01

917 84 2
                                    

Bukan!

Ini juga bukan!

Bukan semua!

Jaemin mendengkus frustrasi kala memeriksa semua barang yang ada di dalam lokernya. Sudah mana dia tidak bisa keluar dari sini sampai kapan pun, jika terus seperti ini, dia bisa gila.

Menara tinggi yang berada di pulau terpencil dan tidak boleh siapa pun masuk kecuali atas izin pemerintah, selalu gelap, tanpa lampu, tanpa siapa pun di sebelahnya saat ini.

Dingin, sepi, sesak, penuh dengan rasa bersalah dan keinginan untuk menyerah dari segala situasi yang ada. Jaemin ingin sekali berharap, ada yang bisa menyelamatkannya di pulau terpencil ini. Namun, di satu sisi, dia juga takut jika ada yang merasakan nasib sepertinya.

Laki-laki manis itu hanya ingin mencari hartanya yang berharga, pelepas rindu dan pelepas penat dari segala urusan yang menghampiri otaknya. Jaemin ingin melihat senyum mantan kekasihnya lima tahun lalu, hanya itu, tidak lebih.

Semakin lama, dia semakin tertekan. Entah sampai kapan dia akan menetap di tempat gelap tak berpenghuni seperti ini?

Berada di mana pun, Jaemin tidak tahu.

"Yangyang ... bagaimana kabarnya ...?"

🌸🌸🌸

Angin yang berembus amat lembut, Renjun yang tengah memejamkan mata seraya duduk di sebelah Yangyang pun tidak bisa mencari pusat perhatian baru karena terlalu nyaman. Di bawah pohin rindang serta memandang langit biru dipenuhi awan putih memang tidak ada lawan.

Di sisi lain, Yangyang tampak gelisah, dia ragu ingin bicara dengan Renjun, padahal dia yang mengajak sepupunya datang untuk bicara empat mata. Yangyang sadar jika dia aneh, tetapi dia tidak tahu jika dirinya ternyata seaneh ini.

Jika Jaemin ada di sebelahnya, pasti dia akan ditertawakan.

Ah, Jaemin, laki-laki jahat yang berhasil membuatnya menyerah dalam segala aspek. Dan itulah yang ingin dia bicarakan dengan Renjun, di bawah pohon rindang yang tengah tertiup angin sepoi-sepoi, seraya melihat anak-anak berkeliaran demi mendapat kebahagiaan meski harus menguras keringat.

"Aku menyerah."

Renjun membelalakkan mata kala mendengar suara dari sepupunya. Dahi laki-laki itu langsung mengernyit, meminta penjelasan lebih dari Yangyang yang wajahnya tampak tak bertenaga sama sekali.

"Aku menyerah mencari Jaemin. Aku lelah."

"Yangyang ...."

Ada lirihan dari Renjun yang merasa sesak juga. Yangyang bukan orang yang mudah menyerah, dia tidak mau dianggap lemah hanya karena dia menyerah di mana pun itu.

Akan tetapi, laki-laki itu benar-benar kewalahan, mencari ke mana pun Jaemin selama lima tahun ini, tanpa petunjuk sama sekali, hingga rela pergi ke pulau lain hanya untuk mantan kekasihnya. Menurut Yangyang, ada yang harus mereka luruskan bersama dengan bicara langsung.

Jika bisa bicara tidak langsung pun, nomor ponsel Jaemin sudah tidak aktif, begitu pula dengan semua sosial medianya. Benar-benar hilang, lenyap, ditelan bumi begitu saja.

"Aku rasa ... dia akan bahagia tanpaku," kata Yangyang yang kemudian memaksakan senyum terukir di wajah menggemaskannya. "Dia akan seperti itu, bukan, Renjun?"

Namun, Renjun menggeleng pelan. Dia mengetahui sesuatu, tetapi tidak banyak, hingga dia tidak bisa membantu Yangyang untuk menemukan Jaemin yang entah di mana.

"Kau sudah menanyakan hal ini dengan Jeno?"

"Jeno tidak ingin bicara denganku. Sama sekali tidak mau."

"Bagaimana dengan Jisung?"

Yangyang menggeleng pelan. "Dia juga memintaku agar membawa Jaemin kembali. Aku tidak tahu ada apa sebenarnya, dia mengajakku bertemu, memutuskan hubungan sepihak, kemudian menghilang tanpa jejak."

"Aku akan membantumu, jangan menyerah seperti ini ...."

"Sejujurnya, aku juga tidak mau, Renjun." Yangyang mengembuskan napasnya pelan, mengeluarkan segala yang menyesakkan dadanya. "Namun, aku kelelahan. Jika aku kelelahan seperti ini ... aku tidak tahu ... aku harus apa ...?"

Pandangan yang memanas itu kini memburam. Embusan napas tak bisa menenangkan dirinya sama sekali, pikiran Yangyang terlalu kalut, tidak dapat membuat jalan jernih atau menemukan titik terang yang ada di dalam otaknya.

Seolah air terjun yang membawa air mata itu terjatuh, mengikuti garis pipi, mengabaikan perasaan malu yang juga membuatnya mencegah tangisan sedari tadi. Yangyang tidak kuat lagi, mau bagaimana juga dia yang menyebabkan hal ini terjadi dan menimpa seseorang yang sangat dia sayangi sampai saat ini.

🌸🌸🌸

"Jaemin."

Panggilan dari luar pintu yang memiliki celah kecil untuk melihat itu sama sekali tak dipedulikan oleh si pemilik nama. Jaemin masih sibuk dengan pecahan kaca yang ada di depannya, memilah satu per satu yang memiliki darah kering di sana.

Apa pedulinya orang-orang? Tidak ada. Lima tahun terkurung di penjara tak berpenghuni, pulau yang tetap kosong.

Jari manis tangan kanan Jaemin masih terdapat cincin tanpa permata yang sama seperti milik Yangyang, untuk merayakan dua tahun katanya, agar semakin terikat dan tidak melupakan satu sama lain. Akan tetapi, semakin lama, semakin hari, semakin napasnya tak terkendali lagi, Jaemin ingin Yangyang melupakannya. Mengingat seseorang yang telah menyakitinya, mengingat seseorang yang ingkar janji terhadapnya, itu tidak penting.

"Jaemin, bisakah kaubicara denganku sejenak?" tanya orang itu.

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Jeno," jawab Jaemin amat datar, suaranya sudah serak, seolah tak pernah meminum air dan sering berteriak. "Pergilah. Jisung membutuhkanmu saat ini. Bukankah kau sudah berjanji akan menjaga sepupuku? Tepati itu."

"Yangyang mencarimu selama ini."

Mata Jaemin sempat terbelalak sejenak, tetapi kini dia hanya bisa tersenyum miris saat mengerti apa yang Jeno maksud.

"Dia sudah berhenti, bukan?"

"Itu yang kauinginkan? Aku bahkan tidak tega melihatnya, sampai aku enggan bicara."

"Semenyedihkan itu?" Jaemin mengembuskan napasnya pelan, kemudian menengadah untuk melihat atap yang terus menyita perhatiannya.

Jeno mengangguk, walau dia yakin Jaemin tidak mungkin melihatnya. "Kau bisa menggunakanku untuk berada di sini ... tetapi mengapa? Mengapa cara ini yang kau ambil?"

"Aku tidak bisa menyelamatkan Yangyang jika dia termakan jebakan ayah kita---"

"Kau bisa melakukannya, Na Jaemin!"

"Tidak, kau yang bisa melakukannya, Jeno. Jika kau yang berada di sini, semakin besar rasa bersalahku. Jadi, bisakah kau memberikan ini kepada Yangyang?"

Jaemin menoleh ke arahnya seraya mengangkat secarik kertas yang berbentuk pesawat terbang buatan anak-anak. Senyum Jaemin tampak sangat pasrah, hal yang sangat Jeno takutkan.

"Baiklah, jika itu maumu."

Suara tawa pelan yang sangat dia rindukan itu dapat terdengar kembali. Jaemin memang suka sekali membuat orang-orang-orang tertekan karena harus memutuskan sesuatu, bahkan kepada orang yang dia sayangi sekali pun.

Jeno yakin, isi surat ini adalah permintaan Jaemin untuk Yangyang tidak mencarinya lagi, tetapi e tah mengapa Jeno tetap merasa jika Yangyang justru semakin gencar mencarinya? Apa karena keduanya memang memiliki keanehan di luar akal manusia?

Eccedentesiast (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang