12

154 31 0
                                    

Laut itu biru, tanpa memberi tanda jika langit tengah menjadi kelabu di tengah kehancuran hati si pengijak bumi. Satu per satu air mata langit dari awan mulai menetes, mengenai lahan hijau yang ditumbuhi beberapa bunga cantik. Di balik bukit kecil ini, terdapat kenangan manis, di balik hujan yang tengah malu-malu menunjukkan dirinya, terdapat kenangan pahit.

Semua yang manis, pasti akan mendatangkan hal pahit pula. Yangyang tahu hal itu akan terjadi, tetapi dia tidak pernah mau menyiapkan hati hingga saat ini. Luka yang tertanam tanpa tersuara serta tersalurkan selalu menumpuk, membuata perasaan negatif tersendiri.

Yangyang tidak tahu bagaimana cara pergi ke pulau sana dengan cepat, dia juga tidak tahu bagaiaman menjelaskan semuanya kepada Jaemin jika mereka bertemu nanti.

Apa Jaemin akan bahagia?

Bagaimana jika ada maksud lain dengan perginya dia?

Keraguan kembali menggerogoti hati Yangyang, bersama dengan ketakutan yang tak pernah hinggap sebelumnya. Biasanya, jika itu menyangkut Jaemin dia sanggup melakukan apa pun, meski harus terbunuh sekali pun. Sama halnya dengan Jaemin, tetapi entah bagaimana sekarang.

Jaemin mendengkus frustrasi, mengingat bagaimana Haechan memberitahukan sebuah kebenaran kepadanya. Bersalah itu bukan apa-apa lagi, dia sudah tertekan sejak lama, diselimuti rasa takut sampai ingin mati sekarang juga. Haechan terlalu mendadak memberitahu hal seperti semalam. Jika saja dia masih memiliki waktu, mungkin semuanya akan baik-baik saja.

Sungguh. Jaemin adalah manusia paling bodoh selama ini.

Dia terlalu bodoh hingga percaya kepada orang yang salah dan membenci orang yang salah pula. Ceritanya berada di menara ini akan lama.

Tidak, harus lama. Tidak ada yang boleh mengeluarkannya dari sini, termasuk Yangyang nanti.

"Ah ... sialan!"

Dia tahu, dia tidak boleh mati sekarang atau akan ada hal buruk terjadi dengan Yangyang. Kematian yang tidak pernah terbayangkan olehnya di depan mata.

"Kau tidak bisa menyalahkanku, bukan?"

Haechan yang tengah berdiri di luar pun mulai membuka suara karena sudah yakin Jaemin justru akan melakukan hal aneh. "Jika kau mati sekarang, Yangyang justru lebihmudah terancam, bukan?"

"Mana mungkin dia ingin orang yang dia sayangi aan menjadi korban?"

"Fungsi tempat ini apa?"

Haechan tertawa pelan. "Kau akan terkejut jika mengetahuinya, Na Jaemin."

"Aku tidak mau menebak, Haechan. Aku sudah pusing sendiri dengan semua yang sudah terjadi. Mengapa ... sangat bodoh."

"Semua orang hanya akan memanfaatkan orang lain. Itu juga salah satu fungsi dari manusia, bukan?" Haechan mengembuskan napasnya pelan. "Yangyang yang mengatakan hal itu padamu, jangan sampai kau melupakannya.

🌸🌸🌸

"Aku sudah memberitahumu!"

Yangyang tertawa sendiri mendengarnya. Bagaimana bisa dia lupa dengan segala hal yang telah Jaemin katakan sebelumnya?

"Sebentar ... jujur, aku benar-benar lupa." Yangyang kembali tertawa kala melihat wajah Jaemin yang tengah merajuk di sebelahnya. "Memangnya ada, ya? Mana mungkin manusia sebaik itu pada kita?"

"Yangyang, manusia itu makhluk sosial."

"Semua orang hanya akan memanfaatkan mereka, entah mereka menyebutnya teman, sahabat, kekasih, musuh, atau apa pun itu. Memanfaatkan manusia lain juga termasuk salah satu fungsi manusia."

"Tidak semua seperti yang kau katakan." Jaemin menatapnya lurus, enggan berkedip untuk melewatkan seper sekian detik mata indah kekasihnya. "Jadi, kau juga mengatakan aku memanfaatkanmu?"

"Iya. Aku juga memanfaatkanmu."

Dahi Jaemin mengernyit heran. Dia tidak bisa membantah pernyataan itu, dia juga merasakannya. "Bukankah kata-kata memanfaatkan terdengar kasar?"

"Namun, itu yang paling mudah dimengerti dan mudah dipahami, bukan?"

"Berarti jika dia melakukan sesuatu demi temannya .... itu apa?"

Yangyang mengerjap beberapa kali, dengan wajah tak berdosanya dia menjawab, "Orang itu bodoh. Mengapa dia harus melakukan hal seperti itu demi orang lain? Apa ada untungnya? Sepertinya tidak."

"Aku akan melakukan apa pun untukmu." Tangan Jaemin berpindah, mengusap puncak kepala Yangyang, kemudian turun ke pipi laki-laki itu dengan tatapan yang semakin hangat diikuti senyum manis. "Mungkin terdengar aneh, tetapi aku akan melakukannya jika kau tengah terjebak di sebuah situasi yang harus dibantu. Kau tidak sejahat itu, hatimu terlalu lembut."

"Kau berlebihan."

"Namun, kau menyukainya."

Yangyang mengedikkan bahunya sejenak. "Aku tidak pernah bisa menolak sikap manismu itu."

Karena aku mencintaimu ....

Lebih dari apa pun.

🌸🌸🌸

Terdapat embusan angin yang tidak terlalu kuat, memainkan rambutnya yang tengah menunduk diam di depan bebatuan yang masih terdiam sejak dulu. Yangyang mengerjapkan mata, tepat saat melihat ada yang aneh di salah satu batu tersebut, ternyata hanya lumut yang mulai menampakkan diri.

Biasanya, bunga yang bermekaran di sini akan sangat cantik. Dari cornflower tiga warna, bunga daisy atau popi, belum lagi pohon akasia yang cukup kokoh akan ikut berbunga.

"Tanah lapang ... ya ...?"

Yangyang mengembuskan napas sejenak, kemudian berdiri seraya memetik salah satu bunga yang masih bertahan sendirian di dekatnya. "Kau hidup sendiri, memangnya kuat?"

Mana mungkin bunga itu akan bersuara. Akan tetapi, dia yang sudah menghancurkan kehidupan bunga itu tak merasa bersalah, justru dia meminta agar hidup bunga tersebut berhenti sampai di sini, jangan terus berharap akan ada yang datang dan mengajak bicara.

Sampai kapan pun, hal itu tidak akan terjadi.

Yangyang tahu jika hatinya yang tengah terluka dan sukar untuk menerima semua hal yang sudah terjadi. Dia bisa pergi mencari Jaemin sekarang, tetapi itu terlalu polos, atau dia akan bunuh diri.

Tidak ada yang boleh ikut dengannya. Tujuannya hanya perlu menyelamatkan mantan kekasihnya, bukan hal lain. Perlahan Yangyang mengembuskan napasnya, meyakinkan diri jika semua akan sesuai dengan apa yang sudah tertata rapi di dalam otaknya.

Satu langkah lagi ....

Satu rasa yakin lagi ....

"Yangyang?"

Suara tak asing itu mulai menyapa gendang telinga Yangyang hingga lamunannya buyar. Dia menoleh, kemudian menyungging senyum. "Ada apa, Renjun?"

"Kapan kau akan pergi?"

"Kau mengusirku?"

Renjun mengembuskan napasnya kesal. "Tidak seperti itu. Jika bukan malam ini, ayo kita makan bersama malam nanti."

"Kenapa?"

"Apanya?" Renjun mengernyit tidak paham.

"Kenapa kau mengajakku makan malam? Biasanya kau tidak seperti ini. Kau mengetahui sesuatu yang aku tidak tahu?"

Tidak, Renjun tidak bisa menjawab. Dia tidak tahu segala yang dimaksud Yangyang. Mana mungkin dia mengatakan segala kebenaran yang dia tahu kepada sepupunya? Bukannya Yangyang mundur, laki-laki itu justru semakin ingin cepat pergi dari sini.

Kepalsuan yang ada di antara semua orang memang tidak bisa Yangyang baca dengan mudah. Namun, berbeda dengan orang yang dekat dengannya. Sampai sekarang, Yangyang yakin dengan perkiraannya sekarang.

Namun, Renjun tidak. Dia tidak akan pernah mengatakan hal ini kepada Yangyang.

Dengan berat hati membiarkan saudara sepupunya merasakan apa yang harusnya dia rasakan.

Eccedentesiast (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang