Empat

523 58 9
                                        

Pagi itu Candra Suniti tampak resah di belakang meja kerja. Di hadapannya bertumpuk selusin berkas laporan alokasi dana BOS dari seluruh SMA dan SMK di seantero provinsi. Monitor pantau di sisi kiri terus-menerus menayangkan gambar CCTV di beberapa lokasi strategis, dan satu monitor lagi di kanan memperlihatkan deretan nama sekolah yang dana sertifikasi gurunya belum cair. Beberapa saat lagi, perempuan beranak dua itu akan membuka laptop empat belas incinya dan bertatapan dengan sistem keuangan yang simpang siur hingga mengganggu tidurnya dengan mimpi-mimpi aneh tentang jaring laba-laba beracun.

Pintu terbuka nyaris ketika Suniti memencet tombol on pada laptop silvernya.

"Maaf, Bu, saya tidak mengetuk pintu," Siska, kepala bagian pendanaan menyerobot. Perempuan tiga puluhan tahun itu sedang susah-payah memangku setumpuk berkas. Pintu itu pun tadi dibukanya dengan siku. "Ini berkas yang harus di-approve. Guru-guru itu akan datang mulai besok pagi untuk tanda tangan pencairan dana sertifikasi."

"Pak Astika sudah datang?" Suniti malah berbelok.

Siska menghempaskan tumpukan kertas itu di bagian ujung meja atasannya, lalu melenguh. "Belum, Bu," sahutnya. "Kunci lemari berkas untuk Karangasem ada di sakunya. Dia selalu datang paling akhir."

Suniti geleng-geleng. Pria selalu membuat masalah, terutama dalam hal jam kehadiran.

Telepon di meja samping berdering. Suniti berputar di kursi office kremnya lalu tergesa-gesa menyabet gagang telepon. Itu pasti dari bagian resepsionis di lantai satu. Dalam sehari, Dea Saskia dan Denny Dananjaya, dua pegawai resepsionis kebanggaannya bisa menelepon sampai dua puluh kali.

"Bu Candra," sapa seorang gadis dari mikrofon.

"Ya, Dea?" Suniti meneliti tampilan laptopnya.

"Ada yang ingin bertemu dengan Ibu sekarang." Suara Dea agak bengek. "Katanya sangat penting."

"Tamu dari mana?" Suniti melirik tampilan CCTV di monitor kiri meja. Di salah satu bilah layar, dilihatnya ruang depan. Tiga pria berjas dan berdasi hitam tengah duduk berjajar di sofa tunggu. Tak jelas siapa mereka. Penampilan seperti itu terlalu berlebihan buat tiga aparatur sipil negara yang membawa surat di hari Selasa.

"Epsilon." Dea menjawab pendek, lalu mengusap-usap hidungnya dengan tisu.

Kening Suniti berkerut. Dinas pendidikan tidak berurusan dengan pil dan jarum suntik.

"Mereka bilang, ada kepentingan mendesak," lanjut Dea. "Tentang sosialisasi virus Corona di sekolah-sekolah."

"Aduh," Suniti memegangi keningnya. Entah pekerjaan mana yang mesti dilakukannya lebih dulu. "Kenapa mereka tidak bikin janji dulu?"

"Mereka bilang sudah telepon dua hari lalu, Bu," Dea bersikeras. "Tapi nama mereka tidak ada di log telepon."

Kamu masih bergantung pada log telepon purba yang kertasnya kuning seperti bekas dikencingi dinosaurus itu? Suniti memutar mata.

"Bagaimana, Bu?"

Didesak seperti itu, Suniti membuncah. "Katakan pada mereka, saya ada rapat jam sembilan. Saya tidak bisa mengobrol lebih dari lima belas menit."

***

Tiga pria berseragam necis dan berkaca mata hitam masuk dengan tegap. Suniti berdiri bagai menyambut iring-iringan kru Man In Black yang mungkin berniat mengadakan sensus alien dadakan di kantor. Salah seorang pria tegap itu menenteng koper yang warna gelapnya sama dengan warna jas mereka. Suniti makin menyadari bahwa jas ketiga pria itu tak hitam-hitam amat. Warnanya kelabu gelap dan bermotif garis-garis vertikal yang amat tipis.

Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang