Gerimis halus turun sejak sejam yang lalu dan meredam panas yang mendudus di ruas Bypass Ngurah Rai. Membelakangi matahari jingga yang redup, SUV putih itu melaju cepat sambil sesekali memantik klakson untuk menampik pengendara yang santai di lajur cepat. Beberapa kilometer lagi mereka sampai di gerbang bandara yang baru dua hari lalu ditutup karena kasus SALCON. Badan Kesehatan Dunia menetapkan batasan terbang ke wilayah tropis di musim kemarau, terutama wilayah destinasi wisata yang indeks polusi dan pencemaran lingkungannya mengkhawatirkan. Hasilnya, dua puluh ribu tenaga kerja pariwisata dipulangkan sementara.
"Jam berapa dia mendarat?" Ekayana mendorong tuas perseneling, menyalip sebuah truk loader yang terseok-seok.
Ngurah berhenti membaca. Diputarnya pergelangan tangannya lalu diliriknya arloji. "Seharusnya sekarang pramugari sedang membantunya memakai sabuk pengaman."
Mereka sudah melewati patung Dewaruci yang ikonik beberapa menit lalu, melaju lurus ke selatan, melewati puluhan pohon palem gemuk di kebun tengah jalan. Lalu-lintas begitu lenggang. Di jam pulang kerja, ruas bypass itu seharusnya macet total dan panasnya laksana jalur neraka.
Tepat lima belas menit kemudian, SUV itu memasuki gerbang bandara. Ekayana mengambil struk parkir otomatis dan dengan gesit mengarahkan kemudi ke lajur kedatangan internasional.
"Kurasa kita perlu payung," usul Ngurah. Dia merogoh kantong besar di belakang jok dan menarik segulung payung silver. Baru saja Ekayana menaikkan kecepatan weaver kaca depan, pertanda butir hujan makin besar.
Mobil itu parkir di lantai dasar. Ekayana buru-buru keluar. Ngurah yang gembul membanting pintu. Dasinya berayun-ayun liar. Setelah alarm kunci bersiul sekali, kedua pria itu tergesa-gesa keluar lewat lorong yang tembus di pelataran zona penjemputan.
Keduanya membuka payung hampir bersamaan, lalu menerjang hujan yang jatuh berantakan di pelataran aspal. Banyak orang lalu-lalang. Beberapa pria berteduh di sisi pilar besar. Sekuriti mondar-mandir awas.
Kuharap mereka tidak sampai lebih dulu. Ekayana berdebar. Kepala botaknya terciprat hujan. Ngurah tolah-toleh. Ditatapnya monitor di sisi pilar. Satu baris nomor penerbangan menyala hijau.
"Sudah mendarat lima belas menit yang lalu, Ekayana." Ngurah gundah, menaikkan fokus kacamatanya yang melorot.
Mereka berhenti di depan gapura. Kerumunan penumpang tumpah bagai gerombolan domba yang keluar berdesakan saat pintu kandang dibuka pagi-pagi. Menatap lurus menembus kerumunan, mata Ekayana tambah awas. Tak bisa lagi bibirnya diajak tersenyum.
Timbul-tenggelam di belakang segerombolan turis asing, Dhira tampak elegan dengan mantel trench krem dan topi fedora kelabu. Sejak turun dari pesawat, layar ponselnya dijejali puluhan pesan dan panggilan masuk yang membeludak bersamaan dan menuntut jawaban cepat. Semua kekacauan itu membuatnya harus berkali-kali membetulkan posisi kacamata. Satu-satunya pesan yang bisa dia abaikan adalah permintaan untuk menjadi asesor perguruan tinggi. Jika ada pekerjaan yang lebih nista daripada menggali fosil dalam lumpur toilet warga, maka itu adalah memberi akreditasi A pada tumpukan berkas penelitian palsu dan skenario kebohongan akademik.
"Profesor Dhira!" Ngurah melambai dari depan gapura.
Seperti biasa. Suaranya bagaikan klakson truk. Orang-orang menoleh.
Dhira melirik sebentar sebelum mematikan tampilan ponselnya, lalu menyeruak di antrian.
Seorang wanita tiba-tiba menyerobot kerumunan. Bahunya menyenggol lengan Dhira. Ponsel note-nya terpelanting dan terhempas ke lantai marmer. Wanita berambut keriting sebahu dan memakai jeans longgar itu kaget. Dia menyentuh lengan mantel krem Dhira seraya minta maaf dengan nada penyesalan yang keruh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)
AdventureUntuk mengatasi pandemi SALCON di Indonesia, pohon Nagapuspa harus ditanam lagi. Sayangnya, Haricatra justru menghadapi masalah selain teror Epsilon... masalah pelik menyangkut rasa hati seorang remaja. Selamat membaca.