Di Jalan Trans

219 36 29
                                    

Sabtu sore itu di tepi Jalan Trans Lunyuk, puluhan remaja berkumpul. Jumlahnya sekitar lima puluh anak, dan setengahnya masih belum layak dapat SIM. Motor-motor mereka sangar minta ampun. Kilaunya mengalahkan cemerlangnya kepala botak Mat Epin, penyanyi dangdut lokal yang dipuja pemuda-pemuda desa. Tatkala motor-motor itu digeber, suara berisiknya laknat betul. Pekikan knalpotnya lebih menyakitkan telinga daripada mulut emak-emak pasar mengusir kucing garong. Kadang-kadang beberapa remaja beratraksi dengan mengangkat roda depan motor mereka hingga mencuat tinggi bagaikan naik kuda gila.

Bayu menjemput Haricatra pukul dua lebih sepuluh menit. Mereka berangkat dari ladang, menembus jalan bukit yang suram, dan tiba satu setengah jam kemudian di perempatan Jalan Trans. Mahendra ingin mereka tiba di kilometer 45 tepat pukul empat sore. Jika mereka terlambat satu detik saja, tak akan ada toleransi. Mahendra akan menelanjangi Bayu dan merampas upahnya sebulan.

Buat Haricatra, lomba itu tak ada sangkut-pautnya dengan hidupnya. Jika Mahendra ingin menelanjanginya juga, dia akan melawan. Serius! Itu masalah harga diri! Yang sulit baginya hanya berkata 'tidak' pada orang, dan sayangnya itu malah membuatnya harus berurusan dengan balap-balapan sinting dan ketua geng berwajah kotak mirip sarkofagus. Mau bagaimana lagi. Sarita mesti ditolong. Entah cerita itu benar atau tidak, Haricatra tak pernah tahu. Dia hanya dengar dari Bayu tentang kehidupan Sarita. Menyedihkan.

Di sepanjang perjalanan ke Jalan Trans, Bayu pertama-tama berkisah tentang kawannya, Akmal, yang sangat menyukai Sarita. Sebenarnya, Akmal sudah berencana akan menikahi Sarita setamat SMA, tapi maut ternyata merenggutnya lebih dulu. Kalau dibanding-bandingkan, tidak ada gadis semolek Sarita di seluruh Bontong, bahkan di seluruh Lunyuk. Wajahnya adalah campuran sempurna antara perempuan Dayak yang manis dan mata pria Sumbawa yang tajam. Hal yang paling membuat lelaki remaja Bontong tergila-gila padanya adalah saat dia tersenyum. Padahal, Sarita agak cerewet, tapi semakin gadis itu marah, semakin manis pula konon pipinya. Alhasil, banyak pemuda menggodanya.

Menurut Bayu, Sarita gadis baik-baik. Hanya saja, nasibnya tak sebaik namanya. Di suatu malam setelah pengumuman kelulusan SMP, anak-anak mengadakan pesta. Katanya itu pesta perpisahan, meskipun hampir semua tamatan SMP Bontong sekolah di SMA yang sama. Setelah pesta malam itu, tabiat Sarita berubah. Entah apa yang terjadi padanya. Seperti kena sihir, gadis itu menurut pada Mahendra. Apa pun yang dikatakan Mahendra, Sarita tak pernah membantah. Disuruh mencuci kaos kaki pun gadis itu mau! Akmal, si remaja polos yang pandai mengaji, yang tak pernah lupa bersujud kepada Tuhan lima kali sehari, langsung dicampakkannya begitu saja. Hampir sebulan anak itu kehilangan kewarasan karena ditolak Sarita mentah-mentah. Padahal dari segi tampang, Akmal lebih kalem dan ganteng walaupun ototnya tak sekekar Mahendra. Dari segi otak, Mahendra selalu rengking satu paling belakang. Itulah sebabnya tatkala Akmal melihat Sarita berpelukan dengan Mahendra di tepi Sungai Bontong, kepala anak itu langsung jungkir balik.

Hanya itu yang Bayu ketahui tentang Sarita dan Mahendra. Selebihnya dia hanya tahu caranya menyaring sagu dan mengisahkan emaknya yang mulai batuk-batuk darah.

Namun dari kisah yang dituturkan Sarita, Haricatra tahu apa yang terjadi. Anak selugu Bayu mungkin tak akan pernah menyadari kalau nafsu bisa menyeret sepasang anak manusia sampai jauh sekali. Paling-paling, yang ada di bayangan remaja desa seumur mereka hanya sebatas teman perempuan yang bisa dipandangi fotonya agar hati yang gundah jadi riang. Hanya itu. Bayu tak akan pernah tahu tentang anak SMP yang dikejar-kejar korporasi besar dan nyaris mati tertembak, atau gadis SMA yang mengetuk pintu rumah dokter tengah malam karena rahimnya telah berbuah.

"Jadi, siapa yang pegang stang nanti?" Bayu memutus ocehannya tentang betapa rewelnya majikan pengepul sagu di tempatnya bekerja.

"Jangan suruh aku." Haricatra meninggikan suaranya. Dia sedang membonceng. Terpaan angin lumayan kencang di jalan besar sepi itu.

Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang