Bagian 18

1.6K 156 2
                                    

Bulan purnama, membuat penerangan tidak terlalu di butuhkan. Dharma menyulut rokok, menghisapnya dalam-dalam, lalu menghembuskan asap itu berbarengan dengan beban yang menggumpal di hatinya.

"Ndoho mbalek maneh, gowo gawan soko Rawa Teluh. Mundak dina soyo ruwet. Pye lak Dokter sampek eroh. Opo iyo bakal di gawe koyo Wireng?" (Ndoho, kembali lagi. Membawa sesuatu dari Rawa Teluh. Semakin hari keadaan malah semakin runyam. Bagaimana kalau Dokter sampai tau? Apa bakal di buat seperti Wireng?) Tanya Dharma, pada Dadang, yang tengah duduk bersila.

"Lak ancen Dokter iku ngerti, dee gak iso ucul saka deso. Lak ancene kudu mati, matine kudu nde deso iki. Rahasia, ora oleh sampe njobo" (Kalau memang Dokter itu tau, dia tidak bisa lepas dari desa ini. Kalau memang harus mati, matinya pun harus di desa ini. Rahasia, tidak boleh sampai tersebar) jawab Dharma dengan tegas.

Dadang mengangguk ringan sembari memegangi janggutnya, "Kedaden maneh ahire.. Padahal Dokter iku kudune suwe nde kene, coro dee ora ngerti opo-opo" (kajadian lagi ahirnya.. Padahal Dokter itu harusnya lama di sini, kalau saja dia tidak tau apa-apa) ucap Dadang.

"Suruh warga ke batas desa.. Untuk berjaga-jaga"  menutup pembicaraan suram malam itu.

.......

Bowo tak mengalihkan pandanganya dari jendela, di lihatnya jalan setapak yang sepi. Hatinya gelisah, memikirkan kedatangan Ndoho bersama dua orang yang dirinya bawa. Bowo sudah tau, rumah siapa yang akan Ndoho tuju, melihat keadaan anak perjanjian yang lunglai itu.

Dan benar saja, yang Bowo takutkan terbukti. Septa tengah berlari menuju rumahnya, dengan raut wajah ketakutan.

Septa menarik nafasnya panjang, menghembuskanya dengan kesal, sebelum dengan cepat, Septa menggedor pintu Bowo hingga menimbulkan bunyi gaduh.

"Pulanglah Bang.. Saya gak akan bisa bantu" ucap Bowo dari balik pintu.

"Wo!! Buka dulu Wo! Setan itu baru saja ngejar aku!"

"Abang terlalu ikut campur, harusnya Bang Septa gak bantu mereka" teriak Bowo dari dalam rumah, karna gedoran Septa yang semakin kencang.

Septa menggedor pintu dengan sangat keras, sebelum ahirnya berhenti. Di tatapnya pintu itu dengan raut wajah putus asa.

"Pantas, istriku benci dengan warga desa sini! Semua Warganya gak punya hati" ucap Septa putus asa, padahal sudah sekuat tenaga dia menghalau rasa takutnya untuk bisa sampai ke depan pintu Bowo. Namun, seperti yang di katakan Dinah, tidak ada bantuan untuk mereka. Semua orang enggan menolong.

"Maksudnya Bang? Benci? Gak punya hati? Memang apa yang Mbak Mirah tau?" tanya Bowo, memekakak telinga.

"Entahlah, setelah menemui lelaki tua itu.. Banyak kebencian terpancar dari matanya" ucap Septa, sebelum melangkahkan kakinya menjauhi rumah Bowo.

"Sial..." rutuk Bowo dengan intonasi rendah, nyaris berbisik. Namun, suara itu tetap saja terdengar oleh Mbok Sinem.

"Kelewatan.. Dia mengatakan hal yang semestinya gak di ketahui Pak Dokter. Kalau begini semua dalam bahaya! Bisa-bisa kejadian Wireng terulang lagi!" (keterlaluan) ucap Mbok Sinem sembari mengurut kepalanya yang pening.

"Kalau sudah begini, Pak Dokter harus di singkirkankan?" tanya Bowo dengan mata ber kaca-kaca.

"Dharma gak akan tinggal diam" jawab Mbok Sinem lemah.

"Bu?" panggil Bowo pelan.

"Ya.. ku restui kalau memang kamu mau menolong Pak Dokter" ucap Mbok Sinem, dengan suara serak. Dari mata Bowo, Mbok Sinem tau, apa yang di inginkan anak lelakinya.

Tanpa menunggu lama, Bowo membuka pintu lebar-lebar, lalu berlari mengejar Septa.

*hallo semuanya.. Terimakasih untuk pembaca setia yg selalu menunggu upp nya "Rumah Dinas" Jangan lupa vote karna "Rumah Dinas" sudah menuju tamat. Nuhunn 🙏🏻

RUMAH DINASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang