Betapa tidak
Seorang anak paling lugu
Menganggap lucu
Dan terlihat malu-malu
Menebar senyum
Yang luput dan senyap
Kemarin masih seperti mimpi buat Liz. Sisa-sisa momen di hari kemarin masih hidup dalam kepalanya. Seketika Liz tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana mimpi; pikirannya menganggap itu adalah sama. Kini matanya ikut tidak fokus melihat benda transparan di depannya. Dirinya mendadak berhenti setelah menyadari tubuhnya hampir saja menabrak pintu kaca saat masuk ke lobi kantor. Untung tidak ada yang melihat.
"Hati-hati, Non. Pintunya masih ketutup," ucap seorang satpam yang berdiri tidak jauh dari dirinya.
Liz mendongakkan kepala dan menengok ke arahnya. "Eh iya, Pak."
Liz mengambil beberapa langkah ke kiri tempat gagang pintu kaca itu berada. Ada sedikit rasa malu dalam dirinya, ternyata ada seseorang yang memperhatikan langkahnya. Tetapi Liz menghiraukannya. Didorongnya pintu itu dan membiarkannya tertutup sendiri setelah ia masuk. Jiwanya masih asik berkelana di masa lalu, hari kemarin, belasan jam sebelumnya.
***
Liz menyusuri lobi sendirian. Teman-teman yang dari tadi bersamanya sudah sibuk di kegiatannya masing-masing. Berdiri di depan pintu lift sendirian, menunggu pintu lift mempersilahkannya masuk sangatlah membosankan. Angka dua belas memberikan informasi bahwa lift masih jauh di atasnya. Ia mengambil camilan dikantong lalu disantapnya pada gigitan pertama. Memasuki gigitan kedua, seorang laki-laki berdiri di sampingnya. Liz merasa tidak asing dengan sepatunya. Ia melihat orang itu dari bawah hingga atas dan tebakannya benar.
"Loh. Kak Elwin?" saut Liz terkejut.
"Loh. Liz?" saut Elwin ikut terkejut.
Mereka saling pandang dan terdiam dua detik lamanya.
"Enggak jadi rapat, Kak?" tanya Liz yang masih memegang camilan di tangan kanannya.
"Rapat. Tapi ditunda sampai jam dua. Ya udah deh aku balik dulu aja. Nanti ke sana lagi."
"Oh..."
"Yang lain ke mana?"
"Biasalah. Mulai sibuk sendiri-sendiri. Tadi Mbak Ina dapet telepon penting gitu, kalau Kak Dio mau jajan dulu katanya." Liz memberi jawaban.
"Oh..."
Pintu lift terbuka tepat setelah perbincangan terakhir mereka. Lift itu terlihat kosong tidak ada orang. Liz dan Elwin masuk bersamaan, dengan langkah yang sama. Tombol sepuluh dipencet Elwin dan Liz hanya diam berdiri di sebelahnya. Pintu lift tertutup dan gerakannya mulai terasa.
"Makasih ya, Kak. Tadi udah misa bareng-bareng."
"Iya, sama-sama. Baru kali ini kan lu misa di sini?"
"Iya. Gue kan baru beberapa bulan di sini."
"Bener juga. Gimana rasanya? Sama aja atau beda?"
Ada yang tiba-tiba menghantam dada Liz ketika mendengar pertanyaan Elwin. Ia bisa merasakan bahkan mendengar detak jantungnya yang semakin cepat dan keras itu.
Liz menjawab sesuai perintah kepalanya. "Hem... Ada yang sama ada yang beda sih, Kak."
"Kesamaanya pasti tata cara ibadahnya. Ya, kan?"
"Iya. Hahaha."
"Terus yang bedaannya apa?"
"Hem..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Atidhira
RomanceAtidhira bukanlah namanya. Alam semesta yang memberinya nama demikian. Mengemban rasa yang tidak tahu berakhir seperti apa, begitu tabah dan berani mencintai seorang laki-laki tinggi, Elwin, rekan kerjanya sendiri. Lizbeth. Bak potongan tanya yang h...