14

141 27 5
                                    

Jatuh cinta itu menyakitkan. Sangat menyakitkan.

Siapa yang bisa bertahan dengan senyum manis di tengah sakit penghianatan yang luar biasa?

Bukan hanya melawan hukum mengenai mencintai sesama jenis.

Namun, mereka berdua juga saudara.

Saudara satu ayah.

Terdapat darah sang ayah yang mengalir, dengan detakan jantung dari sang ibu yang berbeda.

Tidak, hal ini sangat tidak boleh. Jaemin sudah tahu bagaimana luka yang tertoreh di dalam dirinya saat mengingat bagaimana dia jatuh cinta kepada sesama. Lalu, kini dia kembali dikejutkan dengan hasil yang dicari Haechan selama ini.

Keluarga Na memang sempat hancur, dan memiliki dendam dengan keluarga Yangyang, keluarga kecil yang tak pernah diketahui berada di mana selain Yangyang itu sendiri. Kehancuran keluarga besar Jaemin terjadi dengan adanya penghianatan yang tak diketahuinya, karena Jaemin sendiri enggan mengetahui segala sesuatu mengenai keluarganya.

Jaemin yakin, pasti Yangyang sudah mengetahui semua ini sampai dia sendiri amat membenci Jaemin dengan membawa status keluarga mereka.

Awalnya, Jaemin pikir karena kesombongan dan kekayaan yang menunjukkan kekuasaan di mana pun keluarganya berada, tetapi dia salah. Yangyang benci dengan kehadirannya sendiri, kehadiran yang disebabkan oleh kesalahan dan kebodohan kedua belah pihak.

Tidak, Jaemin tidak bisa membenci Yangyang sama sekali. Cinta yang mengental hingga membuag kedua kakinya turun berlutut itu tidak bisa kembali cair hingga menghilang dari sana. Jaemin terlalu mencintainya, dia tak sanggup meski harus membunuh Yangyang agar semua masalah yang berada di sekitarnya usai.

Lebih baik dia yang pergi.

Jika memang harus Yangyang yang pergi, lebih baik mereka berdua.

Kehidupan usai kematian akan lebih menyenangkan. Tidak akan ada lagi yang bisa memisahkan mereka sampai kapan pun.

"Jeno sudah mengetahuinya, Jaemin."

Perkataan Haechan semalam membuatnya terus terpikirkan. Masalah utamanya, Jaemin selalu meminta bantuan Jeno, bahkan Jeno adalah orang pertama yang mengetahui rencana apa yang akan diambil oleh kedua insan terpisah jarak dengan kebohongan ini.

"Ah, dasar bodoh," gumamnya pada diri sendiri.

Tekanan dari segala arah berhasil membuat Jaemin kembali seperti sebelumnya, terus berpikir yang tidak-tidak, itu juga salah satu hal mengapa Haechan tak ingin memberitahu Jaemin sama sekali.

"Jika memang nantinya kau akan membenciku, tidak masalah. Aku akan berterima kasih karena telah memberiku kesempatan singgah di hatimu."

🌸🌸🌸

Yangyang tertawa pelan setiap melihat Jaemin sibuk sendiri, tingkahnya terlalu berbeda dengan apa yang orang-orang bicarakan dengannya. Sejujurnya, setiap sedang berdua, Yangyang merasa dirinya cukup spesial karena dapat melihat dan bicara tak jelas dengan Jaemin.

Orang yang mengerti Jaemin luar dalam, kini benar-benar bertambah. Awalnya, Jaemin amat segan dekat dengan orang lain dengan menunjukkan sikap aslinya, selain dia tidak nyaman, dia juga tak mau berbaur dengan orang banyak.

Melelahkan.

Merepotkan.

Menyebalkan.

Namun, Yangyang berbeda. Tatapan yang penuh amarah untuk membatasi diri dengan orang lain.

Jaemin pikir, mereka sama, tidak ingin mendekati orang banyak, selalu dipandang dengan sebelah mata. Pasti menyenangkan memiliki teman seperti itu. Sayangnya, Yangyang amat menutup dirinya, hingga tumbuh rasa lebih dari ingin menjadi teman.

Yangyang tahu jika Jaemin mulai tertarik dengannya, tetapi dia terlalu takut jika itu hanya hipotesis bodoh yang pernah dia simpulkan sendiri. Hingga dia meyakinkan diri, memberanikan diri, menurunkan egonya untuk membuktikan sesuatu. Justru, Yangyang sendiri yang tersadar akan perasaannya.

Genggaman, sentuhan, bisikan, semua amat membuatnya nyaman hingga mata terpejam. Cara bagaimana Jaemin memanggilnya, cara bagaimana tangan itu mengusap wajahnya amat lembut, kemudian merengkuhnya, mengatakan jika dia akan baik-baik saja di tengah ketidakpastian yang juga Jaemin rasakan.

Yangyang banyak menahan rasa terima kasihnya, dia tidak tahu harus melakukan apa selain mengucap terima kasih. Rasanya berat, amat berat, berada di tengah ombak dan hanya bertahan dengan papan kayu yang hanya muat dirinya. Andaikan saja ada yang bisa melihatnya bukan sebagai Liu Yangyang selain Jaemin.

"Yangyang?"

Kembali lagi, suara itu kembali. Yangyang menoleh dengan senyum ramah, melupakan bunga myosotis yang sedari tadi membuat pandangannya enggan terpejam untuk waktu sepersekian detik. "Ada apa, Na?"

"Forget me not?" Jaemin mengernyit dan langsung diangguki Yangyang. "Aku baru sadar jika bunganya menggemaskan."

"Apa lebih menggemaskan dariku?"

Jaemin tertawa pelan. "Tidak ada yang bisa mengalahkanmu jika dalam hal yang menggemaskan. Kau ingin membawa bunga itu, atau bagaimana?"

"Tidak. Aku hanya suka melihat mereka. Tak besar seperti ranunculus."

"Ranunculus, ya ...."

"Ada apa?" Yangyang tampak amat khawatir saat mendengar nada suara Jaemin yang berbeda.

"Tidak. Aku hanya teringat jika ibuku menyukai bunga itu. Hingga, saat ibuku meninggal, ayah selalu membawakan bunga ranunculus setiap hari."

"Mereka pasti saling menyayangi."

"Kau benar." Jaemin mengembuskan napasnya pelan. "Aku menyesal karena tidak mendengarkan mereka. Aku juga menyesal tidak mencegah ayahku untuk menikah lagi."

"Kau sudah berusaha untuk hidupmu selama ini, Na." Yangyang menoleh, kemudian tersenyum manis untuk menenangkan kekasihnya. "Kau hebat. Ibumu pasti bangga."

Jauh di hati Yangyang, dia hampir mengumpati ayah Jaemin dengan segala amarah yang dia tahan selama ini. Sebisa mungkin Yangyang terlihat biasa saja, tidak amat menunjukkan dia tengah marah, dia takut jika Jaemin akan menutup dirinya nanti.

Menahan semua cerita yang menjanggal itu amat menyebalkan, dia mengetahuinya dengan jelas.

Jangan sampai Jaemin merasakan hal itu kembali.

"Hari ini, bisa kau di dekatku seharian?"

"Kita selalu berdekatan setiap hari. Ada apa?"

Matanya tampak berbeda, Jaemin ingin mengatakan sesuatu tetapi dia tidak bisa di tempat ini, terlalu ramai dan beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Yangyang hanya bisa mengangguk pelan, kemudian mengikuti dari belakang entah ke mana mereka akan pergi.

Kala sampai di depan pintu apartemen tanpa berkata apa pun, keduanya mulai melangkah masuk, diakhiri dengan menutup pintu. Jaemin tampak berbeda dari biasanya, dia benar-benar tidak bisa mengalihkan pikirannya sama sekali dari masalah kedua orang tuanya sendiri.

Mulut tak mengucap untuknya meminta izin, tetapi dengan mudah wajahnya menghapus jarak di antara mereka. Yangyang tidak mau melawan, dibiarkannya bagaimana alur cerita berjalan di hidupnya saat ini.

Terasa hangat dekapan itu, terasa lembut elusan dari tangan kokoh yang membuatnya merasa terjaga dan bahagia di sepanjang hari. Sesekali dia tersenyum, kala keduanya berusaha mengambil napas. Menikmati pahatan Tuhan yang sempurna di sore hari bukanlah hal yang buruk.

"J-jangan di sini," bisik Yangyang dan membuat Jaemin tertawa pelan.

Tentu saja tidak di depan pintu. Jaemin langsung mengangguk pelan, mengikuti naluri hewannya yang masih ingin menikmati mangsa hingga dia kewalahan dan merasa amat terisi nanti.

Setidaknya, dia memiliki Yangyang untuk mengerti dan menenangkannya.

🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸

Halo! Aku cuma mau bilang makasih buat yang baca sampai sejauh ini huhuhu. Maaf tulisanku berantakan, banyak typo, dsb.

Makasih mau mampir, baca, vote dan segalanya.

Have a nice day, guys❤

Eccedentesiast (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang