Tira yang duduk di atas kasurnya terus menatap sebal ke arah ayahnya yang cengengesan berdiri di depannya sambil memainkan jarinya.
"Ada apa? Ini masih pagi sekali loh. Tidak bagus untuk orang tua seperti ayah berkeliaran di jam segini," katanya ketus.
"Eeh.. kau terus memperlakukan ayah seperti orang yang sudah tua," jawabnya sebal.
"Memang begitu kenyataannya kan," celetuk Tira sambil berdiri dan mengajak ayahnya ke dapur.
Tira terdiam berfikir di dapur. Rasanya tidak baik menyuguhkan minuman dingin di jam 5 pagi untuk orang tua kan.
"Teh panas saja yah," katanya sambil mengambil teko kecil untuk memasak air yang dia ambil dari keran wastafel.
"Hehehe terserah kau saja," kata Wardi terkekeh duduk di meja makan.
Segelas teh hangat pun di hidangkan di hadapan Wardi.
Tira yang masih terlihat mengantuk terus menguap sambil sesekali mengucek matanya.
"Kesini naik apa?" Tanya Tira padanya.
"Oh, sebenarnya dari rumah ayah jalan kaki. Tapi saat di perbatasan desa, ada salah satu teman mu yang lewat menawarkan tumpangan," katanya sambil menyeruput teh nya.
Tira terus memandangi ayahnya dengan wajah sebal lalu menghela nafas panjang.
"Ibu?" Tanyanya lagi.
"Dia ke rumah Gama tadi jam 3 pakai sepeda. Karna bosan, jadi ayah kesini hehehe," katanya lagi.
"Menyusahkan saja," pikir Tira kesal.
Tira pun bangkit lalu pergi ke wastafel cuci piring dekat kompor untuk membasuh wajahnya.
Air menetes dari ujung rambutnya, dia terus memikirkan sesuatu yang di beritahukan oleh anak buahnya kemarin.
"Tira.."
Wajah seriusnya langsung berubah sebal dan menoleh ke arah pria yang memakai baju tebal dan syal di belakangnya.
"Apalagi ayah?" Gerutunya sambil mendekati ayahnya.
Langkah Tira berlutut terhenti saat dia melihat wajah ayahnya tampak begitu gelisah. Dia juga terus memainkan jarinya.
Wajahnya yang terlihat sedikit termakan usia terus menghadap ke arah lain seakan dia bingung apakah hal ini memang harus di katakan atau tidak.
"Ayah merasa.. Gama sakit gara-gara ayah," katanya pelan.
Alis Tira berkedut mendengarnya.
Dia menghela nafas lalu perlahan duduk di bangku yang ada di sudut sebelahnya.
Wardi tersentak saat merasakan ada yang menyentuh tangannya. Dia pun perlahan menoleh dan melihat Tira menatapnya dengan tajam dan begitu dalam.
"Berhentilah menyalahkan diri sendiri. Semua kesialan yang di alami anak itu atau kami bukan karna karma atas apa yang ayah lakukan di masa lalu,"
Wardi terbelalak terpaku menatap anaknya.
Entah kenapa waktu terasa begitu lambat, udara juga terasa jadi lebih panas dari sebelumnya.
Tapi, fokus mereka berdua langsung terpecah saat ada suara dering dari HP milik Wardi.
"Loh, ayah punya HP?" Tanya Tira heran karna dia merasa tidak pernah membelikannya.
Selama ini yang memegang HP hanya Lia. Kalau sewaktu-waktu Lia pergi, Tira biasanya menelpon tetangga ayahnya untuk berkomunikasi atau langsung ke rumahnya.
"Ah, ayah di belikan pak Idris. Karna ini juga ayah tidak perlu repot menghubungi pak Slamet," katanya tersenyum dengan kumis tebal di bibirnya.
"Harusnya beritahu aku dulu," kata Tira sebal sambil berdiri dan membuat sesuatu di atas teflon panas.
Wardi terkekeh mendengarnya lalu mengangkat telpon dari Idris yang dari tadi terus berdering.
"Iya pak Idris, ada apa?" Tanya Wardi dengan nada positif yang biasa dia pakai.
Sambil memandangi keluar jendela, Idris tersenyum karna akhirnya telponnya di angkat.
"Saya dengar Bu Lia pergi ke rumah Gama yah?" Tanyanya.
"Oh, iya benar. Kenapa memangnya pak?" Tanya Wardi heran.
"O-oh tidak.. hehehe saya cuman mau tanya. Bapak mau mampir ke rumah saya? Mungkin nanti kita bisa.. bapak tau lah maksud saya," katanya malu-malu.
Wardi langsung menekuk alisnya karna tidak mengerti maksud Idris.
"Anu.. maaf pak, tapi sekarang saya di rumah Tira," katanya.
Tira yang sedang mengoles roti dengan selai melirik sedikit ke arah ayahnya lalu mulai memasukkan roti itu ke atas teflon.
Idris yang mendengarnya terdiam untuk sesaat.
Tapi tiba-tiba saja pikirannya seakan menemuka sebuah ide aneh.
"Bapak sudah pernah ngewe dengan Tira?"
Kali ini Wardi yang bergantian terdiam dan berkedip dengan cepat.
"A- tida- belum," katanya ragu sambil menoleh ke arah anaknya.
"Loh kenapa belum? Bukannya sudah saya beritahu waktu itu. Coba saja, tubuh Tira kan sedikit lebih besar dari saya. Pasti rasanya enak sekali loh," kata Idris menyeringai.
Wardi merasa bingung karna pikirannya sekarang malah jadi kacau. sekarang dia malah membayangkan tubuh besar Tira tanpa pakaian berdiri disana.
"Ayolah.. jangan berfikir terus. Tira itu anak yang penurut kan? Mana mungkin dia menolak permintaan ayahnya," bisiknya lagi.
Wardi langsung menelan ludah dan menarik celananya karna sekarang celananya terasa mencekik.
"Aku tau itu bukan pembicaraan penting. Matikan telponnya dan makan dulu. Setelah itu mandi dan bersiap lah, aku akan mengantar ayah ke sawah," kata Tira ketus mendekati ayahnya sambil membawa dua piring roti bakar.
Wardi pun tersentak lalu memutuskan telpon dari Idris.
Dari sebrang sana, Idris yang masih meletakkan HP-nya di telinga perlahan menurunkan tangannya. Tapi senyumannya tidak hilang sama sekali dari wajahnya.
"Jadi tidak sabar untuk selanjutnya. Kalau melihatnya pasti menyenangkan,"
![](https://img.wattpad.com/cover/264351128-288-k271082.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Kami (Part 4)
FanfictionPerhatian, cerita ini terdapat adegan dewasa termasuk sesama jenis. Bagi yang tidak nyaman, di sarankan untuk tidak membacanya.