Mark mengembuskan napas kasar, kemudian menatap langit yang masih gelap, entah kapan akan cerah kembali seperti biasanya. Siapa pun yang membuat suara bising, tidak akan pernah bisa membuat dia bergerak dari tempatnya saat ini.
Keinginan Mark hanya satu, Jaemin mengakui semuanya langsung di depannya, dan dia akan menolong temannya itu. Mungkin, dia tidak pantas dikatakan teman, sampai Jeno pun enggan melihatnya dan bicara empat mata seperti biasa. Mark tidak tahu di mana letak kesalahannya karena menanyakan hal ini kepada Jaemin. Sampai sekarang pun dia tidak tahu.
Keduanya terlilit kesalahpahaman yang tak berujung. Satu terlalu batu untuk mengikuti permintaan, satu terlalu ingin mengulik agar tidak salah langkah. Jaemin itu keras kepala, hanya Yangyang yang bisa meluluhkannya, meski hanya lewat dari tatapan mata hangat itu.
Mark terlalu kesal, di sisi lain dia bahagia Jaemin bisa membagi perasaan tertekannya, meski bukan kepadanya. Rasanya terlalu bodoh terus menunggu dan melihat seseorang berusaha menenangkan diri dengan segala cara di luar akal manusia.
"Aku itu temannya ... 'kan? Lalu, mengapa aku senang melihatnya menderita ...?"
Lagi, Mark mengusap wajahnya dengan kasar, dia yang tidak bisa minum kopi pun kini mulai meneguk cairan gelap berkafein yang memacu jantungnya lebih cepat dari sebelumnya. Mata tak bisa terjaga cukup lama, dia sudah kewalahan sekarang.
"Mark?"
Suara manis itu menusuk gendang telinganya, Mark langsung menoleh dan mendapati sepupunya yang tengah berdiri dan membawakan sepiring kue, sepertinya dia yang membuat makanan manis itu.
"Ada apa, Haechan?"
Haechan menggeleng pelan dan melangkah untuk duduk di sebelah saudara sepupunya. "Mengapa kau datang? Bagaimana kabar yang lain?"
"Tidak baik. Aku berusaha bicara dengan Jaemin tadi."
Mendengar perkataan itu, Haechan hanya tersenyum simpul, dia menepuk pelan bahu Mark, berusaha menenangkannya untuk sementara waktu. Akan tetapi, wajah Mark semakin gusar, dia tidak mau menyerah dengan cepat untuk mengetahui apa yang disembunyikan Jaemin sampai seperti ini.
"Mark, kau sayang denganku, bukan?" Haechan mengambil satu kue dari piring, kemudian memberikannya kepada Mark. "Itu juga yang Jaemin rasakan terhadap Yangyang, bahkan lebih besar dari perasaanmu padaku. Aku mohon, jangan memaksanya, kalian teman dekat saat sekolah dulu."
"Haechan ...."
"Aku baik-baik saja."
Anggukan itu sama sekali tak tampak baik-baik saja. Mata sembab dengan sedikit luka di bibir serta pipi sepupunya. Haechan tidak baik di sini, begitu pula dengan Jaemin. Mark terus mempertanyakannya, mengapa dia tidak bisa menggantikan posisi orang yang dia sayangi?
Sampai saat ini, Jaemin enggan bicara, Jeno pun enggan, hanya Haechan yang bisa menerima seluruh keluh kesah tak bergunanya.
"Mark, jangan pernah khawatir dengan kami yang berada di tempat ini. Jaemin akan menderita, kau juga, aku pun akan merasa seperti itu. Percaya padaku, semua akan baik-baik saja, ya?"
"Luka ini, bagaimana?" Mark mengusap pelan pipi Haechan yang sedikit membengkak, luka itu cukup parah."
"Aku bisa mengatasinya. Jika terkena infeksi pun, itu bukan masalah. Aku berada di sini karena harus ada yang berkorban, jadi jangan pernah berpikir kau tidak berguna atau apa pun itu. Kumohon, pikirkan lagi semuanya. Setidaknya ... cukup aku saja yang terluka, jangan sampai yang lain merasakannya."
🌸🌸🌸
"Ayah, bisakah kita bicara sebentar?"
Jeno tahu ini sedikit keterlaluan, tetapi dia tidak bisa menahan diri terlalu lama mengenai sahabatnya yang tengah terkurung, menyimpan segala perasaan suntuk, kesal, dendam, serta patah hati hingga tega melukai diri sendiri. Dia tidak sekejam itu, tidak ada yang kejam seperti itu di dunia ini.
"Mengenai Jaemin?"
"Bisakah Ayah berhenti? Jaemin tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini."
"Lalu?" Sang ayah menoleh dengan kedua alis yang naik. "Keluarga mereka yang menyerahkan Jaemin, itu salah Ayah?"
"Tentu saja. Mengapa Ayah mengiyakannya? Sedari dulu, Jaemin tidak pernah ikut campur urusan keluarganya, dia benar-benar bebas dari apa pun. Mengapa saat dia sudah menginjak usia dewasa, justru dia disangkutpautkan?"
"Kau iri dengannya, Lee Jeno."
"Aku menyayanginya."
Pria setengah abad lebih itu langsung memiringkan sedikit kepalanya, kebingungan dengan pernyataan sang anak yang tak pernah dia katakan sebelumnya.
"Aku menyayangi Jaemin, Haechan, begitu juga dengan Mark. Aku juga tidak mau membuat Renjun terus tersiksa karena hal ini. Aku menyayangi mereka, lebih dari aku menyayangi kalian."
Jeno mengembuskan napas pelan. "Kalian bisa menjadikan aku gantinya. Aku tidak akan mundur atau apa pun itu, tetapi, tolong ... lepaskan mereka."
"Jaemin dan Haechan, keduanya adalah pilihan keluarga mereka, mengapa aku harus menolak hanya karena mereka sahabat baikmu dan harus merelakan anak berpotensi sepertimu?"
"Kau hanya menyiksa mereka tanpa alasan jelas. Apanya yang saling membantu keluarga?"
Jeno sudah enggan bicara dengan ayahnya, dia langsung berbalik dan keluar dari ruangan tanpa berkata apa pun, meninggalkan sang ayah yang tengah tersenyum simpul. Kertas yang ada di tangannya berhasil membuat dia tertawa pelan.
"Na Jaemin ... menjalin hubungan diam-diam dengan Liu Yangyang. Bukannya itu yang ingin kau sampaikan tadi?"
🌸🌸🌸
Yangyang duduk di dekat dengan tempat rahasianya yang sudah dihancurkan empat tahun lalu, menatap bangunan yang cukup jauh dari sana. Namun, pandangan Yangyang masih bisa mencapainya.
Suara seseorang yang memanggil itu mengambil atensinya. Yangyang sudah menunggu sedari tadi, sendirian dengan wajah yang lebih baik dari sebelumnya.
"Bagaimana? Kau berhasil mengatakannya?"
Mark menggeleng pelan. "Aku belum sempat mengatakan itu."
"Maaf, ya, membuatmu jadi terbebani, apalagi terlihat jahat di depan sahabatmu."
"Jaemin tidak akan pernah menganggapku sahabat lagi. Lagi pula, tidak masalah, aku juga ingin menyelamatkan Haechan dari sana."
Mark menyodorkan minuman kaleng yang dia beli sebelum ke sini, Yangyang menatapnya curiga, kemudian dia tetap mengambil kaleng tersebut. Mark tertawa pelan melihatnya, pantas saja Jaemin jatuh hati kepada Yangyang, laki-laki satu ini terlalu menggemaskan.
"Kau sudah bicara dengan Jeno mengenai hal yang kemarin?"
Yangyang menggeleng pelan. "Aku ragu. Aku takut jika itu hanyalah jebakan. Kau ingat, bukan? Bagaimana keluarga Na dan keluargaku saling menjebak saat itu? Kau yang pertama sadar."
"Aku ingat." Mark duduk di sebelah Yangyang, ikut menatap pantai yang berisik karena deburan ombak tak henti. "Jaemin juga tahu itu, begitu pula dengan Jeno. Kau sendiri bagaimana? Ingin melanjutkan permintaan keluargamu, atau keluar dari lingkaran iblis tak berguna itu?"
"Kemudian menyelamatkan Jaemin? Butuh waktu lebih lama."
"Menyelamatkan? Kau tahu dia ada di mana?" Mark tertawa pelan, tetapi Yangyang menanggapi dengan anggukan pelan disertai senyum manis yang mematikan.
Sewaktu Yangyang menoleh ke arah pulau tak boleh dimasuki itu, Mark langsung mendelik tajam. Benar kata Jaemin, Yangyang pasti menemukannya dengan mudah jika dia sudah membaca isi dari surat pesawat tersebut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast (JaemYang) ✔
Fanfiction[Warn! BxB!] Jaemin tahu keputusannya untuk mengakhiri hubungan ini amat menyakiti Yangyang, tetapi dia juga enggan melihat dan mengetahui bagaimana sakitnya saat Yangyang mengetahui kebenaran. Keadaan sekitar tidak pernah membolehkan menyukai sesam...