Bagaimana perasaannya? Tentu saja terluka.
Jaemin tidak tahu harus berbuat apa saat melihat siapa yang berdiri di depannya saat ini, melambaikan tangan ke arah wajahnya tanpa merasa berdosa.
Yangyang datang.
Itu yang sedari dulu dia inginkan. Akan tetapi, kini situasinya berbeda.
"Apa yang kau lakukan?!"
"Menjemputmu. Apa lagi?"
Sewaktu Yangyang menaruh tasnya, dia merenggangkan tubuhnya sejenak, membiarkan Jaemin yang masih tak percaya melihat apa yang telah terjadi sebenarnya. Laki-laki itu menatap ke arah jendela, menikmati bagaimana banyaknya kabut di sana akibat tempat ini yang sangat tinggi.
"Kita akan keluar," kata Yangyang tiba-tiba. "Aku akan membawamu kembali. Terima kasih atas surat petunjuknya."
Yangyang menoleh ke arah Jaemin, kemudian mengusap pelan pipi tirus laki-laki itu dengan ibu jarinya, melewati luka dengan lembut hingga Jaemin tidak merasa sakit. Memang seharusnya seperti ini, memang seharusnya Jaemin tidak merasakan sakit.
"Kau tahu? Aku mencarimu selama lima tahun ini, kemudian aku menyerah. Jisung sempat meminta tolong denganku, aku tidak tega melihat wajah adikmu." Yangyang tertawa pelan dan menjauhkan tangannya.
"Kau tahu, kau salah mengambil langkah, Yangyang."
"Seharusnya, aku yang mengatakan hal itu, Nana."
Jaemin mengembuskan napasnya pelan. "Mereka menginginkanmu. Mereka semua hanya ingin kau bertanggungjawab, tetapi itu bukanlah kesalahanmu."
"Jujur saja, kau juga sempat membenciku saat membaca kebenarannya, bukan?"
Yangyang mengibas tangannya sejenak, kemudian duduk di pinggir ranjang yang biasa Jaemin gunakan untuk bermalam di tempat dingin ini. "Aku lelah karena perjalanan ini, biarkan aku tidur sebentar. Jika sudah lewat dari dua jam, bangunkan aku."
Tanpa berkata apa pun, Yangyang langsung merebahkan kepalanya, berusaha memejamkan mata seraya menenangkan diri. Jaemin harus kembali, dia harus menerima apa yang keluarganya tuang.
Benar, Yangyang termakan jebakan keluarganya, lagi.
Sedari dulu, setiap keluarganya memiliki masalah, dia yang menjadi pusat perhatian, dia yang dipandang rendah hingga ada rasa tertekan yang mendalam di hatinya. Yangyang tahu, ini adalah cara terakhir agar semuanya tidak lagi memojokkannya, tidak lagi ada pandangan menjijikan.
Semuanya akan selesai. Dia akan menjadi pahlawan.
Namun, mengapa rasanya sesak? Mengapa harus dia yang menerima semuanya sendirian? Yangyang tidak mau melakukannya sama sekali, tetapi ini hal yang terbaik.
"Yangyang ... bolehkah aku membicarakan sesuatu."
Sayangnya, Yangyang enggan menjawab, dia memilih berpura-pura tidur di tengah matanya yang masih meneteskan air ketakutan.
"Kau benar, aku sempat membencimu. Namun, kau tahu? Kau tidak salah. Lupakan hukum keluarga yang mengatakan orang tua selalu benar. Aku tidak bisa membencimu."
Jaemin duduk di pinggir kasur itu seraya mengusap lembut puncak kepala manusia yang amat dia cintai sampai saat ini. Manusia yang membuatnya harus bertahan dengan cara apa pun meski dia sudah ingin pergi meninggalkan dunia ini.
Jaemin terlalu menyayanginya, sampai tak ingin ada luka kecil yang Yangyang miliki.
"Sebanyak apa pun kau mengelak, aku tetap mencintaimu."
Rasa sesak itu justru semakin jadi. Tidak, Yangyang tidak boleh mundur dan membiarkan Jaemin yang terluka karenanya.
"Ingat, ya? Jadi, ayo kita keluar dari sini bersama, kemudian berbahagia sampai kapan pun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast (JaemYang) ✔
Fanfiction[Warn! BxB!] Jaemin tahu keputusannya untuk mengakhiri hubungan ini amat menyakiti Yangyang, tetapi dia juga enggan melihat dan mengetahui bagaimana sakitnya saat Yangyang mengetahui kebenaran. Keadaan sekitar tidak pernah membolehkan menyukai sesam...