13

139 30 1
                                    

Hyperthymesia. Sebuah sindrom yang Yangyang derita. Hal sekecil apa pun akan teringat olehnya, anehnya lagi, dia mengingat semua sejak dia lahir di dunia ini. Dari bagaimana keadaan keluarganya, bagaimana pemberantasan yang membuat banyak darah di rumahnya, bagaimana cairan amis itu mengenai wajahnya. Yangyang ingat semua itu.

Sialnya, Yangyang tidak pernah bisa membicarakan hal tersebut, kepada siapa pun. Dia tidak bisa percaya dengan semua manusia di dunia ini.

Itu adalah alasan, mengapa dia mengatakan semua manusia saling memanfaatkan.

Yangyang mencintai Jaemin, tanpa mengingat marga yang terikat. Namun, perasaan takut akan dikhianatinya lebih besar dibandingkan dengan rasa cintanya. Semua orang bisa berkhianat, itulah yang dia tahu.

Sampai pada masa keluarganya termakan jebakan sendiri dan memilih berdamai dengan keluarga Jaemin. Semua orang mengatakan jika mereka berdua yang berhasil menyatukan kembali kedua pihak keluarga.

"Dia lahir bukan atas keinginan kita, bukan?"

"Bukannya aku sudah menyuruhmu memakan obat itu?!"

"Aku sudah melakukannya!"

Yangyang ingat semua itu, tetapi dia tidak pernah ingin mengungkitnya.

"Siapa namanya? Na Jaemin?"

Na. Keluarga Na.

"Dia sangat terkenal di sekolah ini, dia terlalu baik kepada semua orang. Kebaikannya membuat gadis-gadis merasa mereka disukai oleh Jaemin."

Dia berbeda dengan keluarganya? Bagaimana bisa?

"Yangyang? Kau mendengarkanku, bukan?"

Xiaojun mengernyit heran, begitu pula dengan Hendery yang tengah asyik makan di depannya. Yangyang mengangguk pelan, sebenarnya dia tidak mendengar dengan jelas apa yang Xiaojun katakan tadi.

"Bagaimana denganmu? Kau tidak tertarik?"

"Tidak. Kau terus membicarakan Jaemin, ada apa memangnya?"

"Aku hanya merasa jika kalian kenal dan berteman, itu cukup lucu." Xiaojun tertawa pelan, kemudian memangku wajahnya. "Kau yang jarang tersenyum atau tertawa, dengan Jaemin yang ekspresif."

"Sangat bertolak belakang. Aku tidak suka."

Bohong.

Yangyang sudah tertarik dengan Jaemin saat dia mencari tahu siapa kedua orang tua anak itu. Namun, tak pernah lepas darinya mengenai keluarga yang mengikat keduanya.

Keluarga kutukan, katanya.

Yangyang juga tidak tahu dia akan lahir di keluarga yang memiliki konflik batin tak terselesaikan. Sampai dia mati, mungkin konflik itu baru akan selesai.

"Kau baik-baik saja?"

Hendery sampai angkat suara karena merasa jika Yangyang tengah tidak baik. Bukan perihal bosan atau suntuk setiap mendengar percakapan mengenai Jaemin, tetapi Hendery tahu jika ada yang Yangyang tutupi dari mereka semua.

Hendery tidak marah, begitu pula dengan Xiaojun. Mereka berdua tidak pernah memaksa Yangyang untuk bercerita sampai saat ini.

"Baik. Jangan khawatir." Aku hanya muak dengan keluarga itu.

Sampai saat ini.

🌸🌸🌸

Semakin lama, Yangyang merasa termakan oleh omongannya sendiri, dia mulai jatuh ke pesona Jaemin. Berat untuk menerima kenyataan, tetapi dia tetap berusaha menyadarkan diri, ini adalah kesempatan untuk menguak semuanya dengan mudah. Dia hanya perlu tidak merasa sesayang itu dengan Jaemin.

Dia hanya perlu menahan diri.

Untuk dirinya pula.

"Gagal."

Yangyang hanya bisa bersandar di kursi, menengadah seraya berpikir panjang. Kebodohannya itu muncul karena hati terlalu nyaman, hingga dia tak sanggup menghianati atau menyakiti Jaemin lebih dari ini.

Genggaman tangannya, sentuhannya. Yangyang tidak tahu apa yang membuatnya menjadi seperti sekarang, terlalu mabuk asmara di tengah kegentingan keluarga dan identitasnya.

"Yangyang? Ada apa?"

"Hm? Tidak ada. Aku hanya merasa agak aneh hari ini."

"Kau bisa menceritakannya jika kau mau." Jaemin duduk di sebelahnya, ikut bersandar di kursi dengan tatapan mata yang tertuju ke arah kekasihnya. "Aku tidak akan menyela."

"Jika aku menyakitimu ... bagaimana?"

"Tidak masalah. Aku juga, pasti pernah menyakitimu. Anggap saja impas."

"Lebih dari itu, Na. Aku bisa saja menghianatimu, kau tahu itu, bukan?"

Jaemin mengangguk pelan seraya tertawa pelan. "Aku tetap mencintaimu. Bagaimana juga, aku tidak bisa membencimu hanya karena hal itu---"

"Hanya? Jika aku membunuhmu?"

"Kau akan melakukannya?"

Pertanyaan Jaemin berhasil membuat Yangyang bungkam seribu bahasa. Laki-laki itu hanya menjilat bibirnya yang tengah mengering dan mengatur napasnya sejenak. Jika dikatakan iya, Yangyang juga tidak yakin, tetapi hal itu bisa saja terjadi di dalam kehidupannya, entah karena apa.

"Aku rela mati, asal kau tetap bahagia."

Jaemin kembali tertawa, dia geli sendiri usai mengatakan hal tersebut, berbeda dengan Yangyang yang masih terdiam di tempat. "Pasti terdengar menjijikkan, tetapi aku serius dengan perkataanku tadi. Aku tidak mau melihat wajahmu kembali suram seperti pertama kali kita bertemu."

"Aku juga tidak mau senyummu menghilang. Senyum termanis yang pernah kulihat." Yangyang menyungging senyum tipis.

"Terima kasih. Aku senang bisa bertemu, mengenal, hingga menjalin hubungan seperti ini denganmu."

"Aku juga. Hidupku lebih berwarna karenamu."

🌸🌸🌸

Jaemin memang mengatakannya, dan dia mewujudkan apa yang sudah dia katakan. Bedanya, kini dia harus tetap hidup dan keluar dari tempat ini, tidak putus asa dan ingin mengakhiri hidup dengan cepat.

"Jaemin, aku sudah mendapatkan yang kau cari."

Haechan memberikan amplop cokelat yang masih tersegel itu kepada Jaemin lewat sela pintu di bawah. Jaemin mendekatinya, kemudian mengambil amplop tersebut dengan wajah bahagia. Setelah sekian lama yang dia tunggu, akhirnya dia bisa mendapatkannya.

"Aku rasa ... kau akan menjadi orang yang sangat terkejut saat melihat isinya. Pikirkan dengan baik, semua masalah ini tidak sesederhana yang kau pikirkan."

"Apa maksudmu?"

Dahi Jaemin yang terdapat luka pun mengernyit heran. Dia benar-benar tidak mengerti dan menangkap apa yang Haechan katakan tadi.

"Kau ada berjanji dengan Yangyang?"

"Aku hanya meminta dia melupakan dan membenciku. Ada apa?"

"Kurasa ... justru kau yang akan membencinya terlebih dulu."

Jaemin merasa jika semua ini aneh, dia tidak tahu apa yang ada di dalam amplop. Kala dia melangkah untuk kembali duduk di atas kasur, Haechan sengaja pergi lebih dulu, takut melihat Jaemin justru mengamuk tidak jelas nantinya.

Kedua mata Haechan terpejam, tepat saat dia mendengar teriakan yang sesuai dengan ekspektasinya. Embusan napasnya teramat panjang, bersama dengan rasa sesak yang semakin terasa.

Hal yang paling menyakitkan hanyalah di saat kita mengetahui, akar dari semua masalah selama ini adalah orang yang kita cintai.

Tidak mudah bagi Jaemin untuk tetap berpikir yang baik mengenai Yangyang, tidak mudah juga bagi Haechan. Banyak kemungkinan mengenai penghianatan yang sudah terjadi tanpa keduanya sadari. Tidak ada yang salah di tengah kesalahpahaman yang tak berujung baik ini.

"Bagaimana bisa ... aku yang harus membunuhnya ...?"

Eccedentesiast (JaemYang) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang