereaksi, seakan ikut menikmati rintihan Widuri. Sosok itu, Mbok Sinem. Kunci dari segala rahasia besar Desa Rantru.

*H-5 tamat 🖤🙏🏻

RUMAH DINASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang