26 hari menjelang Elwin resign.
Satu raga sedang meregangkan urat-urat nadinya. Sebuah lagu merdu terdengar di telinga. Sejak pagi raga itu tidak berhenti menyelesaikan pekerjaannya meski hari ini adalah hari libur. Hari Sabtu di saat kebanyakan orang memilih menghibur diri dengan kegiatan menyenangkan. Liz segera melempar tubuhnya ke kasur, lalu bangun untuk mematikan laptopnya, dan kembali menidurkan tubuhnya.
Matanya menatap langit-langit kamar. Melamun dan pikirannya kosong. Untuk beberapa saat, sampai akhirnya dia mencari-cari di mana ponselnya berada. Tubuhnya kembali bangun, mengambil ponsel di meja, dan kembali ke posisi semula. Lagu merdu itu dimatikan, membuka salah satu media sosialnya, dan berselancar indah di sana.
Banyak orang-orang bahagia di sana. Bak ajang pamer tentang apa yang baru saja mereka dapatkan, atau apa yang sedang mereka lakukan, membuat Liz resah dengan semua itu. Liz beralih ke media sosial lain; yang banyak membuatnya tertawa, yang banyak membuatnya belajar hal baru, yang membuatnya lebih menghargai diri sendiri.
Sebuah pesan dari Elwin masuk di ponselnya. Liz membuka pesan tersebut.
Kak Elwin : Lu tahu film Indonesia yang judulnya Imperfect enggak? Gue suka deh sama makna yang mereka bawain. Bagus.
Sebuah pesan yang juga tidak pernah Liz pikirkan sebelumnya. Para jemari Liz begitu semangat membalas pesan Elwin.
Liz : Gue baru nonton itu belum lama ini. Bagus banget memang.
Kak Elwin : Iya. Makna filmnya dalem banget. Kita enggak akan pernah puas sama apa yang kita punya. Selalu pengin jadi sempurna kayak orang lain, membanding-bandingkan diri sama orang lain, yang ujung-ujungnya buat kita jadi mengacaukan apa yang sudah kita punya. Jadi intinya kita mesti berdamai sama diri sendiri, menerima ketidaksempurnaan kita. Parah sih. Gue lagi butuh nonton film-film inspiratif kayak gitu. Hahahaha.
Pesan itu mengingatkan Liz tentang apa yang baru saja ia rasakan sebelumnya. Ketika dirinya mulai resah dengan semua yang ada di media sosial seperti ajang pamer bahagia yang bisa buat dirinya tidak bersyukur.
"Nih orang peramal apa gimana deh?" tanya Liz pada dirinya sendiri. Pada kesempatan kali ini, Liz semakin menyukai Elwin dari salah satu sisi terdalamnya. Menyampaikan pendapatnya tentang suatu hal yang menginspirasi Liz.
Liz : Yes. Jadi kehilangan yang udah kita punya selama ini. Gue juga coba nonton Milly & Mamet. Itu juga bagus menutut gue.
Kak Elwin : Iya. Komedinya dapet, pesan positifnya juga dapet. Kalau itu kayaknya gue belum tonton. Malem ini gue coba nonton deh. Gue suka film kayak Imperfect, karena gue sendiri suka ngerasa insecure, suka minder dan pengin kayak orang lain. Suka ngerasa enggak cukup bagus, ngerasa kurang di sana dan di sini. Jadi kayak seneng bisa relate. Hahaha.
Liz semakin tidak percaya dengan apa yang barusan dia baca. Kejujuran yang Elwin ungkap membuatnya tidak menyangka. Sosok terdalam seorang Elwin merupakan orang yang kurang percaya diri. Dia tidak pernah menonjolkan sifat itu kepada orang lain, pun kepada Liz. Elwin selalu menyimpannya rapat-rapat, tidak jauh berbeda dengan rasa cinta Liz kepada laki-laki itu.
Liz : Enggak, Kak. Setiap orang punya kelebihan masing-masing. Tiap orang tuh unik. Inget kan kata gue waktu itu. Kita punya asin, manis, asam, dan pahitnya masing-masing. Dan kelebihan manusia itulah yang bikin manusia unik dan istimewa.
Tidak ada balasan dari Elwin. Dalam posisi tiduran, Liz berusaha menghilangkan pemikiran aneh. Dia yakin, ada alasan lain mengapa Elwin tidak membalas. Mencari film yang Liz rekomendasikan atau sedang ada keperluan lain. Liz kembali pada media sosialnya, tertawa, dan merenungkan banyak hal.
Pada malam harinya, Elwin mengirim pesan lagi. Isinya bahwa dia sudah mencari film itu di berbagai situs di internet, menemukan satu situs yang tepat, dan menontonnya.
Di tengah obrolan mereka, seketika Liz tersadar bahwa film yang direkomendasikannya mengarah ke pernikahan. Oleh sebab kepanikkannya, Liz mencari kontak bernama Rita dan bertanya apakah Rita ada waktu untuk telepon.
"Ta. Gue baru sadar gue habis nyaranin film tentang marriage ke doi. Enggak full marriage, sih. Gue enggak enak aja."
"Hahahaha. Terus dia nonton?" tanya Rita sambil tertawa karena tingkah temannya itu.
"Nonton. Gue pikir dia bilang bakal nonton malemnya itu cuma basa-basi doang. Eh, enggak tahunya beneran! Tapi dia enggak ada komen apa-apa sih. Padahal gue berharap ada feedback wkwkwkwk. Bahkan dia bilang udah nonton sebelum gue tanya. Aneh aja sih. Gue beneran enggak sadar pas ngasih tahu dan enggak nyangka beneran ditonton," kata Liz mencertiakan inti kejadiannya.
Di balik telepon Rita ikut terkejut.
"Demi apa woi! Maksudnya gini. Gue pernah kayak lihat di meme atau di mana gitu, terus dibilang kalau misalkan cowok dikasih lagu terus dia langsung dengerin itu berarti dia pengen tahu lu kayak gimana. Nah, ini lu kasih film dan dia langsung tonton malemnya.... Gila, wow, keren banget sih. Bahkan gue ngeracunin lu film, lu masih yang kayak 'Ya udah deh nanti. Masih banyak list yang gue punya', sedangkan dia langsung tonton. Wow. Keren banget sih."
Liz memikirkan dalam-dalam ucapan Rita barusan.
"Tapi bisa jadi karena memang dia lagi butuh inspirasi. Jadi, dia langsung mau nonton. Yang bikin gue enggak nyangka lagi adalah dia niat banget sampai pakai VPN karena link-nya enggak bisa dibuka."
"Tuhkan, Liz. Sampai seniat itu coba lu bayangin. Ya, semau-maunya lu nonton, lu bisa nonton film yang lain. Iya enggak sih? Enggak harus film yang disaranin temen, rekan kerja. Coba, iya enggak? Kalau dia anggep biasa aja, ya, dia bisa pilih buat nonton film yang lain dulu yang dia temuin di perjalanan. Tapi dia malah pilih nonton film itu? Wow! Keren!" ucap Rita sangat bersemangat sambil mengeluarkan segala kekaguman atas kejadian yang dialami temannya.
Kalimat Rita membuat Liz tersipu malu. Oke cukup, begitulah kira-kira hatinya berkata. Semakin dirinya menghayati, semakin dirinya dibawa terbang lebih tinggi bersama angan. Ia pun menyudahi pembahasan itu dan melanjutkan ke pembahasan lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Atidhira
RomanceAtidhira bukanlah namanya. Alam semesta yang memberinya nama demikian. Mengemban rasa yang tidak tahu berakhir seperti apa, begitu tabah dan berani mencintai seorang laki-laki tinggi, Elwin, rekan kerjanya sendiri. Lizbeth. Bak potongan tanya yang h...