Delapan belas Juni.
Bagi Leo, tidak banyak perubahan di Desa Kempo sejak kali terakhir dirinya ditransfer di sana lebih dari lima tahun lalu. Salah satu yang tak berubah adalah statusnya sendiri. Dia tetaplah seorang bujang pengelana. Tatkala memasuki gapura desa yang begitu mirip versi paling sederhana dari candi bentar khas Bali yang pernah dilihatnya, Leo mulai berhitung. Yang dihitungnya bukan jumlah hari yang tersisa untuk petualangan ke Tambora, tetapi petualangan hidupnya yang tak kunjung menikah.
Hitungannya tepat mencapai angka dua puluh delapan saat truk tua berdebu itu menyalakan lampu utama di jalanan kelas C yang mengarah ke pos TNI AD. Dua puluh delapan tahun dan masih sendirian bukan hal yang buruk. Dia terus-menerus menasihati diri. Tak seberapa lama, gerbang pos mulai terlihat. Truk itu lewat di bawah sebuah papan besi hijau lumut dengan sederet tulisan melengkung yang besar, putih dan tegas: Pos Komando TNI Angkatan Darat Kempo.
"Halo," Leo mendengking kepada bocah-bocah yang terlelap di kokpit. "Kita sudah sampai, anak-anak!"
Haricatra bangun cepat. Ditepisnya kepala Bayu yang bersandar nyaman di pundaknya sambil mendengkur. Baru saja matanya bisa fokus melihat ke depan, beberapa personel tentara berseragam dan bersenjata lengkap menghadang mereka beberapa meter di depan. Langit jingga sudah pudar, dan bulatan matahari sudah jauh terbenam di belakang bangunan markas yang lebih mirip sebuah gedung panjang yang dipenuhi cahaya lampu di sana-sini. Area pos komando itu tampak jauh lebih terang daripada blok-blok rumah warga di sekelilingnya yang jaraknya saling berjauhan.
Tak ada percakapan penting di gerbang depan. Truk properti Angkatan Darat itu akhirnya pulang ke rumahnya sendiri. Di lapangan parkir depan yang sebagian masih berupa tanah, Leo memarkir truk itu di sudut. Segera setelah dia turun, dia disambut dua orang tentara. Koordinasi dibahas cepat.
Kokpit yang pengap itu mulai terasa tidak nyaman. Haricatra mendorong pintu dan terjun keluar. Bayu mengikutinya dengan kepala uring-uringan. Kedua anak itu menggedor-gedor papan bak belakang, memastikan Sarita, Wahyuni dan Lingga masih ada di dalam. Haricatra menyibak terpal di bagian belakang truk. Segalanya begitu gelap di dalam bak.
"Teman-teman?" dia memanggil.
"Hei," seseorang melenguh. Itu Wahyuni. "Kita ada di mana?"
"Turunlah," Bayu mengintip dari belakang Haricatra. "Aku mencium aroma bubur jagung."
Leo menyuruh bocah-bocah itu menurunkan barang. Mereka sempat memanen beberapa karung singkong dari desa sebelah. Lumayan untuk persediaan dapur di pos. Selama beberapa hari ke depan akan ada misi besar—mungkin yang terbesar sepanjang karir Leo.
"Macan Empat sudah tiba, Kawan!" seorang tentara berlogat Ambon menepuk bahu Leo saat pemuda itu menurunkan karung singkong. Banyak personel tentara lain bergerak cepat ke arah lapangan. Suasana tiba-tiba jadi agak menegangkan. Leo bergegas turun.
"Ayo, Kadek!" panggilnya.
Haricatra yang masih ada di atas bak berhenti mengangkat karung. Matanya melihat jauh ke gerbang depan. Ada arak-arakan kecil yang terdiri dari mobil offroad hitam dan loreng, serta sebuah truk yang rupanya nyaris sama dengan truk tua yang mereka tumpangi. Masing-masing kendaraan itu diparkir rapi di depan pintu masuk utama gedung.
Leo mengulang panggilannya, "Ayo kemari, Dek!"
Kepala Haricatra muncul dari belakang bak. Dilihatnya orang-orang berseragam tentara mulai turun dari truk dan mobil. Dengan ragu-ragu bercampur penasaran, dia melompat turun.
"Ada kejutan besar buat kamu," Leo menrik tangan Haricatra, memastikan bocah itu bisa melihat seluruh rombongan yang baru turun. Dari gelagat para tentara di pos itu, sepertinya orang-orang yang baru saja datang bukan orang sembarangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)
AventuraUntuk mengatasi pandemi SALCON di Indonesia, pohon Nagapuspa harus ditanam lagi. Sayangnya, Haricatra justru menghadapi masalah selain teror Epsilon... masalah pelik menyangkut rasa hati seorang remaja. Selamat membaca.