Bagian 12

1.6K 159 13
                                    

Malam terasa mengerikan, petir menggelegar, bersamaan dengan hujan yang sangat deras. Membuat siapapun memilih untuk berteduh dari pada menerabas hujan.

Pilihan itulah yang di anbil Bowo dan yang lain, berteduh di dalam Pos Ronda perbatasan hutan. Selain suara derasnya hujan dan petir, tak ada lagi yang bersuara, sedari tadi hanya diam, memandang kosong pada hutan yang di liputi kabut pekat. Menebak-nebak, setelah ini apa yang akan kembali menimpa seluruh Warga.

Semua merekatkan diri, mencoba membunuh hawa dingin yang merasuk hingga ke tulang. Sampai sayup-sayup sebuah tembang terdengar.

"Lir ilir, lir ilir, banyune wus sumilir, nak ijo royo royo na sanggul temanten anyar.. Cah angon, cah angon, penekno blimbing kui, lunyu lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodo dira..."

Tembang itu terdengar samar, walau setelahnya, tembang itu terdengar lebih jelas, bersamaan dengan sosok yang keluar dari hutan.

Sosok itu berjalan menginjak angin, kakinya mengambang. Tak hanya satu, yang keluar dari hutan ada tiga sosok sekaligus.

Sosok yang satu berambut kumal, mengenakan kebaya kotor yang penuh noda darah, dengan jarit serupa tanah. Membawa bayi se merah darah dalam dekapanya.

Tak hanya itu, dari usus  yang tadinya  berhamburan, usus itu kini mengikat satu sosok lain, sosok berbaju hitam se mata kaki dengan wajah yang koyak, dan rantai yang mengikat tangan dan kakinya. Mengikuti sosok Mega dari belakang seperti anjing yang tengah di rantai majikanya.

Semua membelalak ngeri, tat kala mega berjalan pelan mendekat ke arah Pos. Langkah itu semakin dekat, kian dekat, sampai benar-benar berhenti di depan Bowo dan yang lain.

Mega menatap Bowo dan yang lain, dengan seutas senyuman mengerikan, seakan kemenangan telah dirinya rengkuh, memperlihatkan mata merah, dengan hidung dan mulut penuh darah. Lalu menatap sosok yang ada di belakangnya.

"Lir ilir.. Lir ilir.. banyune wus sumilir.. na ijo royo royo na sanggul temanten anyar hihihihi" nyanyinya, melanjutkan jalan.

Melihat hal itu, semua warga berlari pontang-panting, tak kuasa menahan kengerian.

..........

Mirah terlihat resah, tidurnya tidak nyenyak, sedari tadi terbangun. Terlebih saat suara tangisan anak kecil membuatnya tidak tenang.

Karna tangisan itu tidak kunjung reda, Mirah ahirnya memutuskan untuk mengecek ke luar rumah. Saat itu jam menunjukkan pukul 03:00 pagi, dan Septa masih tertidur pulas.

Enggan membangunkan Suaminya karna besok bertugas, ahirnya Mirah memilih untuk mengecek seorang diri.

Mirah menyalakan lampu, agar suasana rumah menjadi terang. Lalu memekakan telinganya, mencari tau dari mana asal suara tangisan itu.

"Huu huuu huuu" suara dari arah belakang.

Mirah membuka pintu belakang, dan betapa terkejutnya Mirah, saat melihat anak perempuan sekitar umur tiga tahun tengah meringkuk di bawah pohon pisang, tanpa busana.

Mirah berlari menerjang hujan, lalu menggendong anak itu dan membawanya masuk ke dalam rumah.

"Kamu kenapa? Kok hujan-hujanan?" tanya Mirah sembari mengelap tubuh si anak.

Tak ada jawaban, anak itu masih menangis sembari menggigil, membuat Mirah merasa iba.

"Sebentar, aku ambilkan baju ya?" ucap Mirah, kembali masuk ke dalam kamar, mencari baju berukuran kecil miliknya, lalu keluar menemui si Anak.

"Pakai ini ya? Biar hangat" ucap Mirah memaikaikan jaket yang terlihat kebesaran.

Anak itu menyentuh jaket berwarna biru yang menempel pada tubuhnya. Tangisnya berhenti, memeluk erat jaket itu, lalu tersenyum pada Mirah.

"Bagus" ucapnya terbata. "Tapi, mana permenku?" tanya Anak itu sembari menatap Mirah dalam.


*Hallo semuanya, semoga suka dengan cerita ini. Cerita "Rumah Dinas" sudah sampai "Bagian 12" komen untuk saran, dan jangan lupa vote agar jiku bisa update sesering mungkin.

Dan karna dua hari jiku tidak update, semoga nanti bisa update "Bagian 13" vote terus!! Nuhunn 🙏🏻

RUMAH DINASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang