Kedatangan

13 2 0
                                        

Di negara belahan yang lain.

"Sayang, kamu yakin mau kembali?" Tanya wanita paruh baya kepada anaknya yang sedang mempersiapkan barang bawaannya.

Terhitung tiga jam lagi adalah jadwal penerbangannya menuju tanah kelahiran. Keputusan untuk kembali memang bukan semata-mata karena keinginan tapi karena memang perusahaan ayahnya yang ada di Indonesia sedang tidak baik-baik, dan juga ayahnya tentu tidak bisa untuk kembali. Dia adalah penerus keluarga tentu saja setiap masalah harus bisa ia atasi.

"Maa jangan bikin dia tambah berat untuk pergi." Instruksi sang suami.

"Mama tenang aja, di Indonesia sendiripun aku berani. Lagian disana aku kan nggak sendiri. Ada om Bas yang bakal bantu aku." Balas laki-laki itu untuk menenangkan sang mama.

"Kenapa sih harus kamu, masalah itu kan bisa diatasi dari sini." Sebenarnya dari awal dirinya memang tidak setuju kalau sang anak harus kembali ke Indonesia, ia memiliki alasan tersendiri. Indonesia bukan hanya tanah air meraka tapi negara itu banyak menyimpan luka.

"Ma, dia yang akan nanti meneruskan usaha keluarga, tentu saja setiap masalah harus bereskan dengan sendiri. Ini sudah kita bahas dan keputusan dia pulang ke Indonesia." Mendengar ucapan sang papa laki-laki itu mendekat ke arah mamanya dan memeluknya, merakasan hangatnya pelukan sang mama.

"Ma, percaya sama Calvin yaa. Nanti Calvin akan telfon mama tiap hari, gimana?"

"Janji?"

"Janji."

Calvin laki-laki itu, dia harap kepulangan ke Indonesia semua masalah akan cepat teratasi. Masalah perusahaan dan masalah hatinya.

*_**_*

"Ayahhhhh"

"Tabiaaa"

"Ayo sarapan!!"

"Sarapan sudah siap sayang?" Tanya Nata sambil mencium pipi sang istri.

"Sudah dongg" balas Binca tak kalah manis.

"Pagi ayah, bunda." Sapa Tania yang baru bergabung di meja makan.

"Kamu mau kemana udah rapi gini?" Tanya Bianca, karena melihat anaknya yang pagi-pagi begini sudah rapi.

"Ada urusan bentar"

"Sama dewa temen aku," tambah Tabia saat tahu yang akan dikatakan bianca.

"Kok bukan dokter abi," cicit Bianca karena tak sesuai dengan keinginannya.

"Sudah-sudah ayo kita sarapan nanti keburu ayah telat ke rumah sakitnya." Ajak Nata untuk menengahi anak dan istrinya.

"Baik pak dokter."

Keluarga itu mulai sarapan dengan hikmat, hanya gesekan sendok dan garpu yang mendominasi.

Tak lama datang mang asep memberi tahu bahwa ada teman Tabia yang menunggu di depan. Melihat itu Bianca langsung melaju ke depan rumah.

"Bunda mau ngapain?" Tanya Tabia curiga.

"Kamu diem, abisin sarapan kalo nggak bunda nggak ngasih izin keluar." Tanpa menunggu jawaban sang anak Bianca langsung pergi.

"Abisin sarapan Bi," instruksi Nata saat melihat Tabia akan menyusul sang istri ke depan.

"Tapi yahh," Akhirnya Tabia melanjutkan makannya dengan cepat karena ingin segera menyusul bundanya.

"Halo, cari siapa ya?" Sapa Bianca melihat pemuda yang duduk di kursi terasnya.

"Oh permisi tante, saya dewa temen kuliahnya Tabia. Tabia nya ada tante?" Dewa menyapa Bianca dengan seramah mungkin.

"Ada, tapi masih sarapan."

"Oh kalo gitu saya tunggu aja tante." Dewa sedikit menangkap rasa tidak ramah dari mamanya Tabia.

"Besok-besok jangan terlalu pagi ya, Tabia harus sarapan dulu."

"Iya tante."

"Kalo boleh tante tahu mau pergi ke mana?" Tanya Bianca, sebisa mungkin dia ingin mengorek informasi dari pemuda dihadapannya ini.

"Ada pameran di kampus tante,"

"Berarti nggak berdua dong."

"Iya??" Dewa bingung harus menjawab apa, penolakan dan rasa tidak suka Bianca sekarang sudah tidak ia tutupi. Tapi ada yang mengganjal yang sebenarnya ada dibenaknya. Apa dirinya pernah bertemu dan mempunyai salah. Perasaan dewa ia baru kali ini bertemu dengan orang tua Tabia, untuk penampilan dia cukup sopan.

"Soalnya emm gimana ya mungkin kamu baru kenal Tabia jadi tante harap jangan terlalu dekat dengan Tabia. Kamu itu tampan pasti banyak yang suka sama kamu tapi Tabia bukan seperti perempuan diluar sana yang mungkin tergila-gila sama kamu. Tante nggak ngelarang kamu suka sama anak tante, tapi ada seseorang lebih cocok bersanding dengan Tabia, dan itu bukan kamu." Mendengar apa yang dituturkan Bianca, dewa mengganggap kalau Tabia sudah memiliki calon atau memang perkataan itu untuk membuat dirinya membuat jarak dengan Tabia.

"Tante nggak maksud apa-apa, tapi sebelum kamu sakit hati kamu bisa berhenti. Tante begini karena tante mau anak tante bahagia. Tante harap kamu bisa paham." Bianca sadar dirinya terlalu menunjukkan rasa tidak sukanya. Tapi Bianca merasa apa yang ia lakukan tidak salah.

"Paham tante."

Tak lama Tabia keluar dengan Nata yang sudah siap berangkat ke rumah sakit. Merasakan kehadiran orang lain, Bianca merubah raut muka dengan senyuman. Tabia merasa ada sesuatu yang seharusnya tidak bundanya bicarakan dengan dewa, melihat raut muka dewa. Tabia yakin ada yang tidak beres yang sudah ibunya lakukan.

"Halo om, saya dewa temen kuliahnya Tabia." Sapa Dewa kepada Nata.

"Iya, om nata ayahnya Tabia," balas Nata dengan ramah berbeda dengan sang istri.

"Mau langsung aja kak?" Tabia ingin segera berangkat karena tahu kalau Dewa merasa tak nyaman.

"Boleh,"

"Kalau gitu saya izin bawa Tabia dulu om tante." Pamit Dewa kepada Bianca dan Nata.

"Iya hati-hati ya,"

"Tabia, hati-hati."

Keduanya berbicara bersamaan tapi dengan maksud yang berbeda. Setelah melihat mobil yang dikendarai Dewa dan Tabia pergi, Bianca dan Nata memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.

"Kamu bicara apa aja tadi?" Tanya Nata kepada sang istri. Nata menyadari perubahan yang terjadi dengan istrinya.

"Hal yang sudah seharusnya anak itu tahu." Jawab Bianca dengan melanjutkan makan paginya.

"Kamu jangan begitu, dia kan punya nama dewa. Dan dewa itu temannya Tabia. Jangan mentang-mentang kamu suka sama Abi maka kamu musuhi teman laki-laki Tabia begitu." Nata coba mengingatkan karena Bianca terlalu menunjukkan rasa tidak sukanya.

"Aku awalnya nggak gitu, tapi perasaan seorang ibu. Feeling aku bilang dia bukan anak baik, dan aku nggak mau sampai dia nyakitin Tabia." Bianca masih merasa kalau dirinya memang tidak salah.

"Itu cuma.."

"Ayah lupa dengan kejadian 4 tahun lalu?, Perasaan itu yang sekarang bunda rasakan saat liat dewa. Awalnya bunda hanya penasaran dengan siapa Tabia bergaul tapi kali ini bunda mau Tabia nggak bergaul dengan dewa-dewa itu. Stop bunda nggak akan berubah keputusan bunda. Ayah hati-hati kerjanya kirim pesan kalau sudah sampai."

Melihat sang istri pergi membuat Nata menghembuskan nafas panjang. Nata tak bisa berangkat dengan keadaan seperti ini, karena itu ia menyusul ke kamar dan meminta maaf karena sudah menyinggung perasaan sang istri.

*_**_*

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, Calvin. Pemuda itu sudah berdiri di bandara Soetta.

"Selamat datang kembali Calvin."

*_**_*

Thanks dan selamat membaca🙏

Merakit CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang