10

173 35 2
                                    

Aku berada di sana
Tepat di pencakar langit
Yang selalu memanjakan mata indahmu
Di tengah senja menyapa

Tempat di mana kita bersaksi
Sesuatu mengenai
Perasaan yang tumbuh tanpa izin
Tempat yang membuatku sadar

Keindahanmu tak ada duanya, meski dibanding dengan matahari tenggelam.

Yangyang mulai membuka mata, melihat sekeliling tempat yang cukup asing baginya. Seharusnya dia masih berada di apartemen Jaemin, mengingat apa yang mereka lakukan semalaman. Akan tetapi, hanya aroma khas pemuda itu saja yang memanjakan penciumannya di tengah setengah sadarnya.

Sewaktu Yangyang melangkah untuk turun dari tempat tidur empuk itu, dia keluar dari kamar dan mendapati Jaemin yang sibuk memasak sesuatu di dapur. Yangyang memilih masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan wajahnya sejenak sebelum dia benar-benar sadar ada yang aneh dengan wajahnya.

Pipinya terluka, begitu pula dengan lehernya. Terlihat jelas jika itu bekas sayatan. Akan tetapi, semalam dia tidak mengingat apa pun selain mereka asyik bicara dan makan malam.

"Bicara ... mungkin ...?"

Yangyang melangkahkan kakinya yang tengah dipenuhi keraguan di dalam pikiran, tanya atau tidak mengenai apa yang terjadi semalam. Namun, Jaemin lebih dulu sadar jika Yangyang tengah berjalan ke arahnya.

Tatapan mata hangat itu tampak sangat berbeda, Yangyang takut jika dia menyakiti hati Jaemin dengan perkataannya semalam. Apa yang dia katakan, dia juga tidak tahu.

"Bagaimana tidurmu? Nyenyak?"

"Aku---" Yangyang mendelikkan mata kala melihat ada tanda merah di leher Jaemin, sangat jelas hingga Yangyang tak dapat mengatakan apa pun.

"Kau tidak melakukan apa-apa, hanya semalam ... ya ... kau menyuruhku untuk membunuhmu. Kau tidak apa-apa?"

Pertanyaan itu langsung dijawab gelengan oleh Yangyang. Sekarang, dia penasan mengapa di leher Jaemin terdapat tanda seperti itu.

"Lalu, ada apa dengan lehermu?"

Jaemin tertawa pelan. "Aku menyuruhmu melampiaskannya, tetapi kau justru menjilat dan menggigitnya, entah apa maksudnya."

"T-tunggu! Apa?!"

"Kau yang memberi tanda ini. Ini apa? Agar aku tidak diambil oleh yang lain? Kau mirip dengan kucing, ya?"

"Aku tidak bermaksud! Ah! Apa yang kulakukan?!"

Teriakan itu langsung mendapat jawaban oleh tepukan pelan di puncak kepala Yangyang. Sewaktu laki-laki itu menoleh, Jaemin sengaja mendekatkan diri, terus mengikis seolah meminta ganti apa yang sudah Yangyang lakukan padanya hingga keduanya tak lagi bisa bicara.

🌸🌸🌸

Langitnya indah. Namun, di mata Jaemin, yang tengah tersenyum lepas saat ini lebih indah daripada apa pun. Keduanya terlalu asyik dibutakan oleh perasaan masing-masing, meski masih sering menyangkal mengenai kebenaran. Jaemin sudah asyik sendiri dengan dunianya, begitu pula dengan Yangyang yang masih mendekap Jaemin seraya menyembunyikan kepalanya.

"Kau suka saat seperti ini?"

Yangyang mengangguk dalam diam. Dia memang suka dimanja seperti saat ini, rasanya sama seperti dulu, tetap disayang hingga ujung kuku kaki dan tangannya.

"Entah mengapa, rasanya aku lebih gugup sekarang."

"Padahal, kau sudah melakukannya."

Jaemin menepuk pelan lengan Yangyang yang masih menggelantung di lehernya. "Kau membuat pikiranku pergi ke mana-mana."

"Apa yang aku katakan?"

Tawa pelan Yangyang sangat merdu di telinga Jaemin, dunia berputar dengan mereka berdua yang menjadi porosnya. Jaemin suka dengan hari ini dan kemarin, dia berusaha tidak memaksa Yangyang datang, dia tahu ini adalah hal yang berat. Akan tetapi, Yangyang tetap datang, mendengar segala keluh kesahnya selama ini, tidak peduli jika Yangyang bisa melukainya dengan mudah.

"Suasana ini ... adalah alasan aku menyukai sore hari. Lebih tenang, matahari pun tidak seterik sebelumnya." Yangyang mengeratkan pelukannya, dia tersenyum senang di sana, membiarkan Jaemin tidak mengetahui apa yang tengah ada di dalam pikirannya. "Matahari sangat indah dan baik hati. Dia memberikan kehangatan kepada orang-orang yang kedinginan."

"Apa pelukanku kurang hangat untukmu?"

Yangyang tertawa pelan mendengarnya. "Kau mengerti maksudku, ya?"

"Iya, aku mengerti. Kau juga mengerti maksudku, bukan?"

"Kau benar. Kita saling mengerti."

Jaemin membisikkan sesuatu di telinga Yangyang, kemudian meniupnya hingga Yangyang menoleh dengan wajah bahagianya. Hal paling tidak bisa mereka bayangkan, kini terjadi hari ini.

Sungguh, keduanya sudah mabuk.

Mabuk aroma tubuh yang menggiurkan, mabuk suara menggoda di tengah serak menyebutkan nama.

Cukup mereka berdua yang mengetahui dan mengingatnya, tidak perlu orang lain.

Awalnya, mereka berdua dipisahkan oleh jarak, entah karena keluarga atau kasta, mereka sangat berbeda. Jarak kelas pun cukup jauh. Jaemin terus mengejar, berbeda dengan Yangyang yang tidak peduli sama sekali.

Jaemin sadar sesuatu, dia memang tertarik, jatuh ke pesona Yangyang dalam hitungan detik. Pesona yang tidak main, sikap yang sangat berbeda dibandingkan dengan segerombolan perempuan yang menyukainya. Pasti kedua orang tuanya akan marah jika tahu anaknya tidak normal seperti orang kebanyakan.

Kita di tengah kesalahan
Tidak ada yang bisa menghentikan kita
Dosa yang mengalir dalam diri
Mengalahkan darah yang membawa oksigen

Kau tahu aku selalu haus akan dirimu
Kau tahu aku selalu suka menyebut namamu
Kau tahu aku suka teriakan sensual itu
Namun, tahukah kau?

Hati ini terluka lebih dalam
Lebih dari kegiatan terakhir kita kala itu
Tepat sebelum aku mendeklarasi ....
Agar tidak ada lagi ikatan di antara kita.

🌸🌸🌸

Tubuhnya halus, terlalu halus sampai saat Jaemin menggendong Yangyang di punggungnya pun, dia tidak tahu harus melakukan apa lagi selain mengusap pelan lengannya. Jaemin terus melangkah, membiarkan Yangyang asyik dengan dunia baru buatan otaknya hingga mereka sampai ke tempat tujuan.

Tidak bisa jalan, katanya.

Jaemin tidak pernah membayangkan hal sebrutal itu akan terjadi kepada mereka berdua. Awalnya dia hanya ingin memainkan si pengucap, bukan sampai ke seluruh tubuhnya. Namun, semua hilang kendali.

Menjadi salah satu di antara pembuat dosa, itu tidak salah, bukan?

"Jaemin," panggil Yangyang yang sudah membuka mata dan masih menyandarkan kepala di leher Jaemin. "Terima kasih."

"Aku yang seharusnya berkata seperti itu. Maaf."

"Tidak perlu meminta maaf, aku juga menyukainya."

"Kau suka?"

Yangyang mengangguk cepat. "Entah mengapa ... aku justru merasa lebih baik dari sebelumnya, dan merasa bersyukur karena kau yang melakukannya."

"Jangan lukai dirimu lagi, Yangyang."

Hanya itu yang bisa Jaemin katakan. Yangyang hanya berdeham mengiyakan, kemudian kembali menghirup serakah aroma tubuh Jaemin yang tak memiliki kesamaan dengan siapa pun. Menenangkan, menghilangkan penat.

Secara tidak langsung, Yangyang mengakui jika dia menyukai Jaemin lebih dari apa pun. Keberadaan Jaemin terus membuatnya bahagia, dia tidak bisa menyembunyikan senyumnya seperti biasa. Keberadaan Jaemin adalah hal utama yang dia butuhkan di tengah kerasnya kehidupan yang tengah mereka jalani.

Menjadi tidak normal ... ternyata tidak buruk.




--------------
P.s
Flashbacknya nggak urutan, itu sengaja. Jadi tergantung Yy sama Jm yang lagi inget apa, baru diceritain WKWKWK.

Eccedentesiast (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang