Apes benar nasib Bayu hari itu. Dia bangun kesiangan gara-gara menemani Sarita memeriksa bekas kebakaran sampai pukul dua dini hari. Mandi pun dia lupa. Seragamnya dipakainya ala kadarnya. Dasinya digantungnya di leher tanpa diikat. Celana abunya sudah seminggu lupa dicuci. Sampai di gerbang sekolah, satpam itu malah menyeretnya ke ruang konseling. Di ruang konseling itu, dia diceramahi selama satu setengah jam dan dimintai alasan tentang kehadirannya yang bolong-bolong. Guru perempuan yang umurnya nyaris setua emaknya itu menjatuhkan bom nuklir terakhir beberapa menit sebelum dia bosan mengomel. Bayu diancam tidak naik kelas.
Setelah bom nuklir itu jatuh tepat di jantungnya, Bayu memelas seperti anak kecil. Diceritakannya mengapa dia sering absen dan betapa kerasnya perjuangannya untuk mencari uang agar bisa menerima raport tepat waktu. Semester lalu, raportnya ditahan dua minggu karena menunggak SPP lima bulan. Bayu terpaksa meminjam uang dari Pak Wanda si tukang warnet. Mendaftar bantuan buat siswa miskin pun dia tak bisa karena penduduk desa masih menganggap dirinya dan emaknya warga pendatang yang menumpang di wilayah desa terlalu lama. Alamat domisili KTP mereka masih nun jauh di Taju Bene, sebuah kampung terpencil di Alas, yang bahkan kadang dilupakan oleh petugas sensus karena terlalu jauh. Pulang kembali ke sana sama dengan bunuh diri. Emaknya konon dicari-cari mantan pria hidung belang yang menagih utang. Panjang sekali kisah hidup Bayu sampai dia ada di titik itu.
Karena kasihan, guru konseling itu menyuruh Bayu bersih-bersih ruang konseling. Rajin sekali anak itu bekerja. Cepat pula kerjanya dan tak banyak dia membantah. Tatkala dia tengah repot bolak-balik memindahkan bertumpuk-tumpuk berkas ke ruang sebelah, saat itulah dilihatnya kepala sekolah berjalan beriringan dari pintu depan bersama beberapa orang asing. Dua orang di antara mereka adalah petugas kepolisian berseragam lengkap. Sisanya, dua orang lain, lebih mirip preman kekar berkacamata hitam yang menurutnya terlalu norak.
"Silakan duduk, Bapak-Bapak." Pak Santosa, kepala sekolah bersungut-sungut menyilakan tetamu itu duduk di ruang tengah. Name tag guru di saku seragam cokelatnya bergelayut, seolah ikut-ikutan resah. Seorang guru perempuan yang tengah piket buru-buru pergi ke dapur belakang untuk menyiapkan kudapan.
Bayu menyetel kupingnya sambil pura-pura memeriksa berkas. Segala pembicaraan di ruang tengah bisa terdengar jelas sampai ruangan tempat Bayu berada.
Di sela-sela basa-basi dan gelak tawa di ruang tengah itu, Bayu mendengar sepotong kalimat yang sanggup meledakkan jantung. "...Kami ingin bertemu dengan siswa bernama Sarita, kelas XI 3 konsentrasi botani."
"Ada keperluan apa ya, Pak?" kepala sekolah bertanya. Tubuhnya yang kurus menggigil. Polisi dan orang-orang berpakaian preman itu kekar sekali. Kalau dia sampai salah bicara, salah satu dari mereka mungkin akan maju dan mencekik lehernya sampai putus.
Bayu bangkit. Diintipnya pembicaraan itu lewat celah jendela yang tertutup tirai krem terang. Salah seorang preman duduk bersandar sambil memegang sebuah topi pramuka. Tidak salah lagi. Itu topi Sarita.
"Dia anggota Gugus Penegak, betul?" ujar polisi itu.
Pak Santosa melirik guru perempuan yang tadi mengantar minuman. Guru perempuan itu mengangguk. Dia yang akhirnya menyahut. "Betul, Pak."
"Kami dengar dia sangat aktif meneliti."
"Barangkali untuk proyek magangnya, Pak." Pak Santosa mengimbuhkan. "Anak-anak kelas sebelas sedang mengikuti program Merdeka Belajar."
Polisi itu manggut-manggut. Dia memeriksa berkas yang dipegangnya dari tadi. "Apakah proyek magang itu mewajibkan siswa menjelajah hutan?"
Pak Santosa mendadak gugup. Ludahnya tercebur. Kepalanya mendadak kehilangan memori. "Jika itu atas sepengetahuan supervisor magang, bisa saja Pak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)
AdventureUntuk mengatasi pandemi SALCON di Indonesia, pohon Nagapuspa harus ditanam lagi. Sayangnya, Haricatra justru menghadapi masalah selain teror Epsilon... masalah pelik menyangkut rasa hati seorang remaja. Selamat membaca.