Banyak yang bilang jika penyesalan selalu datang di akhir. Siapa pun tidak dapat mengulang masa lalu kecuali memperbaikinya di masa depan. Empat hari setelah kejadian sore hari itu, Liz merasakan benar bagaimana penyesalan begitu mengusiknya. Sering kali ia menyebut dirinya manusia bodoh, tidak pernah belajar dari kesalahan sebelumnya. Empat hari itu, sama sekali tidak ada obrolan di antara Liz dan Elwin. Empat hari itu juga Liz merasa rindu terhadap pria tersebut.
Sudah sangat wajar bila malam menjadi waktu yang tepat untuk seseorang menyesali situasi dan kesalahannya sendiri. Kemasyhuran malam dan segala perhiasannya adalah indah di dalam kegelapan. Liz membuka ruang percakapannya dengan Elwin. Dibacanya percakapan yang terdahulu. Satu kali, diulang lagi, dan diulang lagi.
"Aku kangen, Kak," ucap Liz saat menatap layar ponselnya.
Air mata seketika keluar di balik kacamatanya. Liz tersadar bahwa ia menangisi Elwin dan menangisi perbuatan yang seharusnya tidak ia lakukan. Terlalu dibawa perasaan, namun di sisi lain dirinya juga marah terhadapnya.
Liz meletakan ponselnya di kasur dan melepas kacamatanya untuk mengeringkan air matanya. "Mungkin aku salah suka sama dia," ucapnya setelah itu.
Ingatan Liz berpetualang ke waktu sebelum semuanya berakhir seperti ini; mengenai segala sesuatu yang berkait erat dengan Elwin. Setiap tindakan di luar dugaan yang bisa dibilang romantis, setiap candaan yang mampu membuatnya tertawa, atau sebatas kehadiran yang sudah bisa membuatnya nyaman. Seakan lenyap oleh kekuatan sihir sebuah mantra yang tidak pasti kebenarannya. Air mata itu kembali menetes. Tidak sangup lagi membendung kesedihan, Liz menangis sejadinya.
Ponsel yang tidak dalam pengaturan mode diam berdering satu kali. Liz menghapus air matanya, mengatur napasnya, dan kembali memakai kacamatanya.
Rita : Enggak ada yang serius di sana. Toh juga biasanya kalian kalau bercanda memang kayak begitu kan? Ini perkara gengsi kalian sama-sama gede.
Liz membenarkan yang dikata temannya itu.
Liz : Memang enggak ada yang serius. Cuma gue aja yang terlalu baper nanggepinnya. Bingung gue sama diri gue sendiri.
Rita : Minta maaf waktu lebaran aja, kayak yang dia bilang.
Berdasarkan pesan tersebut, Rita ingin mengatakan jika semua akan kembali normal. Meminta maaf sesuai batas waktu yang ditentukan menjadi jalan satu-satunya untuk mengembalikan keadaan.
Liz mulai menyadari akan hal ini. Satu minggu setelah pesan terakhir dari Rita tersebut, Liz sadar bahwa sudah serindu itu dia dengan Elwin. Ada rasa ingin membuka obrolan, tapi takut jika tidak ada tanggapan darinya. Berhari-hari niat itu selalu ada, namun berhari-hari juga ia memilih untuk tetap diam. Liz semakin bingung akan perasaannya sendiri. Hatinya mengatakan bahwa dia menganggap semua itu teman dan tidak ada yang terlalu spesial. Namun tidak bisa dipungkiri jika dirinya begitu senang saat bercakap-cakap dengan Elwin. Selalu menunggu notifikasi pesan dari Elwin sudah menjadi kegiatannya sehari-hari.
Untuk malam yang kesekian, Liz kembali menangis. Hampa rasanya tanpa satu hari bertutur sapa dengan Elwin. Liz seakan tidak bisa menerima akibat dari apa yang sudah dilaluinya, tentang sebuah hati yang tidak mengerti bagaimana ia harus bertindak demi memenuhi hasrat rindunya terhadap seseorang. Kisahnya itu kembali ia ceritakan kepada temannya yang lain, Aras. Liz membutuhkan asupan saran kedua yang sekiranya bisa membantunya untuk menemukan jawaban atas kegelisahannya ini.
Liz : Gue bingung deh. Enggak ada dia, gue uring-uringan. Tapi kalau ada dia ya gue biasa aja. Kenapa sih?
Aras : Lu anggap Kak Elwin itu apa?
Pertanyaan Aras sungguh membuat Liz berpikir. Selama ini tidak ada yang pernah bertanya itu kepadanya.
Liz : Temanlah. Atau kakak deh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Atidhira
RomanceAtidhira bukanlah namanya. Alam semesta yang memberinya nama demikian. Mengemban rasa yang tidak tahu berakhir seperti apa, begitu tabah dan berani mencintai seorang laki-laki tinggi, Elwin, rekan kerjanya sendiri. Lizbeth. Bak potongan tanya yang h...