Ini semua
Tidak lebih dari sekadar
Momentum sesaat
Ada di menit sekarang
Hilang di detik setelahnya
Maka satu
Kita hanya patut syukuri
Alih-alih meminta lebih
Karena kita sadari
Kita mampu merasa cukup
Malam menjadi sangat melelahkan ketika Liz mulai kehilangan waktu untuk merehatkan raga dan pikirannya. Sebelumnya, hari-hari sebelum pandemi menjadi liar, juga sudah melelahkan. Namun, kali ini semakin bertambah setiap harinya. Tubuhnya dipaksa untuk kuat juga dipaksa untuk menghindari segala sakit penyakit yang sedang tren saat ini. Sebagai anak yang tidak suka minum obat, Liz harus bertahan demi menjaga tubuhnya tetap sehat.
"Liz. Makan dulu. Sudah malam," ucap mama Liz dari ruang tamu.
Bahkan Liz tidak yakin dapat mencuri waktu untuk makan. Ia selalu khawatir akan terjebak dalam kenyamanan itu; menikmati setiap suapan makanan, terlepas dari laptop kantor, dan lupa terhadap tugasnya. Tapi itu semua tidak berlaku jika ada makanan yang menarik seleranya, seperti seblak yang ia makan dua hari lalu.
"Sebentar lagi, Ma," jawab Liz.
Liz selalu memberikan jawaban yang sama. Sebentar menurut kamus hidup Liz adalah beberapa jam setelahnya. Bukan beberapa menit kemudian, apalagi beberapa detik kemudian. Mama Sari, alias mamanya Liz, tidak membalas ucapan anaknya karena sudah tahu anaknya akan menjawab apa. Namun biar bagaimana pun juga, seorang ibu tetaplah seorang ibu. Tidak perlu kata-kata untuk ungkap kasih sayangnya. Mama Sari segera pergi ke dapur dan menyiapkan sepiring nasi, ayam goreng bagian paha, dan sambal andalannya lalu dibawa ke kamar anaknya.
"Mama bawain, ya. Dimakan dulu. Kamu belum makan dari pagi," ucapnya.
Suaranya halus dan lembut meluluhkan hati Liz.
"Kenapa dibawain, Ma? Nanti kan aku bisa ambil sendiri."
"Halah. Mama enggak yakin kamu makan sekarang. Mending mama bawain aja makanannya ke kamarmu."
"Haduh... Mamaku tersayang," manja Liz sambil meremas sedikit telapak tangan mamanya.
"Belum selesai kerjanya?" tanya Mama Sari khawatir.
Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam. Wajar saja jika Mama Sari merasa khawatir sebab anak sulungnya terlalu keras kepala.
"Lagi nunggu bosku tanda tangan dokumen. Terus ngecek invoice, baru selesai," jelas Liz.
"Ya, sudah. Jangan tidur malam-malam. Jaga badan."
"Oke, Ma." Liz memanggil mamanya sekali lagi. "Mama."
"Kenapa?"
"Besok aku ke kantor, ya?"
"Ya."
"Oke. Sip," kata Liz.
***
Menjadi asing saat memasuki lobi kantor. Hanya sedikit orang di sana; beberapa satpam, office boy dan karyawan yang kedapatan kerja di kantor hari ini. Liz seperti tidak mengenali tempat itu. Semakin sepi dari terakhir ia datang ke kantor ini. Orang-orang mulai memakai masker, ada pula yang menggunakan sarung tangan. Satpam yang pernah memergokinya hampir menabarak pintu pun tidak tahu yang mana. Simpulannya, tidak hanya asing dengan tempatnya, manusia-manusianya pun begitu asing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Atidhira
RomanceAtidhira bukanlah namanya. Alam semesta yang memberinya nama demikian. Mengemban rasa yang tidak tahu berakhir seperti apa, begitu tabah dan berani mencintai seorang laki-laki tinggi, Elwin, rekan kerjanya sendiri. Lizbeth. Bak potongan tanya yang h...