Api

231 37 30
                                        

DARI kegelapan yang begitu menyesakkan, dinding gua asing itu perlahan-lahan berpendar hingga ceruk-ceruk bebatuannya bisa terlihat cukup jelas dari jarak beberapa meter. Haricatra tiba-tiba tersadar begitu saja dan mendapati dirinya sedang berdiri tanpa pakaian sehelai pun sambil menggigil hebat. Sekujur badannya basah kuyup. Rambutnya yang pendek meneteskan begitu banyak air yang menetes tanpa henti dari begitu banyak stalaktit raksasa di atap gua. Ujung jemarinya sudah mengeriput dan bergetar hebat. Tatkala dihirupnya udara lembab, paru-parunya terasa membeku. Langsung anak itu batuk-batuk. Karena pendaran cahaya redup kebiruan itu, kulitnya jadi ikut-ikutan berwarna biru.

Ada genangan air setinggi mata kaki di tempatnya berdiri. Paling tidak, langkah pertama yang harus dilakukannya adalah menemukan sehelai kain untuk menyelimuti badannya yang kurus itu. Jika dia sedang terjebak dalam sebuah prank ulang tahun ketujuh belas dari paman atau bibinya, rasa-rasanya itu terlalu berlebihan dan maju dua bulan lebih awal.

"Halo?"

Suaranya menggema di dinding gua, memantul dan meliuk-liuk di antara kerucut-kerucut bebatuan purba, lalu kembali masuk ke telinganya berupa pantulan suara parau mirip erangan monster. Entah siapa pula yang menaruhnya di tempat sedingin itu dan memandikannya sampai gemetar dahsyat seperti mesin tiup gelembung akuarium.

Air yang menggenang di kakinya itu mengalir pelan ke sebuah lorong gelap gulita tepat di depannya. Dari celah lorong yang benar-benar hitam itu terdengar gemericik air. Barangkali genangan air itu adalah bagian dari sebuah sistem sungai bawah tanah atau apalah. Yang jelas, Haricatra tak punya minat sedikit pun untuk masuk ke sana.

Tatkala fokus matanya menjadi lebih terang, dia bisa melihat air dangkal nan bening itu mengalir memasuki celah gua yang rasanya muat dilewati orang dewasa. Kegelapan di ujung celah gua semakin menipis oleh cahaya redup yang muncul dari sela-sela bebatuan gua. Mungkin beberapa jenis bebatuan memang bisa mengeluarkan cahaya sendiri—

Atau mungkin tidak. Bebatuan yang mengeluarkan cahaya sendiri tidak ada di mana pun di dunia manusia.

Belum genap benak Haricatra menelaah semua keasingan itu, disadarinya seseorang sedang berdiri di ujung celah gua.

"Siapa?" seru Haricatra. Suaranya menembus lurus ke celah gua. Pantulannya pun mengarah ke dalam celah.

Jika itu benar-benar seseorang, mungkin orang itu sedang tersenyum geli melihat bocah kurus enam belas tahun mondar-mandir kebingungan sambil telanjang seperti manusia purba.

"Hei!" Haricatra berhenti di mulut celah gua. Matanya menajam.

Sosok hitam itu malah mendekat sangat cepat!

Dalam waktu amat singkat, sosok hitam berkerudung itu telah sampai di mulut celah gua. Haricatra tersentak. Tubuhnya oleng. Dia jatuh terjengkang ke genangan air yang amat dingin.

Sosok itu mendesis. Lalu, desisan marahnya berubah menjadi raungan gila. Saat itu terjadi, sepercik api menyembur dari kedua lubang matanya yang hanya berupa tengkorak.

Haricatra menjerit hebat tatkala sosok itu mulai terbakar. Kain hitam yang membalut tubuhnya dilalap api yang berkobar kian hebat. Wajah tengkoraknya jadi merah membara. Pekik sosok itu makin nyaring dan lantang. Haricatra tak kuat lagi mendengarnya. Telinganya sakit bukan main. Suara pekik mengerikan itu menusuk-nusuk hingga jantung.

Dan dia pun terbangun, menggelepar hebat dan nyaris melompat dari kasur. Pakaiannya basah kuyup berpeluh. Tepat saat itu juga, Wijaya mendorong pintu kamarnya dan masuk tergesa-gesa bersama Sunarti. Wajah keduanya panik mencekam.

"Kadek!" panggil Wijaya. Suaranya bergetar hebat. Diraihnya bahu Haricatra. Bisa anak itu rasakan getar yang merambat gusar dari tangan pamannya.

Tak sempat Haricatra menjawab, sesuatu yang berat dan besar menghantam atap tepat di atas kamarnya sampai gentingnya pecah. Sunarti memekik ketakutan. Pecahan genting ambyar di lantai.

Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang