Tak pernah Haricatra membawa jam tangan. Bayu? Tak perlu ditanya. Mereka cukup melirik langit saja. Kedua bocah itu sebelas-dua belas kalau main tebak-tebakan jam hanya dengan membaca warna langit dan awan-awan. Walaupun lahir dan tumbuh remaja di kota Singaraja, Haricatra hampir tak pernah meleset menebak jam dari kemiringan sudut matahari. Bayu tak kalah hebatnya. Dia bisa tahu jam bahkan sambil memejamkan mata. Tiap kali emaknya membangunkannya sambil berkata sudah jam lima pagi, Bayu tahu persis itu sebenarnya jam empat lebih sepuluh menit. Dia harus minta waktu tidur lima puluh menit lagi!
Saat itu pukul empat sore lebih tiga puluh menit,—menurut jam matahari versi Haricatra. Balapan sebentar lagi dimulai. Di ladang-ladang jagung Bontong, kalau warna matahari sudah meredup dan awan-awan di balik bukit berubah jadi kuning muda, Sarjan selalu menyuruh Haricatra agar cepat-cepat membereskan perkakas. Jika tidak, mereka bisa pulang kemalaman. Perlu waktu sejam untuk membereskan semua peranti itu dan menaruhnya di tempat semula. Terlambat sedikit saja, cahaya matahari bakal teralang puncak bukit dan semuanya mendadak remang.
"Aku tidak yakin dengan semua ini." Bisikan Bayu seperti rintihan seorang bocah SD yang minta permisi karena ingin buang air besar. "Kita tidak mungkin menang, Kadek."
Haricatra tak melirik. Tatapannya lurus ke ujung jalan nun jauh. "Kamu punya utang pada Mahendra, 'kan?"
"Bukan," desis Bayu dari belakang. "Dia merampok uang hasil jualan kristal biruku!"
"Berapa?"
Bayu membasahi bibirnya yang kering kerontang. "Kamu tidak akan percaya."
"Aku sampai jadi kusirmu dan kamu masih berpikir seburuk itu?"
Tangan-tangan Bayu meremas pinggang kaus Haricatra. Dia terdiam. "Dua puluh juta."
"Sinting!" Tatapan mata Haricatra buyar. Badannya berguncang. Bocah di belakangku ini punya uang sebanyak itu?
Di sisi kanan, Mahendra mengetes klakson motornya sambil sesekali menggeber gasnya keras-keras. Bayu tidak melanjutkan kata-katanya. Raungan gas itu membuat nyalinya ciut. Tak sadar, dipeluknya erat pinggang kawannya dengan tangan-tangannya yang gemetar hebat.
Dengan susah payah Haricatra membuat matanya fokus lagi. Dia mendengking, "Haruskah kamu memeluk pinggangku seperti itu?"
Muka Bayu cemberut. Tangannya langsung hengkang seperti magnet yang tolak-menolak. Penampilan kedua pembalap saingannya benar-benar mengganggu ketentraman batinnya sore itu. Mahendra dan Kalil sama-sama dibalut jins lengan panjang. Kaki mereka bersepatu kets, tak ubahnya pembalap profesional. Sementara itu, dirinya dan kusir amatirnya itu cuma pakai sandal jepit dan baju kaus obralan di pasar! Kalau motor mereka nanti melaju terlalu kencang, baju mereka pasti robek.
Arik menyeruak dari kerumunan. Mulutnya menganggar peluit merah. Tangannya menggenggam bendera kuning. Balapan itu ada pada ujung embusan napasnya.
Tiga.
Tangan Haricatra mendadak berpeluh. Jantungnya melompat-lompat panik. Jalanan di depannya mendadak bergoyang-goyang. Dikedipkannya matanya beberapa kali.
Dua.
Bayu menahan napas. Diliriknya Mahendra di sisi kanan. Anak itu menundukkan badan, bersiap melesat.
Arik meniup peluit kuat-kuat. Bendera diangkatnya tinggi-tinggi. Lalu, di sudut matanya, Bayu melihat kerumunan remaja yang berkaok-kaok itu tiba-tiba melesat ke belakang laksana selembar roll film yang diputar begitu cepat. Mereka sedang melaju seperti pesawat jet!
Setelah beberapa detik, baru Bayu bisa mengatur napasnya. Yang pertama-tama dilihatnya adalah garis-garis putih di tengah jalan yang melesat begitu cepat ke belakang. Anak itu menegakkan kepalanya. Dia menoleh ke samping kiri. Kalil sedang berjuang menyamakan kecepatan. Di kanan, Mahendra menyalip tersendat-sendat. Posisi ketiga motor itu nyaris sejajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)
AdventureUntuk mengatasi pandemi SALCON di Indonesia, pohon Nagapuspa harus ditanam lagi. Sayangnya, Haricatra justru menghadapi masalah selain teror Epsilon... masalah pelik menyangkut rasa hati seorang remaja. Selamat membaca.