Jonar

476 54 14
                                        

Kali itu sudah sekian kali Jonar buat masalah. Wajah dan darahnya asli Flores, tetapi jejak masalah yang dibuatnya samasekali tidak mewakili semua orang dari tempat dia berasal. Di mana-mana, orang-orang Flores yang terkenal manis dan berlogat lucu itu jadi pekerja telaten. Di Bali mereka jadi tukang bangunan, pegawai restoran hingga akademisi. Di Sumbawa tak jauh beda. Jonar hanya sekeping tembikar kecil rusak dari peradaban asalnya yang eksotis. Apa yang membuat dia rusak, tak ada yang tahu pasti.

Kemarin malam Wijaya berdebat panjang dengan Sunarti tentang bagaimana cara menservis isi kepala Jonar. Umur pria muda itu masih dua puluh empat,—hanya terpaut beberapa bulan dengan buruh sejawatnya Sarjan yang jauh lebih penurut dan cekatan. Di Flores, beberapa puluh kilometer ke utara Larantuka, di kampung yang dikelilingi padang rumput kekuningan yang entah apa namanya, dia punya istri dan dua anak yang sudah fasih bicara. Di peta Google Map, desanya ada nyaris di ujung 'ekor kalajengking' Pulau Flores bagian timur. Di Sumbawa dia sudah empat tahun. Sebelumnya dia punya penyewaan kuda di Maumere. Ketika dia menikah, sebagaimana tradisi orang sana, diberikannya lima kuda buat mas kawin. Setelah itu, dia bingung mau kerja apa.

Tugas Jonar tidak berbeda dengan Sarjan. Keduanya tinggal di tepi hutan, mengawasi monyet-monyet ekor panjang yang sering mencuri jagung muda. Monyet-monyet itu datang malam hari, dan kedua buruh itu mesti meronda kadang sampai pagi, terutama di minggu-minggu menjelang panen. Belakangan, monyet-monyet itu jadi makin pintar. Setiap Jonar ketiduran, mereka menyerbu ladang. Entah siapa yang mesti disalahkan. Jonar tahunya hanya membela diri. Perangainya keras pula. Mengakunya kelelahan. Buruh mana yang layak dikasihani kalau tidurnya dua belas jam sehari ditambah dua-tiga jam rehat saat giliran meronda?

Bulan lalu, anak muda itu disuruh pergi ke Bima. Jaraknya dari Bontong kurang lebih dua kali panjang Pulau Bali dari ujung barat ke ujung timur. Tugasnya sederhana: membeli jaring penangkal monyet. Harganya satu setengah juta. Wijaya memberinya uang tiga juta rupiah. Tiga hari begundal itu tidak kembali. Di hari ketiga, empat pria kekar bertampang seram menggedor pintu rumah Wijaya. Jonar diseret seperti kelinci buruan. Dia konon kalah main judi dan tak bisa bayar utang. Wijaya menebusnya satu setengah juta layaknya membeli bibit kambing. Sialnya lagi, jaring pesanannya tak pernah sampai.

Dua hari lalu, Jonar lupa menyumbat jalur air yang mengairi ladang jagung. Ladang itu banjir seperti rawa. Wijaya berharap itu jadi kebodohan terakhir yang dia lihat. Jonar mesti dipecat! Kian hari kian yakin dia melakukannya, tetapi Sunarti tak setuju. Tiap kali Jonar dimarahi, kakek pemuda itu bakal mengancam Wijaya dengan badik karatan. Kata-katanya kasar pula, sama menjijikkannya dengan ludah bercampur tembakau yang kerap disemburkannya saat sedang kesal.

Kemudian Haricatra menawarkan diri jadi pengawas muda. Awalnya Wijaya menolak, tapi dia tak punya pilihan bagus. Memberhentikan Jonar terlalu berisiko buat keselamatan keluarganya. Buat Haricatra sendiri, tidur di gubuk di tepi ladang tidak masalah asalkan tidak ada nyamuk. Kalau dia giliran ronda, dia bisa berjaga sambil menyelesaikan beberapa laporan untuk program homeschooling-nya. Biar bagaimana pun, pamannya itu telah memberinya banyak hal yang tak bisa dia balas sebagai seorang bocah.

Lagipula, bergaul dengan Sarjan di ladang adalah petualangan lain. Ibunya perempuan Ambon dan ayahnya perantau dari Kupang. Pantas saja suaranya bagus. Kala merantau ke Sumbawa lima tahun lalu, Sarjan membawa sebuah gitar tua yang senarnya false semua. Katanya, itu pemberian ayahnya. Gitar itu sering dipeluk-peluk dan disayang-sayanginya. Kadang pemuda beranak satu itu menyanyi malam-malam. Dia akan naik ke dipan dan berlagak seperti penyanyi terkenal,—meski yang setia mendengarnya hanya hamparan jagung dan jangrik. Tiap kali dia menyanyi, kuda-kuda langsung terlelap. Kodok pun ikut tidur.

Wijaya sudah terlanjur melihat Jonar dan Sarjan sebagai hitam dan putih, dan Haricatra melihat mereka berdua seperti kakak-kakak dengan semua tabiat laki-laki wajar. Hanya saja, dia lebih banyak belajar dari Sarjan. Pemuda itu selalu tersenyum walaupun kadang istrinya mengomel berjam-jam lewat ponsel. Bahasanya halus pula. Tak hanya bahasa manusia yang bisa dia katakan. Bahasa kuda pun dikuasainya. Dia bisa memanggil kuda dengan siulan, menyuruh kuda itu melambat atau berlari santai dengan berbagai jenis decakan lidah. Kadang, di padang rumput di timur desa, dia memacu kudanya sambil berseru-seru seperti orang kerasukan. Sayang, dia cuma pelihara kuda milik orang. Jika dia punya kuda sendiri, mungkin dia bisa membuka kursus bahasa kuda daripada hanya jadi buruh.

Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang