21 hari menjelang Elwin resign.
Sejak pagi Elwin sudah memiliki rencana untuk bertemu dengan Liz. Hanya saja rencana itu masih menjadi rahasia. Elwin tidak memberi kabar apa pun bahwa hari ini dia di Bogor untuk urusan proyeknya. Mungkin setelah ini dia akan mengabarinya.
Elwin teringat akan sebuah tempat makan yang pernah ia lewati tidak jauh dari rumah Liz. Bukan. Bukan rumah makan tempat mereka beli makanan Sunda waktu itu. Kali ini bisa dibilang kafe yang tetap buka meski dibatasi pengunjungnya. Sejak saat itu, Elwin terus mengingat-ingat nama kafenya.
Lewat pukul enam sore, Elwin menjalankan rencananya. Sebelum masuk ke mobil, Elwin mengirim pesan singkat kepada Liz.
Elwin : Gue di Bogor, nih. Udah makan belum? Gue mau ajak lu makan di luar sebentar. Bisa enggak?
Ia membuka pintu mobilnya sambil menatap layar ponselnya. Duduk di kursi lalu menyimpan ponselnya di dalam tas kecil yang dia bawa. Menyalakan mesin, memakai sabuk pengaman, dan memastikan bensinnya masih tercukupi. Ponselnya berbunyi ketika tangan kirinya baru saja memegang rem tangan.
Lizbeth : Bisa, Kak. Tapi gue enggak bisa lama-lama, ya. Wait, gue mau mandi dulu. Hehehe...
Elwin tersenyum membaca pesan Liz. Sempat dia mengira jika ajakannya akan ditolak karena terlalu mendadak. Segera ia membalas pesan tersebut untuk memberitahu di mana Liz harus menemuinya.
Di perjalanan, Elwin memikirkan banyak hal. Mulai dari kuliahnya, rencana untuk resign yang tidak lama lagi, malam yang seakan setia menemani di tengah kegelisahannya, dan seorang perempuan tidak terlalu tinggi dengan rambut tebalnya yang diberi harap bisa mendengar keluh kesahnya lagi. Rasanya sangat tenang jika menceritakan semuanya pada Lizbeth. Sebab itulah mengapa ia begitu senang Liz mau menemuinya malam ini.
Tiga puluh menit kemudian, Elwin sampai di kafe tersebut. Saat masuk, Elwin sudah disambut dengan iringan musik jazz serta banyaknya dekorasi-dekorasi kayu yang menambah kesan artistiknya. Ada pula area yang dipenuhi dengan bunga warna-warni beserta dedaunan dan lampu-lampu hiasnya.
"Untuk berapa orang, Kak?" tanya seorang pramusaji yang mendatanginya.
"Dua orang, Mbak," jawab Elwin.
Pramusaji itu kemudian mengarahkan ke tempat duduk di sudut ruangan sayap kanan dekat jendela yang terbuka lebar.
"Menunya bisa di-scan lewat QR code di sudut meja, ya, Kak." Pramusaji itu memberi informasi bagaimana cara memesannya.
Elwin mengangguk tanda paham. Setelahnya pramusaji itu pergi melayani tamu lainnya.
***
Liz terkejut menerima pesan singkat dari Elwin. Sosok seorang pria yang lagi-lagi membuatnya terkagum. Sebuah ajakan Elwin dapat dengan mudah meluluhkan hatinya. Tanpa sengaja bibirnya melukiskan senyum paling tulusnya.
"Mama. Aku diajak makan di luar sama Kak Elwin boleh? Dia lagi di Bogor," kata Liz meminta izin pada mamanya.
"Di mana?" tanya mama Liz untuk memastikan.
"Belum tahu."
"Ya. Jangan lama-lama. Habis makan langsung pulang. Lepas masker kalau lagi makan aja. Bawa hand sinitizer. Jaga jarak."
Liz mengeluarkan kedua jempolnya tanda setuju. Ia bergegas ke kamar untuk mematikan laptop dan membalas pesan Elwin. Setelah itu ia pergi mandi, menyiapkan segala alat tempur yang wajib dibawa, memakai pewangi, mengambil kunci motor, lalu membuka pesan dari Elwin. Sebuah kafe terkenal tidak jauh dari rumahnya. Dia segera menuju ke sana tanpa petunjuk arah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Atidhira
RomanceAtidhira bukanlah namanya. Alam semesta yang memberinya nama demikian. Mengemban rasa yang tidak tahu berakhir seperti apa, begitu tabah dan berani mencintai seorang laki-laki tinggi, Elwin, rekan kerjanya sendiri. Lizbeth. Bak potongan tanya yang h...