18

448 35 2
                                    

"Aku akan dikubur hidup-hidup. Itu juga aku yang memilih."

"Kau gila?!" Mark menaikkan nada suaranya hingga Yangyang memejamkan mata. "Apa saja pilihannya?"

"Rahasia. Aku merasa itu yang terbaik, karena aku meminta bantuanmu."

Yangyang tersenyum manis ke arah Mark. Sontak, laki-laki itu langsung paham dan mengembuskan napasnya amat panjang. "Kau menyuruhku menembakmu?"

"Tepat. Akurasimu setiap menembak selalu tepat. Bunuh aku, jadi aku tidak akan kehabisan napas saat dikubur hidup-hidup."

"Jaemin mengetahuinya?"

Yangyang terdiam, tak lama dia menggeleng pelan. "Jangan beritahu dia, jangan beritahu siapa pun. Hanya kau dan aku yang mengetahuinya."

Aku harus menerima hukumannya. Seberat apa pun, aku harus menerimanya.

Kadang manusia tahu, dia berbuat dosa, tetapi tetap melanjutkannya. Karena apa? Melakukan dosa lebih nikmat daripada menjauhinya.

Mark sudah siap di posisinya, dia bisa mengetahui kapan dan di mana dia harus melancarkan tembakan tersebut. Kedua tangannya terasa amat berat, untuk melanjutkan hal ini, tetapi dia juga tidak mau temannya itu sengsara kehabisan napas di dalam tanah.

Setidaknya, ini adalah hal terbaik yang bisa dia lakukan.

Tepat saat Yangyang menengadah, menatap langit yang cerah di pukul sembilan pagi, di mana sinar mentari masih sangat sehat untuk tubuh. Kedua matanya mulai terpejam, dibiarkannya rasa sakit menusuk leher, tepat di mana ada detakan yang akan amat terlihat jika terkena radang.

Tak ada lagi rasa sakit.

Tak ada lagi rasa khawatir.

Namun, ada satu rasa penyesalan.

Ah, seharusnya aku mengatakan jika aku juga mencintainya secara langsung ....

🌸🌸🌸

Kedua mata Jaemin terbuka saat dia merasakan tubuhnya digoncang cukup kuat. Dia mengerang pelan, kemudian merenggangkan tubuh seraya mengumpulkan nyawa untuk siap menghadapi dunia nyata.

Anggap saja semuanya tidak nyata, Nana.

Jaemin mengambil secarik kertas yang diberikan Haechan dengan senyum manis. Dahi Jaemin langsung mengernyit heran, dia mulai membuka kertas tersebut, tepat saat Jeno duduk di sebelahnya.

Anggap saja kita tidak pernah bertemu.

Bagaimana caranya? Aku tidak tahu.

Jaemin menoleh ke arah Jeno, sahabatnya langsung mengusap pelan punggungnya, dibiarkan rasa sesak itu mengalir sampai matanya memburam.

Anggap saja kita tidak pernah melakukan apa pun.

Aku saudaramu. Ada dosa yang lebih besar daripada menjalin hubungan sesama.

Iya, kita saudara, satu ayah.

Lucu, ya?

Eccedentesiast (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang