Bau klorin itu lagi. Nyaris larut disapu angin yang menjalar lemah di atas dedaunan kering. Haricatra tersedak. Kegelapan mengepung matanya, memaksanya terpejam dalam rajaman nyeri. Sekali saja matanya sampai terlelap, maka dia tak akan pernah bangun lagi.
Dedaunan kering itu terusik tiba-tiba. Makin lama makin berisik. Iramanya teratur dan makin jelas, membentuk lantunan langkah kaki pelan. Haricatra panik, namun dia samasekali tak mampu lagi bergerak. Lambungnya bocor dan darahnya tumpah hingga membanjiri tanah. Sedikit lagi dia pasti mati.
Suara langkah itu kian berat. Sesuatu mendengus di samping tubuhnya yang terlentang tak berdaya. Di saat terakhir sebelum matanya terpejam seutuhnya, sepasang kaki hitam kasar dengan bulu-bulu putih tebal berdiri tepat di depan wajahnya.
Makhluk tinggi-besar itu mengangkat badan Haricatra yang sedikit lagi binasa, merangkulnya dengan hati-hati. Anak itu merintih hebat. Dia sedang dipeluk erat-erat oleh tumpukan bulu putih raksasa yang lembutnya sama dengan gumpalan wol. Sesekali didengarnya makhluk itu mendengus dan menggeram ala kadarnya sembari berjalan berdebum-debum. Udara bergetar dahsyat di balik dada berbulu yang tebal dan bidang itu, keluar-masuk dengan tarikan dan embusan yang dalam. Tangan-tangan kekar monster itu tak ada bedanya dengan batu berbulu.
Di belakang monster kera berbulu putih itu, ratusan monyet kecil membuntutinya dengan tatapan mata antusias. Beberapa monyet menjerit-jerit girang sambil melompati dahan-dahan pohon. Hutan itu mendadak riuh oleh suara kera dan monyet yang saling sahut. Burung-burung yang biasanya berkicau angkuh di puncak pohon tiba-tiba bungkam sejadi-jadinya, terpukau menatap parade primata yang mengagumkan itu.
Monster kera itu sudah berjalan beberapa lama. Matahari masih tinggi di puncak langit, teralang rerimbunan daun beraneka wujud. Haricatra hanya mengerang-erang kesakitan di sepanjang jalan. Darahnya berceceran di tanah yang tertutupi dedaunan yang siap lebur jadi tanah. Waktunya tinggal sedikit. Cucuran darah itu sudah terlalu banyak. Wajahnya sudah membiru. Napasnya sudah putus-putus. Maut sudah menjilat-jilati keningnya yang penuh memar.
Si kera putih raksasa tiba di depan sebuah pohon besar yang entah nama resminya apa. Dari puncak pohon itu sesekali jatuh buah-buah hitamnya yang bersayap kembar, berputar cepat di udara seperti baling-baling helikopter yang kehabisan bahan bakar. Orang menyebutnya buah kincir, dan anak-anak sering menjadikannya taruhan bernilai tinggi kala bermain lempar-lemparan. Pohon itu diselubungi wewangian getah beraroma cempedak yang melegakan napas.
"Druma pasa kuru té nara." Kera putih besar itu mengatakan sesuatu.
Haricatra merintih. Itu bahasa Sanskrit,—bahasa tua yang hampir tak lagi dipakai manusia dalam komunikasi dengan siapa pun kecuali kepada para dewata. Barangkali ayahnya tahu arti kalimat itu, sebab salah satu buku karyanya penuh dengan kata-kata druma cintamani yang berceceran di hampir tiap bab. Mendengar seekor kera besar mengatakan halo pun sudah amat mengagumkan. Kupingnya hanya kenal satu kata—druma. Pohon.
Kera itu merobek baju Haricatra dengan begitu enteng. Kaus berlumuran darah itu dilemparnya jauh-jauh. Barulah terlihat jelas luka tusukan yang menganga di perut kirinya dan memar-memar membiru di dadanya. Bersandar aman di pangkuan lengan kiri monster kera itu, dia menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kera itu mendekat ke batang pohon, sambil menggenggam lengan Haricatra dengan tangannya yang besar dan kasar. Dengan isyarat yang jelas, disuruhnya anak itu menyentuh batang pohon yang meneteskan getah kemerah-merahan.
Haricatra menurut saja. Disentuhkannya telapak tangannya ke batang pohon.
Keanehan terjadi. Pohon itu bernapas amat pelan. Haricatra memejamkan matanya, mengimbangi alunan napas pohon besar itu. Tatkala gerak napas mereka selaras, energi aneh memancar dari batangnya, menjalar di lengan Haricatra, membungkus seluruh tubuhnya dengan daya hidup yang segar. Perlahan-lahan, memar di tubuhnya memudar. Warna lebam di wajah dan dadanya menyusut cepat bagaikan terisap begitu saja, lalu lenyap tanpa bekas. Retak di kepalanya menyatu lagi. Yang paling tak bisa dipercaya adalah luka menganga di perutnya. Luka itu pulih dengan begitu cepat seperti putaran video yang dikebut ratusan kali lipat. Seluruh rasa perih dalam tubuhnya terisap sepenuhnya ke dalam pohon, meresap habis ke celah-celah retakan kulit kayu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)
AventureUntuk mengatasi pandemi SALCON di Indonesia, pohon Nagapuspa harus ditanam lagi. Sayangnya, Haricatra justru menghadapi masalah selain teror Epsilon... masalah pelik menyangkut rasa hati seorang remaja. Selamat membaca.