Bagian 4

1.9K 156 7
                                    

Buk Nur, melambaikan tangan. Melepas kepergian Septa dan Mirah. Lambat laun, bayangan Mirah dan Septa mulai menjauh, seakan menyaru dengan pekatnya malam.

"Reja, kan Ibuk udah bilang jangan bilang yang aneh-aneh. Kasian Bu Mirah, nanti kayak yang sudah-sudah" pesan Buk Nur.

"Mesakne Buk, Buk Mirah baik" (Kasian) jawab Reja.

"Iya, ibuk tau. Tapi, desa kita kan sudah lama ndak ada Dokter. Kalau waga sakit gimana? Mau ke desa sebrang? Ke Mbah Ndoho? Sakit fisik, ga bisa di bawa ke dukun Le, Anakku Reja. Ini juga buat kalian, lisanya di jaga. Bikin Bu Mirah sama Pak Dokter betah" ucap Bu Nur, sebelum berlalu membawa nampan berisi teh yang masih tersisa separuh.

.........

Suasana begitu sunyi, samar-samar suara angin membelai rimbun daun kadang terdengar, atau sekedar gesekan ranting pohon yang bertautan. Yang paling nyaring adalah suara lonceng Dokar dan sepatu kuda yang kadang kala menginjak bebatuan.

Jalan setapak begitu sempit. Jalan bebatuan dengan kebun karet di kanan dan kirinya, jalan yang tidak bisa di lalui oleh mobil, mungkin karna itulah suasananya begitu sunyi.

"Warga sini ramah-ramah ya Mas" ucap Mirah, membuka obrolan.

"Iya, makanya itu kamu pasti betah" jawab Septa sembari mengelus tangan Mirah.

"Tenang, Mbak Mirah.. Pasti warga akan sangat ramah, soalnya sudah lima tahun lamanya di Desa Rantru tidak ada Dokter" sahut Bowo tanpa mengalihkan pandanganya dari jalan.

"Terus kalau sakit, pada pergi ke mana Wo?" tanya Mirah penasaran.

"Biasanya kita pakai obat-obatan tradisional Mbak, atau kadang kita ke Desa sebrang, ada tetua kampung yang tau soal obat-obatan dan hal-hal berbau supranatural. Namanya, Mbah Ndoho"

"Bukanya bahaya ya Wo, kalau sakit fisik malah ke dukun?" Mirah seakan tak setuju.

"Namanya juga kampung Mbak Mirah, kalau gak percaya ke Dukun mau percaya ke siapa? Dulu juga di desa sebrang sempat ada Bidan, Ahli Gizi dan Perawat. Hanya saja, mereka gak selamat. Entah apa yang mereka perbuat. Perawatnya jatuh ke jurang waktu perjalanan, Ahli Gizi juga di temukan sama warga dalam keadaan bisu, dan yang satu lagi hilang dan belum ketemu sampai sekarang" terang Bowo panjang lebar.

"Udah Wo, jangan di lanjutkan. Nanti Istri saya malah gak tenang" ucap Septa mengingatkan.

"Waduhhh maaf loh Mbak Mirah, tapi tenang, itu cerita dari Desa Rawa Teluh, desa sebrang, bukan Desa Rantru" jelas, Bowo gelagapan.

"Gapapa kok Wo, kan saya tadi yang penasaran." jawab Mirah ringan.

Jawaban Mirah, memotong pembicaraan. Membawa kembali sunyi yang panjang. Semua seakan sibuk dengan fikiran masing-masing, sampai tak terasa Dokar berhenti pada rumah kayu yang cukup bagus, jika di bandingkan rumah warga yang lain.

"Sudah sampai Mbak Mirah, dan Bang Septa. Ini kunci yang di titipkan Pak RT. Semua sudah di sediakan, dari kasur sampai perabotan alakadarnya. Semoga betah ya Mbak Mirah, dan Bang Septa. Kami mohon pamit, besok kita ketemu lagi buat penyuluhan" ucap Bowo berpamitan.

"Ahh, makasih banyak Wo, dan Bapak-bapak yang sudah bersedia mengangkut barang-barang saya. Pokoknya saya sangat berterimakasih. Dan lagi, kalau ada yang perlu saya bantu, bisa ketuk rumah ini" ucap Septa ramah.

Semuanya mengangguk, sembari tersenyum ramah. Setelahnya, mereka mulai beranjak pergi, menyisakan Septa dan Mirah yang masih terdiam di depan rumah kayu, yang di depanya terdapat papan "Dokter Septa Kusuma"

Rumah itu melebar, seperti persegi panjang. Halamanya luas, dengan pohon mangga berukuran besar yang masih berdiri kokoh. Di samping dan kanan rumah tak ada tetangga. Keadaan rumah di himpit kebun kopi yang tengah berbunga, membuat aroma wangi menyeruak. Menggelitik hidung.

"Gak ada tetangga Mas" gumam Mirah melihat sekitar.

"Ada kok, cuman kan memang di selingi kebun kopi, jadi jarak rumah satu ke rumah yang lain rumayan jauh" jawab Septa, sembari mengelus kepala Mirah. Mencoba menenangkan.

"Yaudah, kalau gitu masuk aja ya.. Di luar dingin" ucap Mirah, merekatkam jaket nya.

"Yasudah ayo" jawab Septa merangkul Mirah untuk masuk ke rumah. Melewati sosok yang tengah menatap keduanya dengan tatapan tajam.

RUMAH DINASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang