"Tumbenan lo ngajak gue, Ra. Biasanya juga bareng Wonwoo terus kemana-mana," gerutu Momo. Biarpun begitu, kakinya tetap melangkah cepat keluar dari gerbang sekolah.
"Ya kali bolos bimbel ngajak dia, Mo. Yang ada gue kena ceramah mulu kalo ketahuan ngebolos demi menuhin ngidam pecel lele tikungan sekarang."
Wonra mengeratkan gandengan tangannya pada lengan Momo. Hanya Momo satu-satunya teman yang sudah seperti soulmate bagi Wonra. Walaupun Wonra memiliki banyak kenalan dan teman yang terpencar di kelas lain, tak ada yang dapat menandingi kedekatannya dengan Momo. Mungkin karena sifat dan kapasitas otak mereka yang hampir sama jadi dapat saling memahami satu sama lain.
"Iya, ya. Namjachingu lo, kan, ngambis banget. Gak kayak kita."
"Hehe," kekeh Wonra sambil memamerkan cengirannya. "Itu lo paham. Untung kita eligible buat daftar jalur undangan, ya, Mo. Jadinya masih ada harapan, lah, ya."
"Yoi. Itu juga harus pakai strategi yang bener biar bisa tembus. Btw, lo include sertifikat apa aja nanti, ceu?" tanya Momo.
"Sertifikat OSIS sama apalagi, ya? Lomba nyanyi paling."
Mata Momo melotot. "Anjir, lo kapan ikut lomba nyanyi, cui?! Biar gue tebak, pasti tingkat kelurahan, kan? Eh, apa tingkat kecamatan, Ra?"
"Segitu banget lo ngeraguin bakat terpendam sobat lo ini, Mo. Nangis, nih, gue," rengek Wonra penuh drama. "Gue pernah anjir kelas sepuluh. Tingkat provinsi lagi itu anying ah."
"Wow, impressive," puji Momo. "Emang beda, ya, kalo punya kembaran macam Woozi, Sang Lumba-lumba dari kelas bahasa."
"Bedanya kalo dia lumba-lumba, gue sebatas dugong doang, Mo," kelakar Wonra yang sontak mengundang tawa Momo. "Beneran. Buktinya malah Woozi yang sampai ke tingkat nasional padahal kita berdua ikut lomba yang sama."
Tawa Momo tambah meledak lagi.
"Aduh, udah, ah. Sakit perut gue minta diisi," adu Momo kesakitan.
"Kagak nyambung gils," cibir Wonra saat mereka berdiri tepat beberapa langkah lagi dari warung pecel lele. "Lo pesen apa?"
"Samain aja sama lo. Gue gak pernah ke sini soalnye."
"Dih, kurang luas pergaulan lo berarti," ejek Wonra.
"Yeuuu, si anj—"
Wonra segera menoleh begitu mendengar Momo tak melanjutkan perkataannya. "Napa lo?"
"NJIR!" pekik Momo cukup keras yang membuat hampir seluruh pengunjung warung kecil di tikungan jalan itu menoleh ke arahnya dan Wonra.
Momo memegang pipinya takjub. "Itu siapa, Ra?! Sumpah visualnya kagak maen-maen!"
Tangan Momo menunjuk seorang laki-laki berseragam sama seperti mereka berdua yang tengah menikmati sepiring pecel lele tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Ha?" ucap Wonra cengo. "Gak kenal gue. Paling adkel soalnya dia bawa tas."
"Masa iya mukanya boros gitu," ceplos Momo setengah berbisik.
Wonra mengernyit. Memang susah punya teman julid.
"Njir, congormu dijaga sayang. Saking gantengnya mungkin jadi kelihatan dewasa mukanya."
Momo menganggukkan kepalanya saja mendengar hipotesis Wonra. Bagi Momo, mau setua apapun seseorang, kalau orang itu ganteng, ya gas aja.
Mereka lalu beranjak ke depan etalase makanan yang penuh dengan berbagai macam pilihan menu. Kalau dilihat-lihat, ini lebih seperti warteg dibanding warung pecel lele biasa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hareudang ; [JWW] ✔️
Fanfiction"gimana rasanya pas lihat mantan jalan sama pacar barunya, won?" "hareudang." -duo won "ck, lebih hareudang lagi denger kalian berdua adu mulut padahal senasib sama-sama jadi korban perselingkuhan." ↪️[semi baku ; lokal] ▶️mei 2020 ©rfashua