06

230 38 1
                                    

Ada perasaan tidak enak yang menjanggal di hati Yangyang kala ini, tetapi dia terus berusaha tidak mengindahkannya sama sekali. Berbeda dengan Jaemin yang tengah kebingungan melihat wajah yang tampak gugup di depannya saat ini. Keduanya hanya bisa terdiam, Jaemin yang sibuk dengan pikirannya, Yangyang yang mulai ragu dengan keputusannya tadi.

"Kau ... tidak jadi ingin datang?" terka Jaemin yang langsung mendapat respon gagap dari laki-laki di depannya.

"Bukan, itu ... aduh, aku tidak tahu harus bilang seperti apa ...."

Jaemin tertawa pelan, dia maklum dengan hal itu. Lagi pula, mengingat bagaimana tawarannya tadi, seharusnya tidak berlaku hanya untuk hari ini, bisa untuk esok atau kapan pun Yangyang ingin datang. Pintu apartemennya akan selalu terbuka untuk kedatangan laki-laki itu.

"Tidak apa, tenang saja."

Lagi, Jaemin dengan seenaknya mengacak puncak kepala Yangyang, kemudian menata kembali rambut laki-laki itu. "Jangan memaksakan diri."

"Maaf."

"Aku sudah bilang tidak apa-apa, bukan?"

"Kau tidak ingin tahu alasannya?"

Tentu saja Jaemin ingin. Akan tetapi, dia tidak memiliki hak untuk memaksa Yangyang menjelaskannya. Perlahan kepalanya naik turun, mengiyakan pertanyaan yang lebih muda.

"Aku akan menjelaskannya, tetapi jangan pernah tertawa! Aku tidak suka ada kesalahpahaman saat kita sudah sedekat ini."

Sedekat ini? Sedekat apa?

Jaemin berusaha menahan tawanya, tetap saja dia mengangguk dan terus memperhatikan wajah Yangyang yang tampak malu.

Ah tidak! Yangyang tetap bicara dengan batinnya, meyakinkan diri jika perasaannya hanyalah kebohongan belaka, dia tidak menyukai Jaemin, dan dia bisa membuktikannya. Akan tetapi, melihat Jaemin sedekat ini, jantungnya ingin lepas.

"Ah, lupakan!" Yangyang mengibas tangannya di depan wajah. "Aku akan pergi."

Akan kubuktikan jika itu bukan tentang perasaan suka!

🌸🌸🌸

Kala angin mulai menerpa wajah hingga membuat kedua pasang mata kedua insan itu terpejam sejenak, Yangyang mulai merasa ada yang aneh dengan tangannya, lebih dingin dari biasanya. Pandangannya tertuju ke arah Jaemin yang baru saja membuka mata, tepat ke arah bulu mata panjang dan lentik milik laki-laki itu, amat indah.

Jaemin yang merasa diperhatikan pun langsung menoleh dan menaikkan kedua alis bingung. Akan tetapi, Yangyang tidak langsung memalingkan wajahnya, melainkan terdiam sejenak hingga kedua kakinya pun ikut terhenti, membiarkan Jaemin melangkah lebih dulu usai memutus kontak mata mereka.

Ada yang disembunyikan di sana, tetapi bagaimana Yangyang bisa yakin dengan hal itu? Atau hanya rasa khawatirnya saja karena diambang batas?

Mata itu tidak pernah bisa berbohong, bahkan Jaemin bukan hanya mata yang tak bisa berbohong, melainkan seluruh wajah dan sikapnya. Dia terlalu menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap orang lain, itu pun baru Yangyang sadari setelah merasa dekat dengannya.

Jaemin itu menyeramkan, dia tahu.

Lebih menyeramkan daripada kedua orang tuanya sendiri.

"Yangyang, kau lambat sekali."

Jaemin membalikkan tubuh, tersenyum manis dan mengulurkan tangannya. Yangyang tertawa sejenak, kemudian berlari kecil untuk menyejajarkan jaraknya dengan Jaemin. Tak peduli lagi dengan pikirannya yang semakin lama semakin menjanggal, yang terpenting dia harus melangkah maju karena mengambil keputusan seperti ini.

Perbincangan ringan keduanya hanya mengenai aktifitas masing-masing jika di luar jam sekolah, Jaemin pun menjadi tahu banyak setelah lama mendekati Yangyang yang masih enggan menunjukkan bagaimana respon perasaannya. Langkah kaki mereka yang satu irama tak pernah terhenti ataupun terputus, Jaemin senang menemukan seseorang yang memiliki kesamaan dan menyamakan frekuensi dengannya.

🌸🌸🌸

Entah pesawat kertas ke berapa yang sudah Jaemin terbangkan ke jendela bersekat besi layaknya penjara, dia tidak menghitungnya sama sekali. Jaemin tetap sibuk dengan segala pesan yang ada di kepalanya. Perlahan dia menutup kedua mata, membiarkan bulu mata lentik nan panjang kesukaan mantan kekasihnya itu bertemu dalam waktu yang cukup lama. Tak lama, Jaemin justru tertawa sendiri tanpa membuka kelopak mata, membiarkan bayangan indah yang sempat dia lalui itu datang serta pergi dengan cepat.

Jika dia tahu keadaan keluarganya dengan keluarga Yangyang sejelek itu, Jaemin akan lebih parah mendekati Yangyang, bahkan bisa saja dia sudah mati karena harus melindungi kekasih tercintanya. Ada apa dengan semua orang di sekitarnya saat ini? Mengapa hanya dia yang dipandang jahat sampai tak ada satu orang pun datang menjenguk kecuali Jeno dan Mark?

Jaemin merasa yang namanya termakan rasa bersalah. Dia yakin jika Yangyang juga merasakan hal yang sama, tetapi pandai-pandai saja menutupinya. Jaemin hanya ingin lahir dari keluarga yang normal, tidak terkenal atau apa pun itu.

Tidak hanya untuknya jika mengalami perjalanan berat layaknya terikat batu di kaki, Yangyang pasti merasakan hal ini tiga atau lima kali lipat darinya. Beban seperti apa yang Yangyang bawa di dalam kehidupannya, Jaemin sama sekali tidak bisa membayangkannya.

"Jaemin, aku sudah memutuskannya."

Suara yang masuk ke telinga robek milik Jaemin pun berhasil membuatnya menoleh. Tatapan penuh harap dengan bekas air mata itu tampak jelas di kedua netra kecil Jeno saat ini. Benar, kedua sisi manusia itu tengah hancur.

"Kau akan menyampaikannya?" tanya Jaemin hingga berdiri dan mendekati pintu dengan susah payah. "Kau berjanji, bukan?"

"Aku akan menyampaikannya, berbicara dengannya untuk membuat dia lebih tenang. Akan tetapi, aku tidak menjamin jika dia akan kembali datang padamu, atau apa pun itu."

"Tidak masalah. Yang terpenting, Yangyang tidak akan terluka lagi---"

"Namun, jika dia memilih pergi dan menghampirimu ke sini, aku tidak akan tanggung jawab. Kita semua tahu jika Yangyang seperti itu, bukan? Tidak pernah peduli dengan risiko apa yang akan dia dapatkan nantinya." Jeno sengaja memotong perkataan Jaemin, dan tentu saja Jaemin tahu apa yang akan Yangyang lakukan nantinya.

Hanya Jaemin yang bisa membaca pergerakan Yangyang meski dengan jarak seperti sekarang, dan hanya Yangyang yang bisa membaca segala jalan pikiran Jaemin sampai saat ini. Keduanya saling mengerti, saling membutuhkan, saling melengkapi dan akan bahagia jika bersama.

Meski jarak sejauh apa pun memisahkan mereka, semua akan tetap sama.

Hati yang terhubung, benang yang terhubung, perasaan yang terhubung. Banyak yang Jeno pelajari dari keduanya selama ini. Jatuh cinta bukanlah hal yang salah jika harus melukai sesama, itu adalah salah satu pengorbanan abadi manusia kepada salah satu dari mereka.

"Aku akan menunggu," kata Jaemin seraya tersenyum manis ke arah Jeno. Sudah lama dia tidak melihat senyuman setulus itu dari sahabatnya. "Aku percaya dengan Yangyang, aku percaya dengan kalia  semua yang tidak mungkin meninggalkanku di sini sendirian."

Jeno tertawa pelan, dia pun mengangguk setuju dengan pernyataan Jaemin. Jika dia sudah bisa meninggalkan tempat ini, sudah dari dulu dia lakukan.

Eccedentesiast (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang