Gelap gulita malam hanya ditemani bulan yang menyinari seadanya. Dari sana sudah terlihat bagaimana ombak yang selalu berusaha menghancurkan sang karang yang tetap berdiri kokoh. Pantai tampak amat sunyi, benar-benar kosong tanpa manusia di sini.
Jaemin baru sadar jika dia telah menemukan tali tambang yang tua, tetapi masih kuat untuk menahan dirinya, jika nanti dia berubah pikiran dan benar-benar ingin menghabisi nyawanya. Akan tetapi, entah apa yang membuat dia yakin jika semuanya akan kembali seperti semula, kebahagiaan akan dia dapatkan kembali.
"Dingin," gumamnya seraya memeluk diri sendiri di pojok dekat dengan satu ranjang yang hanya muat satu orang.
Jaemin tahu jika semakin lama dia termakan oleh rasa pasrahnya, pasti itu lebih baik.
Sayangnya, dia sempat berjanji, agar tidak pernah menyerah dan membunuh dirinya sendiri.
Tujuh tahun lalu, Yangyang memberitahu jika dia akan tinggal terpisah dari Jaemin. Awalnya terdapat sedikit perdebatan, apa lagi saat itu banyak sekali orang-orang mencarinya, katanya karena keluarga Yangyang sendiri. Namun, Jaemin tidak pernah percaya. Sama sekali tidak pernah.
Hubungan di antara kedua pihak tetap membaik, justru semakin membaik. Senyum itu, Jaemin ingat sekali, amat manis sampai tidak ada yang bisa mengalahkannya. Rasa kosong hingga rindu cepat menyapa, tetap dia akan kembali bersemangat kala melihat wajah sang kekasih kembali.
"Apa yang kau lakukan di sana?"
Dari suara yang memasuki telinganya, Jaemin sudah enggan untuk menjawab. Benar-benar menyebalkan.
"Malam indahmu terganggu, ya?"
"Penting kau bertanya?"
Mark tertawa pelan, dia hanya berbasa-basi, tetapi sahutan Jaemin tidak pernah berubah sama sekali.
"Aku hanya bingung denganmu, Na."
"Jangan panggil aku seperti itu!" Jaemin melirik tidak suka.
"Ah, aku lupa."
Mark bersandar di pintu yang terkunci dari luar, membelakangi ruangan yang mengurung Jaemin sendirian tanpa harapan untuk keluar. "Hanya Yangyang yang boleh memanggilmu seperti itu, ya?"
Jaemin terdiam, dia sama sekali tidak menjawab. Memang hanya Yangyang yang memanggilnya seperti itu, terlebih lagi dia terus berharap agar suara menggemaskan yang biasa menghibur dirinya kembali terdengar dalam jarak yang dekat. Jaemin tidak tahu, mengapa dia bisa sejatuh ini, tetapi hal yang paling jelas hanyalah karena sikap dingin yang mengurung sifat aslinya.
Mark mengernyit heran saat melihat arloji di tangannya yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Dia harus segera kembali sebelum memasuki pukul dua pagi nanti.
"Sebaiknya, kau berkata jujur, itu sudah cukup untuk kedua orang tuamu, Jaemin."
Kedua mata Jaemin mulai terpejam, dia malas mendengar perkataan yang sama dadi mulut Mark tanpa laki-laki itu ingin membantu.
"Kalian tidak bisa menyembunyikannya sama sekali. Antara dia, atau kau yang akan mati lebih dulu."
🌸🌸🌸
Bunga yang bermekaran memang indah, terutama bunga mawar. Entah mengapa itu sangat cantik di mata Yangyang sampai penat di dalam dirinya telah menghilang dengan cepat. Jika Jaemin ada di sebelahnya, pasti mereka berdua akan bicara sepanjang hari tentang indahnya bunga satu ini.
Sayangnya, kini hanya angan-angan di dalam kepala Yangyang yang terus berputar tanpa henti. Perasaan tak mudah sirna, meski berusaha melupakan dan berpindah hati. Yangyang juga yakin, tidak akan ada yang memperlakukannya sama seperti yang Jaemin lakukan. Semua itu hanya hal bodoh.
"Yangyang?"
Suara itu berhasil menyita perhatian Yangyang, dia kembali mengerjap kala tak ada siapa pun di belakangnya. Awalnya, Yangyang pikir suara nyata itu memang membawa sang pemilik, setidaknya untuk mereka bertegur sapa. Nyatanya, hanya angin yang membawa suara indah tak berpenghuni.
Harapan tinggi itu tidak pernah bisa pupus, Yangyang tidak bisa meninggalkan Jaemin di tengah rasa kesakitan seperti saat ini. Pasti laki-laki itu amat kesepian, kedinginan, tidak makan dengan baik. Otaknya terus bekerja dengan tangan yang masih meremas kuat kertas dari Jeno.
Ada petunjuk di sana.
Namun, apa yang sebenarnya tertulis?
Dia bisa gila jika terus seperti ini.
🌸🌸🌸
"Pesawat akan membawa manusia terbang tinggi, ya?"
Jaemin mengembuskan napas pelan, dia tidak sadar jika raut wajah kekasihnya itu tampak amat khawatir. Terbawanya embusan napas bersama angin di sore hari ini tak pernah bisa tertangkap manusia, mengenai apa yang membuat bebannya menjadi lebih ringan.
"Kau ingin terbang?"
Jaemin mengangguk pelan, sepertinya akan menyenangkan.
"Jangan terlalu tinggi," kata Yangyang diikuti senyum manisnya. "Akan sakit jika terjatuh."
Apa yang dimaksud Jaemin merupakan pujian serta kebebasan, tetapi Yangyang mengetahuinya, hingga dia bisa berkata seperti itu. Memang, Jaemin tidak pernah salah berpikir tentang Yangyang, satu-satunya yang bisa mengerti jalan pikiran Jaemin sampai saat ini.
"Na." Yangyang menoleh ke arah pohon rindang di hadapan mereka, banyak anak-anak bermain di sana, tertawa bahagia tanpa ada beban di kehidupan mereka. "Aku tidak mengerti semua yang kau rasakan, tetapi aku akan berusaha mengerti itu. Aku juga akan berusaha ada di sebelahmu, kapan pun kau membutuhkanku."
Jaemin ingin menanggapinya, tetapi kepalanya sudah lebih dulu menentang keinginan hati. Alhasil, dia hanya bisa mengangguk seraya mengusap pelan puncak kepala kekasihnya yang justru tertawa pelan.
"Yangyang, kau percaya denganku, bukan?"
"Pertanyaan apa itu?" Yangyang memejamkan mata sejenak. "Jika aku tidak percaya, mana mungkin kita bisa bertahan selama ini?"
Jaemin menggenggam erat tangan kanan Yangyang yang berada di atas rerumputan, tepat di antara mereka berdua.
"Rasanya tidak lama lagi," kata Jaemin yang membuat Yangyang kebingungan, dia benar-benar tidak mengerti.
"Apanya?"
"Entah, aku hanya merasa ... ada sesuatu yang menjanggal."
Yangyang mengangguk pelan mendengarnya. "Kita tidak bisa memprediksi masa depan, bukan? Jika memang akan ada hal seperti itu, kita harus melewatinya."
"Pasti ada, ya?"
"Iya, pasti ada. Kau takut dengan hal itu?"
Iya. Yangyang benar. Jaemin hanya takut menghadapi hal itu, sendirian, tanpa bantuan, tanpa adanya titik terang penyelesaian. Jaemin tidak siap dengan semua itu. Sampai kapan pun dia tidak akan siap.
Hidupnya menjadi selalu ketergantungan dengan Yangyang, yang selalu ada di sebelahnya, mendengarkan segala keluh kesahnya, memberikan solusi yang berguna. Jika Yangyang tidak ada, pasti semuanya hancur.
"Nana?"
"Hm? Bukan seperti itu. Aku tidak akan takut menghadapinya."
"Benar?"
Tatapan cemas itu membuat Jaemin ingin jujur, tetapi lidahnya terlalu kelu untuk menunjukkan kegelisahannya yang satu ini. Jaemin mengangguk cepat dengan senyum manisnya yang membuat Yangyang menyerah untuk mencari tahu kebenaran perkataan kekasihnya.
Namun, kenyataan yang menyapa beberapa tahun setelahnya adalah prediksi Jaemin, dari rasa khawatir yang tidak pernah bisa dia sampaikan kepada Yangyang sampai saat ini. Luka tidak bisa tertutup rapat, Jaemin sudah menoreh itu ke hati Yangyang, hingga dia memutuskan untuk benar-benar menyimpan rasa khawatir berlebihan itu sendirian.

KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast (JaemYang) ✔
Fanfiction[Warn! BxB!] Jaemin tahu keputusannya untuk mengakhiri hubungan ini amat menyakiti Yangyang, tetapi dia juga enggan melihat dan mengetahui bagaimana sakitnya saat Yangyang mengetahui kebenaran. Keadaan sekitar tidak pernah membolehkan menyukai sesam...