2 dari 10

10 2 0
                                    

Usai menangis bersama kini keduanya sedang memasak untuk makan malam. Kali ini Bianca membiarkan Tabia membantu dirinya memasak. Mereka berdua sepakat untuk membuat pecel dan juga gorengan, menu favorit Nata.

Ditengah asiknya kegiatan memasak, Bianca dan Tabia tak menyadari ada dua pasang mata yang kini menatap mereka memasak.

"Seru banget sih," suara yang membuat perhatian keduanya teralihkan.

"Masih sore gini Ayah kok udah pulang?" Tanya Bianca karena akhir-akhir ini suaminya pulang malam.

"Iya, masak apa sih, sampe ayah pulang aja gak tahu,"

"Kita masak menu favorit ayah. Ada nak Abi juga," Melihat ada calon potensialnya Bianca tersenyum senang.

"Assalamualaikum bunda," Salam Abi membuat Bianca tersenyum karena dipanggil Bunda.

"Wa'alakumsalam, ganteng banget nak Abi pakai batik gini, tapi makanannya belum siap nih," balas Bianca lembut yang masih ternyum lebar. Sedang Tabia menatap bundanya sebal.

"Sebenarnya saya mau izin, mau ngajakin Tabia ke nikahan temen." Abi kembali meminta izin kepada Bianca, walau sudah dulu meminta izin kepada ayah tabia, Nata.

"Oh boleh, boleh banget dong." Please dirinya belum mengatakan iya.

"Sana siap-siap, yang cantik." Suruh Bianca mendorong Tabia agar naik ke kamar. Disini yang diajak Tabia kenapa bundanya yang semangat gini.

Setelah pamit Tabia segera beranjak ke atas untuk bersiap. Karena sebelum memasak dirinya sudah mandi jadi Tabia memutuskan untuk mencuci tangan, kaki, dan juga muka. Untuk baju dia memutuskan untuk menyesuaikan warna dengan yang dikenakan Abi, Biru dongker.

Tabia memutuskan untuk memakai make tipis dan mengepang rambut melingkar. Setelah riasan selesai, Tabia beralih ke rak sepatu dan tas.
Untuk sepatu, Tabia memakai heels 5  centi warna hitam dan clutch bag senada dengan sepatu. Setelah memasukkan barang bawaannya, Tabia beranjak keluar.

Dari kejauhan Tabia bisa mendengar bunda dan ayahnya sedang mengobrol ringan di ruang keluarga dengan Abi yang diselingi dengan tawa. Abi yang pertama menyadari keberadaannya, ditatap memuja oleh Abi membuat pipi Tabia menjadi panas. Apa dia demam.

"Ehm," deheman Nata membuat Abi dan Tabia mengalihkan perhatian mereka.

Salah tingkah.

"Boleh aja sih tatap-tatapannya, tapi ntar gak jadi kondangan." Goda Bianca yang makin membuat mereka berdua bertambah malu. Sedang Nata yang menatap mereka geli, nata seperti melihat dirinya semasa muda.

"Eh bentar, tunggu jangan pergi dulu,"  ucap Bianca lalu berlari ke arah dapur.

"Pantesan siap-siapnya lama, cantik gini." Goda Nata.

"Ayahhh"

Tak lama Bianca kembali dengan membawa ponsel di tangannya lalu melambai-lambaikan ke udara. Hal itu membuat Tabia dan Nata paham bahwa Bianca ingin mengambil gambar tabia dan abi yang kini terlihat serasi.

"Sana berdiri samping nak Abi," suruh Bianca.

"Bun," Tabia mencoba menghentikan Bianca tapi malah mendapat tatapan tajam sang bunda.

"Ih sana cepet!, ini harus bunda abadikan, kapan lagi liat kamu dandan gini, mana serasi lagi sama baju nak Abi, mungkin 2 tahun lagi kalian pakai baju couple gini." Ucap Bianca dengan membayangkan tabia menikah dengan Abi, ucapan yang diamini dalam hati oleh dua laki-laki disana.

"Bunda gak usah ngarang, mana mau dokter Abi.."

"Saya mau." Potong Abi cepat, karena ia juga ingin mempunyai foto bersama dengan Tabia. Kapan lagi dia akan punya kesempatan seperti ini, ditambah lagi dengan penampilan mereka yang dibilang memang serasi. Maka Abi tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, terima kasih banyak untuk calon mertua yang sangat pengertian itu.

"Tuh, nah Abi aja mau kok. Cepet! pegel nih bunda pegang nya." Mau tak mau Tabia melangkah mendekat ke arah Abi.

Berdiri di samping Abi membuat Tabia menjadi salah tingkah lagi. Kemudian tanpa di sangka ucapan lirih Abi membuat Tabia menatap ke arah Abi yang kini menatapnya.

"Senyum Tabia," melihat Abi senyum menenangkan membuat Tabia otomatis senyum. Hal itu tak luput dari mata senang Bianca.

Melihat senyum Tabia abi merengkuh pinggang Tabia agar lebih dekat ke arahnya, walau sempat terkejut tapi Tabia akhinya kembali rileks. Abi dan Tabia lalu melihat ke arah kamera yang siap mengambil gambar, tak lupa senyum di bibir mereka.

Setelah sesi foto Abi dan Tabia memutuskan langsung berangkat ke tempat acara karena hari sudah makin malam. Sebenarnya tidak alasan tertentu Abi meminta Tabia menemaninya malam ini, karena pada acara-acara seperti ini dirinya terbiasa pergi sendiri, yang akhirnya mendapat cibiran tentang status singlenya.

Melihat penampilan Tabia malam ini membuat senyum di bibir Abi tak ingin surut. Setiap Melihat ke arah gadis yang kini duduk disampingnya, Abi selalu ingin menatap tanpa henti.

Sedang Tabia tak tahu harus bersikap seperti apa. Bolehkah dirinya menyesal karena berdandan seperti ini, tapi dirinya seperti ini karena tidak ingin mempermalukan Abi yang terlihat tampan. Ah setiap saatpun dokter satu ini memang terlihat tampan.

"Masih jauh?" Tanya Tabia saat mereka berhenti di lampu merah.

"Tidak, sebentar lagi sampai. Mungkin 10 menit lagi."

"Kamu gak apa-apa pakai sepatu gitu?" Tunjuk Abi ke arah kaki Tabia, membuat Tabia ikut menatap ke arah kakinya.

"Kamu kan biasa pakai sneaker," tambah Abi.

"Oh itu, gak apa-apa sih dok. Walaupun gak sering tapi ini lumayan nyaman kok. Ini pilihan bunda jadinya pasti udah terjamin." Tabia yang masih melihat ke arah kakinya. Dan abi menjalankan mobil kembali karena lampu sudah berubah warna hijau.

"Tabia," panggil Abi saat mereka sudah sampai di tempat acara.

"Saya boleh minta sesuatu gak?" Tanya Abi yang kini menghadap ke arah Tabia dan Tabia merasa merinding melihat tatapan serius Abi.

"Bisa tidak kalau di luar seperti ini jangan panggil dokter," pinta Abi.

"Pak?" Spontan Tabia yang membuat Abi mengernyit dahi.

"Em, kenapa?" Tabia yang mengulum senyum melihat respon Abi.

"Ya saya gak mau aja sih dikira bawa pasien-pasien saya." Dan itu membuat Tabia tertawa.

"Tapi kan emang bener aku pasien dokter." Ucap Tabia disela tawanya.

Setelah berhasil menghentikan tawanya Tabia merubah ekspresi menjadi sedikit serius dan ikut mengeser tubuh menghadap ke arah Abi.

"Lagian aku suka panggil dokter dengan sebutan dokter."

"Waktu kecil aku suka banget panggil ayah itu dengan sebutan ayah dokter bahkan keluarga lain yang dokter aku panggil gitu juga. Kakek dokter, Om dokter, tapi sama bunda suka dimarahin. Trus karena bosen liat bunda marah-marah terus akhirnya lama-kelamaan terbiasa panggil ayah sama yang lain tanpa sebutan dokter." Jelas Tabia.

"Dan sekarang aku ada kesempatan untuk melakukan hal itu. Aku suka dokter Abi."

Ucapan Tabia yang membuat jantung Abi berdetak dengan kencang. Semakin lama bukan merasa sakit tapi rasa senang itu menyebar hingga kedua bibir Abi tertarik.

Bolehkan Abi memiliki Tabia seutuhnya?

Bolehkan Abi tidak jadi datang ke acara itu? Agar hanya Abi yang bisa menikmati kecantikan Tabia malam ini.

Ah rasa tak ikhlas karena melihat penampilan Tabia yang harus ia bagi kepada tamu acara yang lain.

*_* *_*

Jangan lupa vote dan koment sebagai tanda parkir kalian.

Terima kasih🌻🌻🌻

Merakit CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang