Bagaimana aku dapat berdiri
Jika kaki saja tidak berani mengubur lemas
Sebab salah satu penopangnya
Akan pergi tak akan lama lagi
Satu demi satu
Tak ayal aku mencoba bangkit
Menegarkan hati untuk
Raga yang selalu ingin
"Kak, gue mau tanya," ucap Liz yang duduk di sebelah Elwin.
Elwin mengemudikan mobilnya tidak lebih dari seratus kilometer per jam.
"Tanya aja," jawab Elwin singkat.
"Gue jutek enggak sih? Kalau iya, jutek aja, jutek banget, atau biasa aja?" tanya Liz sambil memandang ke arah Elwin.
"Kenapa lu dadakan tanya gitu?" Elwin balik bertanya.
"Mau self improvement. Hahaha..."
"Face wise jutek sih. Tapi kalau ngomong biasa aja menurut gue," kata Elwin tentang pendapatnya.
"Maksudnya face wise itu gimana?"
"Ya, kalau lu diem aja jutek. Tapi kalau muka bawaan lahir enggak sih? Hahaha," ucap Elwin sambil tertawa.
Liz bertanya kembali karena tidak puas. "Kalau typing gimana? Belakangan ini gue ngerasa galak banget soalnya."
"Perasaan lu doang itu. Gue enggak ngerasa lu jutek juga." Elwin mengubah pemikrian Liz agar dirinya tidak lagi merasa bersalah pada diri sendiri.
"Hem... Bisa jadi. Berarti gue kalau diem kudu agak senyum gitu yak?" Liz membuat raut wajah datar dengan sedikit senyum di balik maskernya. "Tapi nanti gue disangka orang gila senyum-senyum sendiri."
Sambil menatap jalanan tol yang remang-remang, Elwin tertawa. "Hiii... Lu masih orang kan? Apa Tante K? Oh my God," ledek Elwin sambil mengarahkan pandangan ke Liz.
Mata Liz menyipit dan bibirnya membentuk garis lurus sepanjang tujuh sentimeter di dalam maskernya. "Bener-bener. Kemarin singkong, terus Jaiko, besok julukan apa lagi yang lu sematkan ke gue?"
"Kalau Jaiko kan udah jelas alasanya. Kalau singkong..."
Elwin tidak melanjutkan kalimatnya.
"Ini nih yang gue khawatirkan," ucap Liz.
Sebelum ini terjadi, Liz dan Elwin masih sempat berdebat tentang ke mana Elwin harus mengantar Liz. Keduanya begitu keras kepala. Bahkan saat di parkiran dan sudah berdiri di depan mobil, mereka masih memperdebatkan siapa yang harus menuruti siapa. Namun karena beberapa alasan, hati Liz luluh. Entah karena dia tidak bisa memenangkan ajang debat ini atau memang karena hatinya ingin kembali merasakan kenyamanan itu. Kenyamanan yang akhir-akhir ini begitu manis untuk dia semogakan.
Malam yang hening semakin hening. Kemasyhuran malam kian syahdu bak alunan lagu klasik yang menenangkan. Suara klakson mobil datang silih berganti, lampu-lampu jalan tol yang didominasi lampu mobil dari kedua arah, dan dua manusia penikmat malam yang tak saling bersuara. Liz mengambil ponsel di tasnya untuk mengisi waktu, sementara Elwin tidak perlu ditanya lagi. Fokus dan berhati-hati mengemudikan mobilnya.
Elwin menengok ke Liz beberapa saat. Perempuan di sebelahnya tengah sibuk memantau penghuni-penghuni di media sosialnya. Terkadang tertawa sendiri dan terkadang tidak memberikan ekspresi.
"Keputusan gue udah final, nih," ucap Elwin membuka obrolan.
Liz beralih ke Elwin. "Keputusan apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Atidhira
RomanceAtidhira bukanlah namanya. Alam semesta yang memberinya nama demikian. Mengemban rasa yang tidak tahu berakhir seperti apa, begitu tabah dan berani mencintai seorang laki-laki tinggi, Elwin, rekan kerjanya sendiri. Lizbeth. Bak potongan tanya yang h...