Sebagai jalur utama ke hampir semua ruangan penting, lobi utama gedung fakultas selalu sesak di pertengahan Juni. Di antara sekian banyak mahasiswa yang bergerombol itu, separuhnya pasti lupa mencuci kaos kaki. Tugas akhir semester telah membuat hidung mereka lupa cara membedakan aroma. Sialnya, hampir semuanya membawa penyakit lupa ingatan itu ke koridor admisi. Sejak loket dibuka pukul delapan, koridor berdinding latte cerah itu tercemar bebauan usus dan ketiak manusia pengudap mie instan.
Begitu Arnaya keluar dari ruangannya, dia ingin muntah. Tidak salah lagi. Bau selokan itu pasti berasal dari kaos kaki anak-anak teknik sipil yang lupa mandi sehabis menghitung ruas jalan desa. Dia bersumpah akan membahas kaos kaki itu dalam orientasi mahasiswa baru bulan depan.
Seseorang buru-buru mendekati Arnaya. Mahasiswa laki-laki itu berambut keriting sebahu, berjins biru navy kucam bernoda cipratan kuah atau apalah. Robekan di bagian lututnya terlalu rapi untuk secumut gigitan anjing atau bekas terseret di aspal. Di tangannya setumpuk kertas berkibas-kibas tegang tatkala dia berlari mengejar.
"Pak!" serunya. "Pak Arnaya!"
Arnaya menoleh tanpa berhenti. Tatkala mahasiswa itu mengejarnya, dia merasa bagai dibuntuti Thor yang tidak mandi selama satu dekade.
"Mohon tanda tangan draf proposal saya, Pak." Dia berhasil menyetarakan langkahnya di samping.
Sedapat mungkin Arnaya tidak membuka mulut. Aroma aneh terpancar. Ingin sekali dia meninggikan kerah kemeja batik hijaunya itu sampai menutupi seluruh wajah. Seharusnya kesan pertama itu ada pada bau. Pada bau! Anak itu barangkali lupa mencuci kemejanya yang dipakainya saat observasi lapangan. Atau mungkinkah dia telah menyemprotkan parfum minimarket di ketiak kemejanya yang basah itu? Sungguh, bau itu tak lebih baik daripada terasi goreng disemprot pengharum ruangan.
"Temui saya setelah jam makan siang." Arnaya mempercepat langkahnya. Bau itu mulai berdesakan masuk hidung. Sesaat kemudian, dia berhenti sambil menghabiskan satu putaran napas yang merana. "Dan tolong,—" dia menunjuk, menatap sepasang mata yang mengintip dari sela juntaian rambut gondrong mahasiswa itu. "Pakailah sesuatu yang lebih beradab."
Mahasiswa itu melongo. Arnanya lenyap di balik pintu bertuliskan "Arkeologi 01". Beberapa nama dosen terpampang di samping pintu, persis ruang poliklinik rumah sakit. Masuk ke sana hanya akan membuatnya ciut setara bayi kancil di mata induk singa.
Di dalam ruangan, Arnaya memanggil, "Profesor Dhira!"
Tak ada sahutan. Pendingin ruangan mendesis amat halus. Seharusnya ada tiga-empat dosen senior berpangkat lektor kepala di sana, menjadi bawahan guru besar sekelas Dhira. Tampaknya semuanya sedang asyik berkubang di situs penggalian atau mendongeng tentang Laksamana Cheng Ho di depan kelas. Hanya seonggok patung purba bermata besar yang menyambutnya dengan seringai lebar yang hampa.
Dia berseru lebih liar, mengesampingkan tata krama. "Bli Wayan!"
Sesuatu terjatuh bergulung-gulung di balik lemari besar. Suara tembikar pecah menandai klimaks keributan itu.
"Bli?" mengerutkan wajah, Arnaya mendekat ke replika patung Moai besar di dekat pojok ruangan.
Dhira muncul tepat di belakang patung alien gendut purba itu.
"Apa yang sedang Bli lakukan?!"
Melenguh, Dhira turun dari kursi, berjongkok dan memeriksa pecahan tembikar yang tadi jatuh. "Kamu baru saja merusak botol minum manusia purba di Tanjung Ser!"
Arnaya menutup matanya sambil geleng-geleng jenuh. Di saat seperti ini, sempat-sempatnya kamu berurusan dengan artefak.
"Untung itu cuma replika." Dhira bangkit, merapikan lengan kemeja batik birunya. Ada motif garudawaca emas di bagian dada. Itu kebanggaan buatnya. Benar-benar Indonesia-istik. "Jika itu artefak asli, kutuntut kamu di pengadilan!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)
ПриключенияUntuk mengatasi pandemi SALCON di Indonesia, pohon Nagapuspa harus ditanam lagi. Sayangnya, Haricatra justru menghadapi masalah selain teror Epsilon... masalah pelik menyangkut rasa hati seorang remaja. Selamat membaca.