Rahasia

406 53 9
                                    

5 Mei 2019. Satu setengah tahun lalu.

Dua minggu setelah peristiwa Gunung Sanghyang.

Ketua regu menyebutnya Zona C3, namun bagi Galih wilayah hutan lereng itu adalah neraka. Waktu kecil, dia sering meliuk-liuk di antara pepohonan besar, mengoceh kepada tamu-tamu hikers tentang betapa cintanya dia pada hutan, dan menerima tip yang lumayan di akhir pendakian. Hari itu dia menenteng sebuah gergaji mesin berantai baja nan tajam, membantai pohon-pohon teman bermainnya itu satu per satu bersama seratus lima puluh personil hired security lain yang datang dari seluruh pelosok negeri.

Dua pekan sudah hutan di lereng Gunung Sanghyang dipreteli Epsilon. Kejamnya tak bisa ditakar. Tidak ada pohon yang tersisa di sepanjang jalur menuju lahan yang dibelinya dari pemerintah. Semuanya gundul. Gunung itu laksana menggigil ketakutan tatkala enam ekskavator dioperasikan di lerengnya, mengeruk dan meratakan tanah tanpa ampun.

"Bersihkan helipad!" raung ketua regu lewat loudspeaker. "Waktu kita sepuluh menit!"

Helipad apanya? Itu adalah bekas rerimbunan pohon yang baru saja dibabat habis oleh dua puluh tentara bayaran. Bau dedaunannya masih berseliweran di udara, seperti arwah-arwah pohon yang mati penasaran.

Berkali-kali air matanya jatuh, tapi apa daya. Itu pekerjaannya sekarang. Sejak kelas 4 SD hingga kelas 3 SMP dia jadi pemandu wisatawan di lebatnya hutan Tamblingan hingga Gunung Sanghyang. Entah berapa ahli botani sudah dibantunya. Pohon-pohon itu jadi teman bermainnya setiap hari. Kini dia menebang mereka tanpa ampun. Sungguh tak tahu balas budi.

Galih hanya merasakan tangannya begitu kotor. Begitu kotor. Setumpuk dosa besar telah dia lakukan pada pohon-pohon itu. Dua minggu lalu Epsilon membuka lowongan hired security dan tukang bangunan besar-besaran. Ada lebih dari tiga ratus lowongan. Pelamarnya antri sampai malam. Mau tidak mau dia harus mendaftar. Penghasilannya dari bertani kembang semakin surut, apalagi ketika separuh tanahnya dijual kepada Epsilon. Kompensasinya ludes dipakai berobat orang tuanya. Ijazahnya hanya sampai SMP pula. Tak ada pilihan lain. Dosa itu dilakukannya juga demi rengekan perut-perut kosong yang harus dia beri makan.

Petinggi sekuriti Epsilon menelanjanginya di hari pendaftaran dan memeriksa tiap jengkal tubuhnya. Melihat otot-ototnya yang kekar, petinggi sekuriti itu langsung meloloskannya tanpa kompromi. Sepuluh menit kemudian ditandatanganinya kontrak setahun, lalu diberinya dia dua setel seragam loreng. Gajinya dibayar harian, dan jumlahnya menggiurkan.

Suara bising menggelegar di langit. Semua kepala mendongak. Mata Galih memicing. Entah dari mana datangnya, sebuah helikopter dengan suara mengerikan mengambang di udara. Dedaunan kering berputar-putar, dahan-dahan pohon terombang-ambing. Ketua regu meneriakkan sesuatu dari lourspeaker serak yang baterainya nyaris habis. Galih tak begitu peduli.

Helikopter garang itu turun perlahan dan akhirnya bertumpu di tanah yang bergelombang. Baling-balingnya memelan. Ketua regu buru-buru mendekat ke pintu. Melupakan semua terjangan dedaunan yang dimabuk angin, dibukanya pintu dan diberinya hormat pada sosok berkacamata hitam dan berkaus lengan panjang cokelat tebal yang turun dari kursi belakang.

"Semoga perjalanan Anda menyenangkan, Pak manajer," ketua regu menyalami pria berkacamata itu.

Ada tiga orang lain yang turun dari helikopter. Semuanya memakai pakaian loreng dengan sepatu bot cokelat yang gagah.

Ken melangkah cepat tanpa ekspresi. "Pilotmu tadi nyaris membuat helikopter itu terbalik dan tenggelam di Danau Beratan!" dia protes. "Besok saya ingin dia jadi salah satu orang yang merobohkan pohon-pohon itu."

Pipi ketua regu terasa ditampar. Dia menyamakan langkah dengan penuh rasa canggung. "Saya benar-benar minta maaf, Pak," sesalnya. "Saya pastikan Anda tidak akan pulang bersama dia sore ini."

Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang