Aku sedang berbaring miring membelakangi Petrov setelah sesi panas yang kami lalui beberapa saat yang lalu, saat kurasakan jari bapak kandung Pradhya ini mengelus perutku.
Aku melirik melalui bahuku.
"Kenapa?" tanyaku, heran.Petrov menggeleng. Dia berganti mengecup perut bagian pinggangku lama.
"Bekas lukanya kok hilang?"Serius dia nanyain itu?
Keningku berkerut. "Baguslah. Aku udah bayar mahal buat ngilangin itu. Jangan sampai masih ninggalin bekas. Aku tuntut dokter Risma."
"Dokter Risma?"
"Huum, dokter kulit kelamin yang punya klinik di seluruh indonesia itu."
Petrov merebahkan kepalanya kembali ke atas bantal seraya memelukku dari belakang.
"Kasus yang dulu itu..." Petrov menggantungkan ucapannya, membuatku yang hampir memejamkan mata melirik penasaran padanya."Apa?"
"Kasus penusukan itu, aku tahu ada yang janggal."
"Janggal?"
Petrov menenggelamkan wajahnya ke leherku. Dia mengangguk. "Aku ada teman orang hukum. Dia bilang, untuk kasus pengeroyokan, penganiayaan atau pemerkosaan bisa diproses cukup dengan saksi dan visum karena seringnya terjadi di tempat tertutup."
"Terus?"
"Tapi waktu itu laporan aku ditolak."
Kali ini aku benar-benar tertarik.
Perlahan, aku mengubah posisi berbaringku menjadi menghadapnya.
Kutarik selimut sampai batas leher untuk menutupi tubuhku yang berkali-kali menjadi sasaran lirikan mata Petrov."Kata mereka kamu nggak ada cukup bukti kan?"
"Iya, itu yang buat aku curiga."
Aku mengangkat alis menantikan lanjutan ceritanya.
"Setelah aku cari tahu ternyata wanita yang tusuk kamu ada banyak backingan dari internal."
Mataku membulat. "Maksud kamu orang dalam?"
Petrov mengangguk.
Sialan. Berapa kali aku tertipu oleh tampang polos-polos najis Ratu? Dia benar-benar pandai menyembunyikan wajah aslinya.
"Aku punya kenalan yang bisa usut masalah itu. Kamu mau?"
Hell yeah dia menanyakannya sekarang? Setelah bekas lukaku hilang tak berbekas dan kembali mulus seperti sedia kala?
"Basi banget bahas itu sekarang." sungutku.
Aku menenggelamkan wajahku ke lekuk lehernya, mencoba memejamkan mata.Petrov tersenyum simpul.
Dia membebani pahaku dengan kakinya yang berat.Aku menggeliat. "Berat tau!"
Eh bangsat dia malah ketawa.
"Pete!" Aku meraung, meninju dadanya berkali-kali agar memindahkan kakinya dari pahaku.
Makan apa sih dia sampai kakinya saja seberat itu?Setelah tinjuan entah yang keberapa barulah ia membebaskanku dari tumpukan kaki besinya.
Dia berganti memelukku dan mengecup dahiku.
"Tidur." perintahnya.Aku menatapnya dan memutar bola mata.
"Siap yang mulia." balasku sarkasme, yang hanya ditanggapinya dengan tawa heboh.***
Libur panjang menjelang hari besar keagamaan ini Petrov manfaatkan untuk berlibur bersama putri semata wayangnya, juga diriku sebagai pengasuh Pra tentunya, di tempat yang lumayan jauh dari pusat kota.
Kami rencananya akan menginap di villa yang tersedia selama dua hari tiga malam dan kembali ke kota pagi harinya.
Tak ada firasat apapun saat kami akan berangkat siang tadi, tapi kini orang yang paling tidak ingin kutemui justru berada di sini, bersama dua wanita cantik berpakaian menarik.
Petrov —atau Pete, biasa aku memanggilnya sudah ke kamar bersama Pra beberapa saat yang lalu, meninggalkanku di restoran yang berada seratus meter dari villa, bersama pria tampan yang sayangnya kelakuannya menjijikan dan sayangnya lagi adalah mantan suamiku di sini.
Dia sedang duduk di sudut ruangan yang agak tersembunyi, bersama dua wanitanya di masing-masing sisi kanan dan kirinya saat tatapan kami tak sengaja bertemu.
Aku sudah hampir meloncat kabur saat dia dengan gerakan gesit menghempaskan wanita-wanitanya dan berlari ke arahku, menahan tanganku.
Aku mendengus. Kalael benar-benar membuatku malu.
Lihatlah sekeliling, semua orang memasang mata mereka padaku dan Kalael dengan tertarik, seakan menunggu adegan film yang akan terjadi secara langsung.Kuhempaskan tangannya yang menggenggam pergelangan tanganku, tapi gagal.
Dia memegangnya kuat-kuat, seperti akan meremukkannya.Matanya terpaku pada wajahku dengan pandangan tak percaya.
Dan oh jangan lupakan kaca bening di pelupuk matanya yang mulai menggenang.
Shit.Jangan ada air mata lagi yang bisa melemahkanku.
"Tolong lepaskan tanganku. Kita sudah nggak ada urusan lagi." desisku dengan suara tertahan, tak membiarkan para penonton mengetahui masalah kami.Kalael menggeleng, dengan mata yang memerah. Dia menangis.
Bangsat."Tolong lepaskan, atau aku panggil satpam." ancamku, yang sama sekali tak membuatnya takut.
Lagi pula tak ada satpam di sini.
Tak ada yang bisa membantuku.Bibirnya yang sedikit lebih hitam dari yang terakhir kulihat perlahan membuka, mengeluarkan permintaan yang sarat akan permohonan.
"Jangan pergi," lirihnya.
Dia terlihat sangat menyedihkan saat memohon seperti saat ini.Tak ingin membuat keributan, aku menarik Kalael keluar restoran menuju bangku terdekat di tepi jalan berbatu.
Kami duduk di sana layaknya dua orang yang tak pernah saling mengenal sebelumnya.Hembusan nafas beratnya terdengar.
"Maaf," bukanya.Aku sama sekali tak meliriknya, hanya diam membisu menatap daun-daun yang bergerak tak tentu tertiup angin.
"Maaf atas semua kelakuan brengsekku Le, aku menyesal." Dia menarik nafasnya yang semakin berat.
"Aku nggak bisa tanpa kamu. Jiwaku mati. Ak-aku nggak bisa.." kalimatnya tersendat oleh isakkan pelannya.Kali ini aku meliriknya, hanya untuk memastikan apakah semua ini hanya tipu muslihatnya atau benar-benar ungkapan hatinya.
Di situlah aku tertegun.
Kalael Indrasta adalah pria sempurna yang menolak terlihat lemah. Gengsinya terlalu besar untuk menunjukkan bahwa dia tak sekuat yang selama ini ditampilkan pada orang lain. Tapi ini?
Wajahnya tampak kacau. Tatapannya kosong, seakan kehilangan semangat hidupnya.Tak ada garis senyum di sana, melainkan gurat-gurat kesedihan.
Sadar sedang kuperhatikan, dia menoleh, balas menatapku.
Senyum hambarnya tersungging di bibirnya yang gelap. Sebuah permintaan yang terlontar dari bibir itu membuatku membeku setelahnya."Ayo pulang.."
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
Mission Impossible ;The Badass series 2 [Finished]
ChickLitLea punya sederet daftar yang harus dilakukannya dalam rangka membalas dendam pada Kalael -sang mantan suami yang telah menduakannya. Namun apa yang menjadi ekspetasi tak pernah sesuai dengan realita. Realitanya, yang dilakukan Lea hanyalah menyer...