11

175 33 0
                                    

Kertas itu terus berterbangan, mencari rumah baru untuk dibaca sang penghuni. Yangyang pun hanya bisa menggenggam satu-satunya pegangan yang dapat membawanya ke tempat di mana mantan kekasihnya berada. Setidaknya, Yangyang mengetahui ada apa sebenarnya dengan Jaemin sampai dia melakukan hal seperti ini.

Yangyang tahu dia salah jika terus melakukan hal ini, tetapi dia juga tidak kuat menahan diri dan memberitahu dunia mengenai hubungan mereka berdua. Sedari dulu, mereka saling menahan diri, bermain halus di depan umum, menunjukkan jika ikatan mereka berdua hanyalah sahabat biasa. Itu pun dapat diketahui Mark, Jeno, Haechan dan Renjun.

Kedua pihak sering mendengar jika mereka merupakan sosok yang berpengaruh bagi hidup masing-masing. Yangyang tidak berbohong, dengan datangnya Jaemin ke dalam kehidupannya, semua telah berubah menjadi lebih baik.

Setidaknya, ada alasan untuk tetap hidup di dunia menyebalkan ini.

"Satu per satu, Na ... aku akan datang. Tunggulah sebentar."

Menjadi tidak normal memang menyeramkan. Menjadi berbeda dari yang lain pasti berhasil membuat mereka disisihkan, seolah makhluk paling hina yang pernah ada di dunia ini.

Sadarkah orang lain? Dengan keberadaan mereka, perkataan mereka yang hanya menjatuhkan tidak akan membuat kedua orang tidak normal itu kembali. Mereka membuang tenaga, menorehkan luka di hati orang lain. Mereka yang manusia, sedangkan yang tidak normal bukanlah manusia.

Yangyang semakin benci dunia sejak itu. Mengapa dengan seenaknya orang lain menghakimi mereka? Apa salahnya?

"Yangyang?"

Renjun memanggilnya, dan berhasil membuat sang pemilik nama menoleh tanpa mengubah ekspresi mengerikan itu. Yangyang tidak ingin peduli apakah dia membuat hati Renjun terluka atau tidak, dia hanya ingin memperlihatkan perasaan yang terus tertutup selama ini.

"Kau ingin pergi?" tanyanya yang membuat Yangyang mengangguk pelan. "Kau tidak akan melakukan hal aneh, bukan?"

"Tidak. Aku hanya perlu membawa Jaemin kembali, kemudian aku pulang. Tugasku selesai."

"Di sana bukan tempat mudah untuk di---"

"Aku tahu, Renjun. Sudahlah, tidak apa-apa. Aku ingin menitip Jaemin nanti, jangan sampai dia terluka."

"Tunggu---"

"Jeno akan menjaga kalian. Dia sudah berjanji denganku jika aku berhasil menyelamatkan Jaemin."

Yangyang menyungging senyum manis seraya menyampirkan tasnya ke bahu. "Aku pergi. Jangan pernah merasa rindu padaku, atau kau akan menyesal."

🌸🌸🌸

Genggamannya hangat. Tidak mungkin tidak ada yang menyukainya.

Sapuan lembut dari lidahnya pun terus menimbulkan rasa candu tak henti.

Rasa itu tak pernah hilang, yang berawal dari asing hingga menjadi keperluan di dalam hidupnya. Yangyang mengembuskan napasnya pelan, membiarkan pikirannya tenang saat tengah sendirian, menunggu Jaemin yang tak kunjung kembali dari kefetaria sekolah.

"Yangyang? Kau menungguku cukup lama, ya?"

"Sejujurnya, iya. Namun, tidak masalah."

"Di sana sangat ramai. Kau mau ini? Aku membelikannya untukmu."

Es krim semangka. Yangyang menatap Jaemin heran, kemudian menerima es krim tersebut seraya berterima kasih. Yangyang tetap menatap Jaemin yang terlihat berbeda dari biasanya, dia lebih menggemaskan hari ini.

"Kau ... berat badanmu bertambah, ya?"

Jaemin menoleh dan mengangguk pelan. "Apa sangat terlihat?"

"Tidak juga. Hanya, pipimu lebih terisi, kau menggemaskan."

Entah mengapa hanya perkataan itu yang bisa terlontarkan oleh Yangyang, apalagi mengingat dia berada di tengah kerumunan ramai seperti ini. Awalnya, Yangyang hanya ingin pergi sendiri, menikmati angin di pantai, memperhatikan ombak seraya menunggu matahari terbenam.

Keduanya sekarang tengah duduk, membiarkan suara debur ombak yang berisik memenuhi gendang telinga. Jaemin menyungging senyum simpul kala melihat lurus ke arah menara tinggi yang tampak tua. Memang letak pulau itu tidak terlalu jauh, jika naik kapal pun tidak memakan waktu sampai satu hari.

Akan tetapi, hawa yang dirasakan kala sudah harus pergi ke sana tentu saja berbeda. Jaemin pernah diajak keluarganya untuk pergi ke sana, menyaksikan betapa tertekannya orang-orang dihukum itu sampai melukai dirinya sendiri. Satu-satunya harapan memang bunuh diri atau menanti kematian yang tidak tahu kapan dengan terjebak di menara itu seumur hidup.

"Nana?" Yangyang menoleh, kemudian menepuk pelan bahu Jaemin untuk menoleh. "Wajahmu pucat, kau kelelahan, ya?"

"Tidak. Aku tidak lelah sama sekali."

"Jangan berbohong denganku."

Sewaktu Yangyang menoleh sejenak ke arah menara di pulau seberang, dia seolah mengerti apa yang dikhawatirkan Jaemin. "Menara itu, ya?"

"Aku hanya berpikir, bagaimana orang-orang di sana membuat motivasi untuk bertahan?"

"Tunggu, apa?"

Jaemin salah. Dia kali ini tengah bicara dengan Yangyang, bukan keluarganya atau keluarga Jeno yang mengetahui di balik menara tinggi itu. Awalnya dia ragu, sangat ragu untuk menceritakan bagaimana keadaan di sana yang sebenarnya. Alhasil, Jaemin menggeleng pelan, dia belum bisa mengatakannya.

"Hanya dalam mimpiku. Mereka yang berada di sana tersiksa sendirian, mencari jalan keluar atau pasrah untuk menunggu kematiannya sendiri."

Namun, sering kali Jaemin melupakannya. Sekarang  dia tengah bicara dengan Liu Yangyang, seseorang yang memahami dirinya luar dalam. Sekecil apa pun kebohongan dalam perkataan Jaemin, tentu saja Yangyang mengetahuinya.

Untung saja Yangyang bukan orang yang memaksa. Laki-laki itu memilih mengangguk seolah paham tanpa ada pertanyaan yang ingin disampaikan. Menunggu seseorang bicara jujur adalah yang terpenting. Karena Yangyang ingin tahu, sejauh mana Jaemin akan membohonginya nanti.

🌸🌸🌸

Kedua mata Jaemin yang tadinya sudah terpejam erat, kini kembali terbuka. Dia tidak tahu harus melakukan apa untuk menemani tidurnya yang tidak nyenyak sama sekali.

Persetan dengan lima tahun lamanya di sini sampai dia terbiasa tidur dan mudah terbangun. Bagaimana pantai di sana pun sudah tidak terlalu terlihat, padahal biasanya banyak yang membuat api unggun dan bernyanyi untuk menghibur diri. Suara deru ombak pun tak lagi menjadi indah karena kenangan, melainkan kesengsaraan.

"Seharusnya aku berkata jujur saat itu ...."

Penyesalan mulai tiba. Jaemin mendengkus kesal kepada dirinya sendiri, terlalu bodoh sampai bisa-bisanya tak percaya dengan Yangyang yang akan tutup mulut nantinya. Bukan masalah Yangyang akan menyebarkannya dan dia ditangkap, tetapi karena Yangyang menyebarkannya dan laki-laki itu yang akan tertangkap.

Menikmati sisa hidup di dalam menara tinggi dan langsung melihat awan seolah tak jauh, itu menyeramkan, tidak pernah ada di dalam kamus kehidupan mereka berdua. Lebih baik dia yang berada di sini.

"Na Jaemin?"

Suara tak asing itu mengambil segala atensinya. Jaemin menoleh ke arah pintu, mendapati Haechan yang tengah tertawa di sana seraya menunjukkan beberapa kotak yang dijadikan satu. Sewaktu Haechan masuk ke dalam, dia meletakkan kotak-kotak tersebut di atas meja bundar dengan kursi untuk dua orang.

"Ada yang perlu kita bicarakan. Kau mau mendengarkanku, bukan?"

Lagi, Jaemin hanya bisa mendengkus, kemudian mengangguk pelan, malas berdebat di tengah malam yang sudah menghabiskan tenaganya.

"Apa yang ingin kaubicarakan?"

Eccedentesiast (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang