Haricatra terengah parah sembari berlari masuk kamar. Sesuatu sedang merajam-rajam dadanya dengan ganas. Buru-buru ditutupnya pintu kayu dan dikuncinya dengan paku beton besar. Beberapa helai baju yang tergantung di kapstok daun pintu bergoyang hebat dan jatuh.
Didekatinya cermin di samping dipan. Lambungnya meluap-luap. Ditahannya agar isi perutnya tak keluar. Masalah besar kalau sampai dia ketahuan muntah di kamar. Membersihkan lantai semen bukan perkara lap pel dan air. Cairan apa pun yang jatuh di lantai semacam itu akan meresap dan meninggalkan aroma yang lebih tengik daripada keringat yang difermentasi.
Cepat-cepat dibukanya baju dan dilemparnya ke kasur kapuk yang telah lama gepeng menahan berat badannya. Rasa perih di dadanya menjalar-jalar seperti sengatan lebah. Sesaknya kian menjadi-jadi. Nyaris napasnya habis. Diterangi lampu meja yang menyala seredup lilin, dengan jelas ditatapnya tubuhnya sendiri. Perutnya memang datar, kencang, dan mungkin sudah layak disebut kurus. Namun otot-otot gempal di lengan dan bahunya agaknya bisa jadi alasan bagus kalau kalau dia masih sehat dan cukup makan. Tubuhnya baik-baik saja,—kecuali gumpalan darah pekat di dada itu.
Bocah sadis. Di pelupuk matanya, wajah jahil Anggira lewat sekilas. Entah dari mana anak SD sekecil itu menerima wangsit menaruh lempengan tembaga di dalam sepatu.
Dan yang lebih aneh lagi,—dari mana bocah itu dapat lempengan tembaga? Tebalnya hampir setengah sentimeter, dan sisi-sisinya digerinda nyaris sempurna. Tidak ada pabrik atau tukang las besar di Bontong. Paling-paling yang ada hanya tukang tambal ban milik Pak Jami.
Haricatra meringis. Sudut matanya berair menahan gempuran perih. Memar di dadanya membiru sebesar kepalan tangan. Untung memar itu bersarang di dada. Kalau di pelipis atau pipi, Bibi Sunarti pasti menyegelnya di kamar selama dua minggu.
Kemudian matanya beradu dengan pantulannya di cermin, seperti dua saudara kembar yang sedang saling tatap tanpa kedipan. Bakal perlu waktu agak lama sampai memar di dadanya itu benar-benar sembuh. Beruntung tadi dia cepat datang saat Boni kritis. Terlambat sedikit saja, anak kecil itu bisa pingsan menahan memar. Beberapa minggu lalu seorang bocah perempuan meraung-raung di ladang jagung tetangga. Seekor lipan raja menggigit mata kakinya dan membuat jemari kaki anak itu menggelembung seperti setandan pisang mas gemuk. Kasihan. Haricatra mengambil racun itu separuh dan dikumpulkannya di tangannya. Sakitnya membuatnya berguling-guling di atas tumpukan kulit jagung seharian,—persis digencet seterika panas.
"Kadek!"
Haricatra tersentak. Bibi Sunarti menggedor pintu.
"Kamu kenapa, Nak?"
Cepat-cepat anak itu berbalik dan menyambar bajunya. "Tidak apa-apa, Bu De."
"Bu De dengar ada suara muntah!"
Sensitif sekali telinga bibiku yang satu ini. Haricatra seketika mempermak wajahnya dengan raut paling sehat. Dipakainya lagi baju kausnya yang tanpa gambar itu. Digesernya paku beton yang mengunci pintu, dan ditunjukkannya senyum paling segar saat pintu itu dia buka.
Sunarti menatapnya seperti mesin scanner di terminal bandara. "Apa yang kamu lakukan di dalam sana?"
Mulut Haricatra sibuk menyusun cerita. "Anu,—" tangannya menunjuk ke arah dalam. "Kaos kaki saya, Bu De. Sudah seminggu lupa dicuci."
Tampaknya Sunarti tak begitu saja percaya. Alisnya menurun. Ditatapnya kaki keponakannya itu,—yang menghitam karena bolak-balik mengusir monyet di ladang. "Kapan kamu punya sepatu?"
Kerongkongan anak itu tersedak. "Eh," dia menggaruk-garuk kepala. "Dikirim dari Bali waktu tahun baru."
Perempuan paruh baya itu geleng-geleng sambil memejam. "Dasar anak bajangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)
AventureUntuk mengatasi pandemi SALCON di Indonesia, pohon Nagapuspa harus ditanam lagi. Sayangnya, Haricatra justru menghadapi masalah selain teror Epsilon... masalah pelik menyangkut rasa hati seorang remaja. Selamat membaca.