Rockdale

232 39 30
                                    

Meskipun musim dingin sudah tiba awal Juni lalu, atap-atap rumah di sepanjang Jalan Perumahan Richmond tak pernah jadi putih. Seperti musim-musim sebelumnya, orang-orang tengah bersiap menyambut pertengahan tahun yang dingin tanpa salju. Di bulan Agustus nanti, setelah matahari mencapai ekuinoks musim semi belahan selatan, akan ada lomba memancing dan kano di Muddy Creek saat suhu mulai menghangat, tak jauh dari deretan perumahan suburban dan taman kota.

Jarak Rockdale ke pusat kota Sydney hanya tiga belas kilometer ke utara, tapi kota kecil itu hanya tiga kilometer dari Bandara Sydney yang amat sibuk dan ramai di musim mana pun. Buat anak-anak sekolah, mahasiswa internasional semester akhir, atau calon dokter spesialis yang tengah menghapal ratusan nama pembuluh darah arteri, kota pinggiran ini jauh lebih nyaman daripada pusat bisnis di utara. Di waktu-waktu senggang, mereka selalu puas terpukau menatap daun-daun eukaliptus yang menjelma kuning kemerahan tatkala musim gugur, bersanding dengan corak batu bata di dinding bangunan abad kesembilan belas. Faktanya, di sana ada jauh banyak hal eksotis dibandingkan dengan pusat kota yang dibangun belakangan. Tak jauh ke arah tenggara, terbentang Teluk Botani di mana beberapa abad lalu James Cook pertama berlabuh di Benua Kangguru itu. Di bagian selatan, teluk raksasa itu menjalar bagai akar pohon, masuk jauh ke daratan, menjadi hilir sungai-sungai besar yang mengalir dari hutan-hutan taman nasional. Kala musim liburan, hutan-hutan tepi Sungai Georges menjadi tempat kemping paling diminati anak-anak dan remaja.

Berjalan kaki dari Rockdale Park sampai ke rumahnya di deretan Richmond Street sanggup membuat tubuh Wahyuni jadi lumayan hangat. Hampir tak pernah turun salju di Sydney, bahkan di seluruh wilayah New South Wales. Buat remaja tropis seperti dia, suhu enam derajat Celcius tetap saja ekstrem. Orang tua asuhnya menyarankan agar dia lebih banyak jalan kaki agar merasa lebih hangat. Kali pertama dia mencoba jalan kaki dari rumah ke stasiun, rasanya mirip seperti menelusuri jalan Kota Singaraja. Jauhnya pun hampir sama. Hanya saja, kali itu dia tak pernah lagi menenteng keranjang nasi kuning.

Tatkala gadis ramping berbalut tiga lapis jaket parasut tebal itu membuka pintu rumah, seseorang berseru dari ruang dalam, "Wahyuni, kamu terlambat."

"Maaf, Bu Wilson." Wahyuni segera membuka sepatu botnya dan menggantinya dengan selop bulu yang hangat. Ditepisnya rambut hitam-panjangnya ke belakang. "Saya ketinggalan bus."

Nyonya Wilson, perempuan jangkung berambut pirang sebahu itu datang menghampiri. "Jangan sampai kamu ketinggalan makan malam juga." Di tangannya ada sebatang sendok kayu besar yang ujungnya sudah cokelat karena sering dipakai. "Austin dan aku sedang belajar memasak beras,—seperti yang kamu makan di negaramu."

Wahyuni tersenyum. Rumah kelas menengah itu memang selalu punya setitik kehangatan saat musim sedingin apa pun. Di sana tinggal Nyonya Wilson dan suaminya, seorang guru sekolah menengah di wilayah terpencil Murrumbidgee. Pekerjaan itu membuat suaminya tak bisa pulang setiap hari. Di akhir pekan, mereka biasanya berkumpul dan pergi jalan-jalan. Austin, si anak sulung yang bulan lalu genap berumur sebelas tahun, biasanya merengek nonton film di dekat taman kota. Adiknya, Anna, lebih romantis. Dia memilih makan malam di resto klasik tua di deretan Former Castle Palace Hall. Di sana, gadis delapan tahun itu selalu menghabiskan malam minggu menceramahi abang dan orang tuanya tentang sejarah Rockdale sejak tahun 1800-an sambil mengendusi aroma batu bata kuno yang basah oleh embun.

"Kalian perlu rice cooker," komentar Wahyuni tatkala hidungnya mencium aroma hangus dari arah belakang. "Kami menyebutnya magic jar."

Mata Bu Wilson membesar. "Kurasa memang perlu sedikit sihir kalau ingin mengubah beras-beras itu jadi nasi." Tergesa-gesa, dia berbalik ke arah dapur. "Entah apa yang Austin lakukan,—Oh Tuhan! Berasnya jadi hitam!"

Wahyuni hanya mengulum tawa. Selama ini dia memang hampir selalu makan roti gandum, sereal atau remah jagung. Jarang ada beras dalam jumlah besar di Sydney selama musim dingin. Sejak sekolah di benua kangguru itu, dia hanya pernah makan nasi dua kali saat class meet dengan kawan-kawan dari Indonesia. Orang-orang sana kebanyakan jadi karnivora tulen selama bulan Juni hingga Agustus. Minumannya anggur pula.

Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang