Satu

833 65 8
                                        

Pintu lift terbuka, dan objek pertama yang disasar Saras adalah wajah bulat Ekayana Pranawangsa. Bersamanya ada lima kolega berpakaian adat dan berkemeja endek merah marun, lengkap dengan tanda pengenal staf khusus di saku kiri. Semuanya terlihat amat resah. Tatkala Ekayana keluar tergesa-gesa dari dalam lift bersama empat orang ajudan dinas berkostum biru, Saras langsung menyasarnya dan menyodorkan tangan dengan tegang.

"Sekretaris daerah sudah menunggu di dalam, Pak," tegas gadis dua puluh lima tahun itu saat tangannya menyalami tangan Ekayana yang dingin.

Ekayana tak menjawab sepatah kata pun. Keningnya sudah mengerut sejak dia bangun tidur. Seharusnya dia menikmati enam bulan terakhir masa jabatannya dengan menimbun setumpuk kesan baik. Namun semuanya terjungkir balik saat gubernur meneleponnya pukul empat tadi pagi dan meminta pertanggungjawaban serius. Alurnya sudah bisa dia duga. Organisasi mana pun tidak akan rela melepas aset, terutama jika aset itu dicari banyak orang.

Aku tidak terlibat dalam masalah ini. Berkali-kali Ekayana meyakinkan dirinya. Semua kekacauan ini adalah buntut dari obral tanda tangan pemerintah.

Kecut di wajah Ekayana menular ke semua pegawai yang menyambutnya di sepanjang koridor. Ajudan laki-laki di belakangnya mengekor mantap sambil menjinjing sebuah tas laptop. Beberapa wartawan memotret parade kecil itu tanpa berani bertanya. Ekayana yang sedang galau selalu tampak seperti patung dwarapala yang matanya melotot.

Pintu ruang rapat dibuka oleh dua sekuriti. Pahatan bermotif garuda di pintu kayu itu berkilau diterpa cahaya lampu. Di dalam ruangan itu telah berkumpul puluhan kepala yang menentukan nasib pertiwi Bali, dan Ekayana adalah orang terakhir yang diseret ke dalam arus politik yang tengah berlaga di dalam sana.

Suara ricuh keluar dari monitor besar yang terpajang di dinding. Semua mata di ruangan itu seolah tak peduli pada kehadirannya.

"Terima kasih telah mengebut di jalan pagi ini," Surya Erawan, sang tangan kanan pemerintah bangkit dan menyalami Ekayana ala kadarnya. "Syukurlah Anda tidak terjebak macet."

"Sudah coba hubungi para akademisi?" Ekayana duduk di samping Erawan.

Erawan mendesau. "Dua orang sedang di luar negeri, satu di Papua." Dia menjajarkan beberapa lembar kertas di atas meja. "Beruntung kita punya Skype."

Ekayana tak membalas. Erawan tampak begitu cemas. Pria paruh baya bertubuh gempal itu telah kehilangan senyum sejak situasi memanas beberapa hari lalu dan pintu besi kantor gubernur peyot dipanjat demonstran.

"Seseorang harus bicara pada mereka," Sudibya, juru bicara gubernur mengusulkan. "Sudah hampir seminggu dan kita belum memberi jawaban pasti."

Surya Erawan menatap wajah-wajah demonstran berpakaian adat Bali di dalam monitor. "Karena itu kita selesaikan hari ini," sahutnya pendek. "Sore nanti, saya ingin Anda dan Ekayana mengatakan sesuatu kepada pers."

Urat saraf Ekayana yang mulai keropos seketika tersetrum.

Di dalam monitor, seorang reporter perempuan berkemeja abu sedang antusias menyampaikan situasi terbaru. Makin banyak orang tumpah-ruah di Niti Mandala. Jalanan tampak penuh. Anak-anak muda berbaris kacau dan mengibas-ibaskan bendera. Ada siswa SMA mengelu-elu sambil mengacungkan kepalan tangan. Kemudian, tampak barisan pria berkaos hijau membentangkan spanduk besar. Ekayana membaca salah satu kalimat: kembalikan Gunung Sanghyang!

Lalu monitor itu mati. Kemelut di kening Surya Erawan sirna.

Ada suara lenguhan penat di hampir semua bibir.

Di dinding ruangan itu berjajar tiga monitor besar LCD screen 30 inci. Di depan monitor terbentang sebuah meja kayu mahogani panjang dengan deretan kursi spons krem di tiap sisi. Surya Erawan duduk di kursi paling depan sisi kanan. Di sampingnya, Ekayana sedang memeriksa ponsel dan menekan tombol senyap. Deretan itu dilanjutkan dengan pejabat DPRD Provinsi, juru bicara gubernur, kepala dinas pertahanan, ketua majelis desa adat dan beberapa pejabat kabupaten. Di sisi kiri meja bertengger Hieronimus Tantra, CEO Epsilon yang bungkam sejak tadi. Di sebelahnya, Ken Adiraksa yang gemetaran tengah mengusap-usap dagunya yang licin dengan tangan. Tiga-empat pegawai perempuan mondar-mandir membawa nampan berisi air mineral dalam gelas brandy snifter bening.

Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang