Malam Temaram

179 34 11
                                    

Senja sudah terbenam tatkala motor mereka terseok-seok dengan jeruji roda peyot di Kilometer 60. Jaraknya tidak main-main dari Bontong. Bayu bisa tahu tempat sejauh dan sesuram itu bukan karena kebetulan. Sewaktu SMP, dia biasa bolak-balik Dompu-Lunyuk minimal tiga kali seminggu. Waktu itu, ibunya masih kuat bekerja di pabrik penggilingan tebu atau jagung. Di masa-masa panen, dia sering berlarian mengejar truk pengangkut jagung di tapal batas Bontong, naik ke bak belakang dan terlelap di tumpukan tongkol jagung hingga Dompu. Malam baru dia sampai dan bertemu ibunya. Esoknya dia bakal bolos sekolah karena seharian berkubang di pabrik tepung jagung. Praktis anak itu hanya bisa sekolah tiga kali seminggu. Syukur dia masih bisa baca-tulis.

Gudang yang tengah mereka tuju dahulu jadi penampungan tebu dan jagung dari Lunyuk. Pemiliknya meninggal dua tahun lalu dan gudang itu akhirnya tenggelam dalam sengketa. Barangkali hantu pemiliknya masih suka bergentayangan di sekitar sana. Beberapa orang yang lewat situ kadang melihat manusia berjalan-jalan tanpa kaki. Entah kisah itu benar atau hanya sekadar pengalihan isu. Katanya, tanah di mana gudang itu berdiri akan dijual ke PLN untuk stasiun penambah daya. Mungkin si hantu akan dapat pekerjaan baru: menakut-nakuti para pencuri listrik.

Setahun lalu, waktu kelas sepuluh, Bayu pernah kemalaman pulang dari Dompu. Terpaksa dia menumpang truk pengepul jagung yang kebetulan malam itu berangkat ke Lunyuk. Emaknya menyuruhnya menginap di Dompu, namun dia bandel. Di tengah jalan, segerombolan perampok tiba-tiba mencegat truk itu dan menembak mati sopirnya. Bayu yang gemetar ketakutan menenggelamkan dirinya di bawah tumpukan jagung ranum. Setelah gerombolan perampok itu menyeret mayat si sopir ke semak-semak, truk penuh tongkol jagung itu disabotase dan dibawa ke jalan sunyi menembus hutan kapuk. Bayu akhirnya melompat sebelum dia tersesat terlalu jauh. Beberapa jam dia luntang-lantung di tepi jalan trans yang gelap tanpa satu pun lampu penerang. Kemudian, dia sampai di gubuk tua itu dan ketiduran hingga pagi. Tak disangkanya, malam itu Mahendra dan kawan seperangainya juga tidur di sana.

Haricatra tidak bertanya bagaimana Bayu pulang setelah bermalam di gudang tua itu. Dia hanya tertarik dengan cerita Bayu tentang Mahendra dan gengnya. Malam itu, Bayu melihat mereka pesta rokok di dalam gudang. Kemudian, dilihatnya Mahendra melipat lengan baju dan seseorang menyuntiknya dengan cairan aneh.

"Kamu tahu itu suntikan apa?" Haricatra menoleh. Harus dibesarkannya suaranya agar bisa didengar. Angin menderu cukup keras dan ban depan motor mereka kini berdecit-decit aneh karena barusan kemasukan linggis baja.

"Obat malaria mungkin?" Bayu menyahut gamang setelah tak menemukan kata yang cocok dalam kepalanya.

Betapa polosnya dirimu. Haricatra susah payah menahan tawa.

"Iya, 'kan?" malah Bayu yang ragu-ragu.

Haricatra memantik saklar lampu sorot jauh. Deretan pepohonan kapuk di kiri-kanan jalan jadi lebih jelas. Mereka sedang memasuki wilayah hutan kapuk lebat di kilometer 60-70. Setelah hutan itu berakhir, ada perkampungan kecil yang orang-orangnya masih percaya bahwa Presiden Suharto akan mampir lagi di sana. Sopir truk yang tadi diceritakan Bayu mungkin masih mondar-mandir di hutan itu, menjadi hantu Casper atau sebangsanya, mengklaim salah satu pohon kapuk paling besar sebagai rumah.

"Kamu tahu morfin, Bayu?" Haricatra menoleh lagi.

Bayu hanya menggerutu tak jelas.

Haricatra geleng-geleng sambil menahan senyum. Batinnya miris juga. Jika seseorang memberi Bayu sebutir pil heroin, Bayu mungkin akan menganggapnya obat masuk angin dan langsung menenggaknya tanpa pikir panjang. Setidaknya, kini dia tahu tentang benih-benih kegelapan yang bersembunyi di pulau itu. Semakin dia masuk, segalanya tampak semakin mengerikan. Anak-anak seusianya di Bali mungkin punya dunia gelap versi mereka sendiri, yang seringkali berhubungan dengan deep web, online game atau apalah. Namun di pulau ini, dunia gelap itu hadir dalam caranya yang lebih klasik dan kasar. Di kota-kota lain yang aksesnya lebih bagus, sudah hampir tak ada lagi narkoba jenis suntikan. Semuanya kini diisap. Ah, apa pun caranya, semua itu tetap saja buah tangan kegelapan, bahkan lebih mengerikan daripada Epsilon yang hanya ingin memburu sekuntum bunga.

Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang