Mission 28 -Karena Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga-

7K 653 69
                                    

Demi apa double up?? Eheheh doain aku sering-sering bahagia biar banyak ide aja pokonya 🤣🤣🤣

***

Aku sedang berjalan-jalan di sekitar playland sebuah mall di Makassar dengan balita empat bulan seberat sembilan kilo di gendonganku saat ponsel di saku belakang celana jeans menggetarkan bokongku.

Aku berdecak. Kedua tanganku rasanya pegal menggendong bayi kelewat gembul ini selama satu jam lamanya.

Mataku beredar liar ke segala penjuru mencari bangku kosong yang dapat kududuki sembari mengangkat panggilan telefon ini.

"Mbul duduk ya, tante capek." aku mencoba mengajak bicara balita perempuan pemakan segala yang kini sedang mencoba mengunyah kepalan  tangannya sendiri itu.

Si Mbul —nama sebenarnya Pradhya Ivanova Petrov. Biasa dipanggil Pra, anak dari bapak —maaf nggak akan aku sebutkan. Kalian pasti akan kaget setelah mengetahui nama ayahnya. Bukan Ivan kalau kalian ingin tahu. Pra sama sekali tidak ada keturunan Russia. Jadi nama tengahnya bukan nama ayahnya. Itu hanya nama hasil adopsi serta mix and match dengan nama nusantara.

Bagaimana aku tahu? Panjang ceritanya.

Dan karena tubuhnya yang gembul menggemaskan, kadang aku memanggilnya gembul. Bapaknya tidak terima hasil adonannya yang nampak seperti boneka hidup kupanggil mbul. Memangnya anak saya kucing? Protes bapak si Pra waktu itu.

Ya suka-suka aku lah.

"Pra duduk sini ya, tante pegal."
Aku mendudukkan Pra imut di pangkuanku, setelahnya kuambil ponsel yang terjepit di antara bokongku dan bangku besi yang kududuki.

Setelah memastikan Pra anteng dengan jempolku yang sedang ia kunyah —bapaknya akan murka kalau tahu, tapi tanganku sudah kusemprot sanitizer kok, aku mengangkat panggilan whatsapp dari ibu.

Sudah lama aku tidak berkabar dengan keluarga di rumah sejak pelarianku ke makassar berminggu-nunggu yang lalu untuk menenangkan diri.
"Ya bu?"

"Nduk kamu di mana?" suara ibu terdengar cemas dan tergesa-gesa.

Aku mengerutkan dahi. Gusi Pra yang mengunyah jariku membuatku kegelian, hampir terkikik tapi kutahan.

"Lea di... Makassar?" jawabku tak yakin. Pasalnya bapak dan ibu sudah tahu kemana aku akan pergi saat itu.

Ibu berdecak di seberang sana. "Iya ibu tahu, kamu di luar apa di kosan?"

Oh.. "Lea di Mall bu, lagi jagain anak orang." aku menarik jempolku dari mulut Pra dan menggantinya dengan teether steril yang tersimpan rapi dalam wadahnya.
Si bocah perempuan menggemaskan ini menyambut teether itu dengan antusias, seakan teether itu adalah makanan paling lezat yang pernah ada.

"Ibu minta maaf kalau kabar ini buat kamu terganggu, tapi ibu nggak bisa terus diam." Ibu bicara sesuatu yang aneh, membuatku berdebar penuh antisipasi. "Kalael gila." lanjut ibu yang membuat tenggorokanku tersekat.

"Bukan gila, aduh apa ya namanya ibu lupa. Bahasa kasarnya gila. Udah semingguan ini, dia manggil-manggil nama kamu terus. Bunda di rumah sakit, gulanya tinggi, tensinya tinggi, asam uratnya juga. Mungkin kepikiran anaknya..." penjelasan panjang ibu seperti berdenging di telingaku.

Benar kata ibu, kabar ini membuatku terganggu. Segala usahaku selama sebulan ini untuk menyembuhkan diri gagal total. Setelah aku bisa kembali tersenyum, setelah aku bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk, tanpa terbangun di malam hari karena mimpi sialan itu, kini ibu merusaknya dengan begitu mudah.

Bukan maksudku menyalahkan ibu, aku tahu beliau.
Bunda adalah sahabatnya, temannya di hari tua di saat aku tak bisa menemani hari-hari beliau. Pasti beliau sangat panik, cemas, dan takut sahabat baik beliau kenapa-napa.
Ibu orang baik, aku tahu.
Mungkin ibu sudah berfikir ribuan kali sebelum memutuskan mengabariku.

Hanya saja aku belum siap, dan tak akan pernah siap menghadapi masa lalu.
Rasanya dadaku sesak, dengan kepala penuh spekulasi.

"—dia nggak mau makan, kata orang-orang mungkin umurnya nggak bakal lama lagi. Ibu cuma, cuma... Lea?" ibu memanggil namaku, setelah aku membisu selama beberapa saat.

Kurasakan hangat di pipiku, ternyata air mataku sudah mengalir.
Aku mengusapnya cepat dan berdehem, menghilangkan sumpalan di tenggorokanku.
"Ya bu?" kubuat suaraku senormal mungkin, tapi yang namanya ibu sangat-sangat peka. Beliau menyadari ada yang lain dari suaraku.

Suara ibu memberat di seberang sana. "Kamu, kamu... Lea maaf, ibumu ini bodoh." terdengar suara isakkan, sepertinya ibu menangis. "Maaf ibu nggak bermaksud buat kamu sedih lagi. Duh ngomong opo sih aku ki. Maaf ya Lea, lupain aja omongan ngawur ibu tadi. Kamu baik-baik di sana ya, jaga kesehatan. Ibu sayang kamu." tergesa-gesa ibu menutup sambungan telefon, bahkan sebelum aku memberikan tanggapan.

Tanganku lunglai. Kusandarkan punggungku ke pilar di belakangku.
Mataku terpejam, berusaha mengatur pernafasan.
Tenang, tenang, lupakan. Tapi tidak berhasil. Air mataku lagi-lagi meleleh keluar, dengan kepala yang tak berhenti memutar kejadian demi kejadian yang membuatku melarikan diri.

Semua kesakitan itu...

"Lea?" suara berat seseorang membuatku membuka mata.

Pra melonjak-lonjak kegirangan di pangkuanku.
Teether penuh liur favoritnya dilempar begitu saja ke sembarang arah. Tangan gemuknya menjulur ke atas, meminta digendong oleh sang bapak.

Ya, laki-laki ini adalah bapak bocah gembul itu.

Dia menyingkap lengan kemejanya sampai siku sebelum mengangkat tubuh Pra ke dalam gendongannya.

"Anak papa main apa hari ini?" dia menyapa putri kecilnya, yang di balas Pra dengan pukulan di wajah.

Aku menunduk, sama sekali tak tertarik mengamati pemandangan menggemaskan itu.
Kepalaku penuh oleh hal lain.

"Lea kamu kenapa?" Dia menyentuh daguku, mengangkatnya ke atas hingga tatapan kami bertemu.

Bibirku bergetar melihat mata teduhnya.

Seperti Pra yang tak bisa menahan diri untuk minta digendong, aku mengulurkan tangan ke pinggangnya dan menariknya mendekat, menenggelamkan wajahku ke perutnya.
Kaki gembul Pradhya berada tepat di kepalaku, dia menendang-nendang kesal, tak terima perut bapaknya ku pinjam.

"Pra jangan nakal." Dia menegur putrinya, dan memindahkan kaki gemuk itu dari atas kepalaku.
Telapak tangan besarnya mengelus rambutku lembut.

"Boleh kok nangis, tapi jangan di sini, malu. Ayo pulang."

Dan pecahlah raunganku. Kali ini bukan hanya karena kabar dari ibu, tapi karena tingkah mengesalkannya.

TBC...

Mission Impossible ;The Badass series 2 [Finished]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang