Tiga dekade lalu jalan aspal pertama dibuka di Bontong. Kini tak ada lagi yang bisa memastikan mana aspalnya dan mana tanahnya, apalagi jika musim hujan tiba. Desa itu kembali jadi kampung antah-berantah yang dilupakan dalam agenda pembangunan.
Siapa pun yang sudah masuk ke Bontong juga bakal lenyap dari peradaban. Jalan tua itu adalah satu-satunya akses ke dunia luar, melintasi perbukitan dan belantara Sumbawa bagian selatan yang penuh babi hutan. Barangkali beberapa orang tua di tepi hutan sana tidak tahu kalau presiden sudah diganti lima kali sejak jalan itu diaspal.
Agar bisa masuk desa itu, orang pertama-tama harus bisa membayangkan bagaimana sebuah sepeda motor bisa melaju melawan arus sungai penuh batu gamping. Atau paling tidak dia harus siap menghadapi serangan nyamuk Anopheles sebesar biji jagung dan hidup tanpa sinyal telepon selama bertahun-tahun. Di abad kesembilan belas, Pantai Lalangsawu di dekat sana hampir jadi kuburan Thomas Stanford Raffles. Dua hari setelah berlabuh, dia disambut malaria,—wajah maut di negeri tropis.
Barangkali jika beberapa ekor dinosaurus dilepas di hutan Bontong, suasananya bakal mirip zaman Jurassic. Waktu berputar amat lambat, dan orang-orangnya sudah terlelap di atas kasur pukul delapan malam. Mobil Google Maps hanya pernah singgah sampai perbatasan Kecamatan Lunyuk nun jauh di utara, di batas jalan aspal kabupaten. Setelah itu, pegawai Google itu harus naik kuda seharian sambil menggendong kamera canggih seharga seratus lima puluh juta.
Yang paling mengherankan dari Bontong adalah kenyataan bahwa ada manusia di sana. Cukup banyak pula jumlahnya. Sebagian penduduknya adalah orang-orang transmigran tahun tujuh puluhan yang kini sudah beranak-cucu. Ladang jagung mereka menguning tiap empat bulan, dan ratusan juta rupiah mengalir ke saku-saku mereka bagai banjir bandang. Meski begitu, tetap saja rumah-rumah mereka masih berdinding bedeg. Tetap saja warnet Pak Wanda jadi satu-satunya akses informasi buat anak-anak sekolah. Masih saja ibu-ibu menatap TV layar cembung yang sesekali gerimis karena parabola panci yang tak kuat menangkap gelombang.
"Bagaimana urusan dengan si Sarjan, Pak?" Sunarti menenteng piring plastik lonjong penuh tempe goreng yang diiris besar-besar. Luberan sambal tomat melulur bagian atas tempe cokelat itu. Tadi sore dia menukar sekilo beras dengan tumpukan bahan makanan yang cukup untuk dua-tiga hari. Beberapa minggu belakangan, harga beras di kabupaten naik karena jembatan putus. Barter jadi solusi. Masih lumrah. Orang-orang Flores di blok sebelah menyukai cincin emas. Sunarti menggadaikan cincin kawinnya kepada Teo, pemuda Flores pedagang beras, lalu ditebusnya lagi dengan berkarung-karung tepung jagung murni tatkala panen tiba.
Duduk sambil menepuk-nepuk meja dengan jemari, Lingga mengendus bau tempe manis itu sambil menelan liur.
"Anak kurang becus," di kursinya, Wijaya menyeruput air jahe panas. Ditelannya segera. Hangat meluncur di batang leher. "Sekali lagi dia membiarkan monyet-monyet itu mencabuti jagung, akan kukembalikan dia ke Flores."
Haricatra masuk. Baru saja dia selesai mandi dan memakai satu di antara empat lembar baju kaus yang dia punya. Hanya itu setelan pakaian yang ada di lemarinya: satu kaus merah kiriman dari Bali dan tiga lainnya entah apa warna aslinya. Semuanya nyaris lusuh dirajang sinar matahari tropis di ladang jagung seharian. Mendengar kata 'flores', telinganya langsung menajam. Sejak kecil dia ingin mengambil sampel air Danau Kelimutu dan mengoleksinya di dalam laci.
Menggaruk sisa air dikepalanya, remaja itu duduk di samping Lingga, mengambil piring kosong, lalumenunggu semua hidangan terbang dari tungku dapur ke atas meja.
Sunarti yang bertubuh agak gemuk kembali masuk dapur. "Yakin Bapak mau pecat anak itu?"
"Ya, mau tidak mau." Wijaya tampak tak acuh.
Lingga meraba-raba piring tempe. Perutnya sudah demonstrasi. Haricatra langsung mendeplak tangannya sambil mendesis.
Kembali Sunarti muncul, menganggar panci berasap. Potongan-potongan sayur buah jambu monyet sedang berenang dalam kuah santan. Orang-orang kota mungkin berpikir hanya Tarzan yang memasak buah jambu monyet jadi sayur, tapi apa yang dibuat bibinya itu adalah cita rasa berperadaban tinggi. Masakan enak tidak harus berasal dari dapur chef seharga ratusan ribu sepiring. Di Bontong, orang bisa membawa pulang sekarung buah jambu monyet tanpa mengeluarkan satu rupiah pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)
AventuraUntuk mengatasi pandemi SALCON di Indonesia, pohon Nagapuspa harus ditanam lagi. Sayangnya, Haricatra justru menghadapi masalah selain teror Epsilon... masalah pelik menyangkut rasa hati seorang remaja. Selamat membaca.