Warga terpaku, menyimpan baik-baik kalimat yang baru saja Septa sampaikan. Kalimat ringan yang keluar, begitu menusuk bagi warga yang mendengarkan. Kalau saja Septa tau kebenaranya, mungkin Septa bisa lebih memahami, kenapa Mega bisa sampai tak terurus dan di kucilkan.
Bowo meminta salah satu warga untuk membawa Mega menjauh terlebih dulu. Selain wajah Dharma yang sudah masam karna merasa tidak di anggap oleh Septa, bagaimana pun juga penyuluhan harus di lanjutkan agar besok Septa sudah bisa bertugas.
.........
Mbok Sinem terlihat duduk santai sembari mendengarkan radio usang. Mendengarkan berita mengenai harga solar yang naik hingga membuat harga sembako juga ikut naik.
"Mbok, saya bosan" ucap Mirah yang sedari tadi ikut mendengarkan berita. Namun, Mirah malah semakin bosan karna tidak ada kegiatan.
"Mau jalan-jalan?" tanya Mbok Sinem menawarkan.
"Mau.." guman Mirah semangat.
"Ke pasar saja ya? Mumpung masih buka jam segini"
"Iya.. saya ambil dompet dulu ya Mbok, tunggu sebentar" ucap Mirah bergegas masuk ke dalam kamar untuk mengambil dompet.
Mbok Sinem menunggu dengan tenang, sampai sesuatu di dekat gorden membuat Mbok Sinem menggelengkan kepala.
"Jangan ngganggu.." gumam Mbok Sinem pelan.
"Ayo Mbok" ajak Mirah, menepuk pelan pundak Mbok Sinem. Membuat Mbok Sinem terkejut.
"Kenapa Mbok?" tanya Mirah, sembari melihat ke arah gorden.
"Bukan apa-apa, sudah ayo" ajak Mbok Sinem, menghindari topik obrolan.
.....
Dalam waktu 15 menit berjalan kaki, Mirah dan Mbok Sinem sampai pada Pasar Kutukan.
Suasana pasar terlihat ramai, walau jam sudah menunjukkan pukul 14:14 siang.
Berada di Pasar Kutukan, membuat Mirah merasa melihat film tempo dulu. Dimana banyak pedagang menjual tembikar, peralatan masak dari kayu, dan suasana toko yang temboknya terbuat dari anyaman bambu.
Apalagi apa yang di kenakan Pedagang juga sangat tradisional. Untuk laki-laki, semuanya mengenakan celana hitam di bawah lutut, mengenakan baju lorek hitam coklat, dan udeng bercorak batik, dan hampir semuanya bertelanjang kaki.
Untuk perempuan, semuanya mengenakan jarit, dan kebaya dengan berbagai warna, rambut juga di tata rapi, di sanggul. Terlihat sangat manis.
Walaupun sudah siang, Pedagang masih menjajakkan dagangannya dengan semangat. Membuat Mirah terkagum-kagum.
"Sekalian belanja buat masak besok Mbok" pinta Mirah, sembari menuju pedagang sayur.
"Ajenge tumbas napa Mbak ayu?" tanya Mbah, penjual sayur.
"Mbahnya ngomong apa Mbok?" tanya Mirah kurang paham dengan bahasa yang digunakan Pedagang.
"Mbahnya nanya, Bu Mirah mau beli apa? Gitu" jelas Mbok Sinem.
"Ohhh, Saya mau beli sayur Mbah.. Cabai nya setengah kilo, bawang merah sama bawang putih sekilo, sama kangkung ini aja 2 ikat" ucap Mirah menunjuk apa yang mau dirinya beli.
Penjual mengangguk, setelah Mbok Sinem membantu menerjemahkan apa yang Mirah maksut.
Setelah selesai, penjual memasukkan sayur dan bumbu ke dalam kantung berwarna hitam gelap.
"Niki Mbak sayurnya, terus niki ndamel Nduk e" (Ini mbak sayurnya, terus ini buat anak ceweknya) ucap Mbah, sembari menyerahkan satu buah gulali berbentuk bunga.
"Nduk sinten to Mbah?" (Anak perempuan, siapa sih Mbah?) tanya Mbok Sinem kesal.
"Di gowo ae, dee pengen permen, incalno nde sanding wit gedhang" (Bawa saja, dia pengen permen. Nanti lempar aja ke pohon pisang) jawab si Mbah, memaksa Mirah membawa Permen.
Sedangkan Mirah yang tidak tau, hanya menurut. Memasukkan permen ke dalam kantung belanjaanya sebelum pulang.
*Hallo semua, "Rumah Dinas" sudah sampai Bagian 8. Semoga suka dengan cerita Jiku. Untuk saran dan masukan bisa menuliskanya di kolom komentar, dan jangan lupa like agar Jiku semangat melanjutkan cerita, dan bisa update setiap hari. Nuhunnn
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH DINAS
TerrorRumah itu, bukan hanya Rumah Dinas. Di dalamnya menyimpan pekat, atas banyak darah yang di paksa tumpah. Mawar merah yang tak sempat rekah. - Peringkat 1 #novelhorror 22/05/2021 -Peringkat 1 #cermis 23/05/2021 -Peringkat 1 #bacahorror 24/05/2021 ...