Bunda Bianca

14 3 0
                                        

Sesuai perintah dari sang bunda yang disampaikan oleh ayahnya, Tabia kini sudah sampai di rumah disambut harum masakan Bianca.

"Pulang kamu?"

"Bunda bikin apa?"

"Masak sop sama bikin bakwan jagung. Kamu udah makan belum?"

"Kamu bersih-bersih dulu, bunda siapin bentar."

Tak lama setelah berganti dengan pakai rumah Tabia duduk ditempat duduk ayahnya. Sedang Bianca seperti biasa duduk di tempat duduknya.

Saat makan siang jarang ayahnya makan di rumah. Jika memang bisa makan ayahnya akan makan di rumah tapi akhir-akhir ini ayahnya sedang sibuk sekali di rumah sakit.

"Bunda mau ngomong apa? Kata ayah aku suruh langsung pulang segala." Ucap Tabia yang kini sudah selesai makan dan berganti memakan kacang yang ada di meja makan. Seperti halnya keruuk kacangpun bisa dibuat lauk. Biasanya Tabia atau Nata akan menambahkan kacang kalau mereka memakan bakso. Uh rasanya enak.

"Gak ada apa-apa sebenarnya, bunda kangen aja sama kamu. Akhir-akhir ini kamu sering pulang telat, kemana?" Bianca mencoba untuk berbicara selembut mungkin.

Nata mengizinkan Bianca bicara dengan janji tidak marah-marah. Walau sebenarnya susah untuk Bianca menahan diri untuk tidak marah tapi Nata percaya kalau Bianca bisa berbicara dengan tenang dan kepala dingin.

" " Tabia bingung harus menjawab apa. Mendengar nada lembut dari sang ibu membuat sisi dirinya menjadi tak berani hanya sadar untuk sekedar menjawab. Bianca memang tak biasa berbicara lembut, Bianca lebih sering dengan nada yang dibuat galak. Mungkin jika dengan nada yang seperti biasanya Tabia mudah akan menjawab tapi kali ini, lidanya kelu.

Melihat anaknya terdiam membuat Bianca membenarkan ucapan Nata, menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

"Bunda gak marah kalau setelah pulang dari kampus kamu gak langsung pulang. Kamu main gak akan bunda atau ayah larang. Bunda ayah malah bakal seneng itu artinya kamu akan bertemu banyak orang. Tapi kalau sampai lupa ngasih kabar kalau pulang larut bunda sama ayah pasti bakal marah. Bunda tahu kamu masih muda, masih butuh senang-senang, main sana-sini. Tapi bisa bunda minta kamu tahu kalau ada orang rumah yang harus kamu kasih kabar?" Suara lembut Bianca membuat Tabia sadar kalau dirinya salah. Tak ada amarah dalam ucapannya tapi membuat Tabia harus menahan perih di kedua matanya.

"Dulu pas sama Clara bunda marah cuman sekedar ucapan gak sampai bunda marah beneran. Karena apa? Karena kamu jelas mainnya. Kamu izin sama ayah atau bunda kalau kamu mau pergi sama Clara. Tapi beda dengan akhir-akhir ini, hp mati, gak kasih kabar, kemana sama siapa, bikin orang rumah khawatir. Kemarin kamu pulang jam berapa? Jam 10. Kamu gak tahu khawatirnya ayah kamu? Dia pulang dari rumah sakit bukannya istirahat tapi harus nyari kamu dulu, telfon sana-sini. Bunda gak suka kalau anak gadis bunda jadi gak tahu aturan gini."

"Sampai dr Abi jug pusing mikirin kamu, dia ada hubungin kamu juga kan?" Tabia hanya bisa menganggukkan kepala sebagai jawaban. Ia juga merasa bersalah dengan dr Abi.

"Dia baru pulang dari rumah orang tuanya di Bandung. Eh sampai Jakarta harus cari-cari kamu dulu bantuin ayah, keliling ke tempat biasa kamu pergi tapi gak ketemu. Dia bahkan magrib ke tempatnya Clara tapi juga gak ada. Mau tanya temen kamu, temen cuman Vira, dia juga gak sama kamu."

Bagaimana dr Abi bisa menemukan dirinya karena kemarin tabia pergi ke mall yang lumayan jauh dari kampus itu artinya bertambah jauh juga dari rumah.

"Ya Tuhan Tabia, kamu berhasil bikin kita semua khawatir. Sebenarnya kamu itu kenapa sih? Bukannya perkembangan kamu sama dr Abi membaik? Kenapa kamu malah bikin kita ragu sih." Bianca memijat pelipisnya frustasi. Rt

"Oke kalau kemarin-kemarin kamu pergi pulang jam 7 jam 8 masih bunda kasih toleransi tapi kemarin, bunda gak tahu kamu kemana aja sampai-sampai pulangnya jam 10. Bunda sama ayah memang gak pernah kasih batasan waktu jam malam. Tapi bukan berarti kamu bisa pulang seenaknya gini. Kamu perempuan Tabia gak baik kalau kamu pulang malam. Katakan bunda kuno tapi demi anak bunda gak kenapa-kenapa, bunda gak masalah."

"Kamu renungkan apa yang bunda bilang barusan. Kamu sudah besar dan kamu harus paham apa yang akan kamu lakukan kedepannya."

"Sekarang kamu ke kamar istirahat, bunda mau beres-beres dulu."

Saat akan menaiki tangga, Tabia membalikkan badan ke lalu mendekap badan Bianca erat. Entah kenapa mendengar amarah yang bunda kali ini membuat Tabia di lingkup rasa bersalah.

Ini pertama kalinya Tabia berbicara berdua dengan Bianca tanpa nada tinggi ataupun sinis. Jadi bisa Tabia rasakan kalau bundanya benar-benar marah.

"Maaf bunda," ucap Tabia yang mulai terisak.

Bianca membiarkan Tabia memeluk dirinya. Walau ingin sekali berbalik memeluk erat tapi Bianca urungkan.

Setelah mulai reda tangisan Tabia, Bianca berbalik lalu menatap lekat ke arah putrinya. Dapat Bianca lihat bahwa hidung mata putrinya yang memerah. Bianca meraih tangan putrinya lalu menautkan dengan tangannya dan membentuk sebuah kepalan, mencoba menyalurkan isi hati lewat tautn tangan itu.

"Tabia," yang dipanggil menatap ke arah bundanya.

"Kamu tahu kenapa nama kamu Tabia?"

"Gabungan dari nama ayah sama bunda," Seingat Tabia hanya itu yang ia tahu tentang namanya.

"Iya, Nata Bianca, jadinya Tabia. Tapi bukan sepenuhnya karena itu." Bianca mencoba mengingat-ingat momen bagaimana dulu sewaktu hamil hingga melahirkan Tabia.

Sebelum hamil Tabia, Bianca sudah hamil beberapa kali tapi harus keguguran. Kondisi tubuh Bianca yang lemah membuat ia harus ekstra berhati-hati dalam menjaga kehamilan. Maka dari itu ketika Tabia lahir, itu adalah momen paling membahagiakan bagi Bianca dan juga Nata.

"Karena kamu kesayangan ayah dan bunda. Nama yang langsung terlintas ketika melihat kamu pertama kalinya." Bianca dan Nata dulu sudah menyiapkan nama dari jauh-jauh hari tapi ketika bayi mungil yang berada dalam dekapan Bianca itu menangis, Bianca secara spontan memanggil bayi mungil itu Tabia. Yang membuat susunan nama yang sudah mereka susun harus dirubah kembali.

"Karena kamu kesayangan Ayah Nata dan Bunda Bianca." Bianca lalu meraih tubuh putrinya ke dalam pelukan hangatnya.

Dalam pelukan Bianca, Tabia merasa sangat beruntung karena diberikan orang tua seperti Nata dan Bianca. Menjadi kesayangan mereka berdua membuat Tabia merasa menjadi anak yang paling beruntung.

Dan untuk pertama kalinya, dua perempuan berbeda usia kini menangis menumpahkan air mata. Bianca dan juga Tabia sama-sama bersyukur memiliki satu sama lain.

*_**_*

Semoga dapat feelnya😭😭😭😭
Aku agak mellow kalo bahas tentang ibu gini. Semoga suka.

Oh iya nanti bakal ada bagian ayah Nata ya.. yang kangen dr Abi tunggu sebentar ya

Jangan lupa vote dan tinggalkan komentar sebagai parkir kalian ya

Sampai berjumpa di bab selanjutnya.🌻🌻🌻

Merakit CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang