Sandi

186 40 21
                                    

Haricatra melompat dari teras. Kakinya tak bisa dikendalikan. Berbalik cepat anak itu ke dalam warnet, menabrak bahu Mat Lele yang tengah menghitung uang kembalian, lalu menyasar bilik komputer paling ujung yang jadi favoritnya. Bayu memanggil-manggilnya sambil mengejar. Sampai di pintu, dia akhirnya menyerah. Haricatra sudah lupa pada dunia luar.

"Kalau sudah lagaknya begitu," Pak Wanda menyilang kedua tangannya di dada. Serunya kepada Bayu, "itu artinya dia sedang dirasuki jin komputer. Aku pun tak berani mengganggunya."

Bayu melenguh. Pembicaraannya belum selesai. Kata terakhir Haricatra yang diingatnya hanya 'maut' saja. Itu bakal membuatnya tak bisa tidur semalaman.

"Sebaiknya kamu pulang." Sambil sibuk menghitung lembaran-lembaran uang lusuh yang berserakan di meja, Pak Wanda mengisap rokoknya. "Kalau mau roti, ambil saja sesukamu."

Bayu menolak. Dia cepat-cepat mengambil tas sekolahnya, lalu menggeber motornya yang belepotan lumpur. Tak perlulah rasanya dia pakai helm. Rumahnya tersembunyi di balik perkebunan di dekat bukit timur. Di sana tidak ada polisi. Yang ada hanya maling-maling yang sembunyi setelah merampok di kota. Sisanya adalah gadis-gadis yang kabur dari lokalisasi di Alas,—alias mantan pelacur.

Buat Bayu, sekolah cuma buang-buang waktu. Sekolah tidak menghasilkan uang, malah justru menghabiskan uang. Dia lebih suka pergi keliling dan mencari pekerjaan apa pun yang bisa cepat menghasilkan uang. Semua demi emaknya yang kini hanya bisa berbaring di ranjang sambil meratapi langit-langit seng yang bolong.

Di bilik warnet, Haricatra memasukkan flash drive-nya dan mengaktifkan VPN encoder di komputer. Setiap berhubungan dengan jaringan internet, dia harus selalu memastikan perangkat lunak itu menyala dan memagari identitasnya dari peretas atau siapa pun yang mengincarnya di dunia digital. Setelah memastikan bahwa frekuensi yang dipakainya sudah terenkripsi dan aman, dibukanya peramban dan diketiknya secepat angin alamat tautan di kertas tag leher kaus itu.

https://sasmita&squirrel.com/pingpoint

Peramban memuat cukup lambat. Jantung bocah itu berdebar-debar. Dalam kepalanya, nama penjual kaus itu terus menggema: Sasmita & Squirrel. Entah mengapa dia merasa begitu mengenal nama itu.

Mengapa harus squirrel? Mengapa bukan pigeon atau peacock?

Saat itu, peramban mulai menampilkan laman web. Di bagian tengah-atas laman, ada logo tupai imut yang seluruhnya berwarna biru imperial. Tulisan Sasmita dan Squirrel itu juga berwarna biru. Di bagian bawah situs ada deretan jenis kaus, topi, kemeja, hoodie dan segala macam sepatu remaja lengkap dengan penawaran diskon dan harga spesial.

Haricatra menyeret tampilan laman itu ke bawah. Produk-produk fashion-nya semakin banyak. Dia tak begitu suka baju atau celana. Celana pendek yang sehari-hari dipakainya mencangkul di ladang adalah warisan masa SMP-nya dulu. Masih muat dipakai. Karena badannya tambah kurus, celana itu pas-pas saja di pinggangnya. Di lemari, dia hanya punya empat baju kaus yang kadang digantinya tiga hari sekali sampai baju itu benar-benar lusuh dan bau. Kalau perbuatan menjijikkan itu sampai ketahuan ibunya, dia pasti kena omel. Akhir-akhir ini, sengaja lama tak dicucinya bajunya. Dia begitu rindu omelan ibunya. Hal pertama yang akan dikatakannya adalah: Ibu, di pulau ini aku pernah tidak mencuci baju sampai panu di pinggangku berbentuk seperti Kepulauan Indonesia.

Akhir laman. Haricatra menyeret ke bawah lagi. Tak bisa. Dia melenguh sambil menghempaskan tubuhnya ke tembok kayu. Dibacanya lagi kalimat puisi pada kertas tag itu. Tidak salah lagi. Kalimat itu pernah dia baca entah di mana. Lagipula, kalimat itu benar-benar mengingatkannya pada Wahyuni,—seolah-olah kertas itu memang sengaja ditulisi untuk dia seorang.

Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang