Di suatu tempat dari belahan dunia lain dan di musim dingin yang begitu mengigil, Elwin mengitari kota Roterrdam bersama teman-teman Indonesia-nya sekaligus teman satu asramanya, Yoga dan Enz. Bersepeda menjadi aktivitas wajib selama ia sudah terbiasa dengan gaya hidup di sana. Memang belum lama, tapi Elwin sudah begitu paham dengan orang-orang dan daerah di sana.
Mereka berhenti di sebuah kafe tidak jauh dari salah satu pelabuhan terbesar di Belanda. Mereka memarkir sepedanya di tempat khusus dan menggemboknya. Elwin melepaskan mantel saat memasuki kafe dan menaruh mantelnya di tempat yang sudah disediakan. Mereka memilih tempat di dekat jendela agar bisa memandang keindahan pelabuhan, kemudian memesan makanan ringan dan minuman hangat.
Sebuah barang Elwin keluarkan dari dalam tas gendongnya.
"Kalau gue liat-liat, nih. Lu suka bawa botol minum itu, ya?" Enz bertanya pada Elwin setelah ia menyadari barang itu selalu ada di dekat temannya.
Yoga pun menyahutnya. "Bener. Gue juga sering liat lu bawa botol itu. Tiap mau ke kampus pasti lu enggak lupa isi air di botol itu terus lu bawa ke kampus."
"Inget enggak waktu kita mau ke Witte de Withstraat, udah setengah jalan terus tiba-tiba si Elwin balik ambil botol itu?"
"Itu beberapa minggu yang lalu, bukan? Gue inget banget tiba-tiba lu puter balik terus teriak ke kita mau ambil botol yang ketinggalan."
Elwin akhirnya menanggapi ucapan teman-temannya. "Iya. Botol ini berharga buat gue. Ada orang spesial yang kasih ini ke gue."
Yoga menanggapinya dengan terkejut. "Dari pacar lu?"
"Hem..." Elwin memikirkannya sejenak, apakah ia harus menjelaskan ke teman-temannya atau tidak. "Belum."
"Maksud lu belum?" Enz melipat rapi kedua tangannya di atas meja. Ia menunjukkan ketertarikan terhadap kisah hidup Elwin yang belum pernah Elwin ceritakan selama ini, yaitu tentang kisah cintanya.
"Ya, maksud gue nanti gue bakal kasih jawaban ke dia."
"Dia udah nembak lu?"
"Iya. Satu tahun yang lalu. Persis di bulan ini. Tapi waktu itu gue belum bisa kasih jawaban karena gue belum siap. Daripada gue nyakitin perasaan dia, jadi gue alihin ke hal lain."
Yoga, yang duduk di sebelah Elwin, memutar badannya sembilan puluh dejarat ke arah temannya itu. "Ih, Elwiiiin... Gue jadi perempuan itu sedih, sih."
"Dia bilang apa ke lu selain dia suka sama lu?"
"Dia enggak mengharapkan apa-apa dari gue, sih. Katanya dia enggak maksud buat dapet jawaban dari gue atau pacaran sama gue."
"Ya ampun, Elwiiiiin. Beneran ini mah, kalau gue jadi dia, gue sedih banget. Kenapa lu gantungin dia gitu aja, sih?" ucap Enz geregetan.
"Jadi lu kapan mau nyatain perasaan lu juga?" tanya Yoga.
Inilah pertanyaan yang satu tahun Elwin pikirkan matang-matang. Pertanyaan yang sama yang membuat hilangnya kontak antara dia dengan Liz. Setelah lama berdiam diri, Elwin menjawab pertanyaan itu. "Mungkin setelah gue selesai kuliah di sini."
"Bro. Kuliah kita masih nyisa tujuh belas bulan lagi. Lu yakin dia masih mau terima lu setelah apa yang dia dapetin dari lu?" tegas Yoga.
Elwin kembali terdiam. "Enggak tahu." Nada suara Elwin tiba-tiba layu. Matanya pun sayu dibalik kacamatanya. Wajahnya berusaha menyembunyikan kesedihan.
Seorang pramusaji datang ke meja mereka membawa semua pesanan. Yoga dan Enz membantu memberikan pesanan ke masing-masing orang, sedangkan Elwin hanya memperhatikan dan terdiam. Botol minum hitam pemberian Liz ia pegang erat-erat di pangkuannya.
Ternyata gue rindu lu, Liz, ucap Elwin dalam hati.
Kita tidak menghirup udara yang sama untuk sementara. Cintamu yang berjarak sebelas ribu tiga ratus sembilan puluh kilometer tidak pernah kulupa. Maka, kuutus para malaikat dari surga untuk menjagamu dan tak lupa kutitipkan cintaku kepada mereka. Tunggulah sebentar lagi. Aku akan kembali. Menemuimu, memelukmu, lalu kubangun pondasi baru untuk kita berdua.
November 2021. Rotterdam, Belanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Atidhira
RomanceAtidhira bukanlah namanya. Alam semesta yang memberinya nama demikian. Mengemban rasa yang tidak tahu berakhir seperti apa, begitu tabah dan berani mencintai seorang laki-laki tinggi, Elwin, rekan kerjanya sendiri. Lizbeth. Bak potongan tanya yang h...