Hai, Kak Elwin. Enggak pakai basa-basi, ya. Jadi, this is gonna be a long story, because sudah dari setahun, kira-kira selama itu gue pendam sendiri. Hehehe. Sebelumnya gue mau disclaimer kalau misalnya ini bertujuan untuk melegakan saja, enggak ada maksud apa-apa. Sebenarnya gue enggak enak sama lu. Kita sudah lama kenal, tapi di sini gue curang karena gue suka sama lu. Iya, lu enggak salah denger, Kak. Gue memang suka sama lu. Entah mulai sadarnya dari kapan, tapi gue memutuskan di tanggal 17 Desember 2019. Kalau lu sadar gua sempat canggung sama lu. Tapi ada yang memotivasi gue kalau suka sama cowok jadi temen biasa saja. Jadi, dari situ gue menganggap semuanya adalah teman biasa. Masalahnya gue masih belum terbiasa. Gue suka sama lu tapi gue menanggapi lu selayaknya teman biasa, sampai-sampai gua taruh mindset 'pokoknya dia teman gue, pokoknya dia temen gue, pokoknya dia temen gue'. Awalnya gue enggak expect banget. Gue seumur-umur suka sama orang enggak pernah benar, Kak. Ada aja masalahnya. Tapi sama lu kenapa kita bisa deket banget? Kaget gue sebenarnya. Dari awal masuk lu udah ajak gue ngobrol, kita punya masalah yang sama, lalu gue pikir orang ini memang seterbuka itu atau bagaimana. Ya, memang di sini gue anggep lu seterbuka itu karena lu gampang buat cerita ke orang. Dari situ gue merasa seakan kita punya waktu khusus buat berbagi cerita.
Jujur, awalnya gue enggak sadar. Sampai terakhir kita WFO pun gue masih enggak sadar kalau gue sesuka itu sama lu. Jadi, gue sangat menikmati hari-hari terakhir sebelum WFH. Waktu itu tinggal kita berdua di kantor. Ya, gue seneng banget. Tadinya bahkan gue enggak kira kita sering chatting, dan ternyata itu adalah hal yang sering kita lakukan. Bisa dibilang hampir setiap hari ada saja bahan pembicaraan. Lucunya, yang dibicarakan itu bukan tentang kerjaan. Lebih lagi, gua justru kaget saat lu mulai cerita tentang masalah lu. Wow! Gue inget, pertama kali lu cerita itu pas kita lagi makan siang berdua. Itu gue kaget banget karena sebelumnya gue mau cari topik obrolan, tapi lu malah memulainya dengan menceritakan masalah hidup lu. Sangat tidak menyangka lu akan menghadapi masalah seberat itu. Lu mulai cerita tentang beasiswa, pekerjaan, dan sedikit menyangkut tentang keluarga lu. Sekali lagi, gue kaget bukan main. Bagi gue, orang yang jarang cerita, kalau sudah cerita tentang keluarganya itu sudah personal banget. Makanya gua agak shock.
Waktu kita mulai WFH, gue enggak bakal kira juga kalau kita jadi sering chatting. Hati gue langsung berkata, wow, sebegitu enggak menyangkanya gue. Ada satu titik di mana kita punya pemikiran yang sama. Lu bilang kalau Roger Edward mirip tokoh Gru di Despicable Me. Menurut gue itu aneh sih, tapi lucu karena gue juga merasa dia mirip banget sama Gru. Hahaha. Satu bulan kita saling chatting hanya bahas soal kerjaan, jujur gue uring-uringan karena enggak biasa. Kita yang sering ngobrol di luar kerjaan tapi selama sebulan itu hanya kerjaan yang diobrolin rasanya aneh buat gue. Gue tahu seharusnya gue enggak bawa perasaan, mungkin memang gue lagi sensi jadinya gue enggak suka bercandaan lu. Jujur saja. Akhirnya waktu lebaran gua minta maaf ke lu soal ini dan setelahnya kita mulai ngobrol-ngorbol lagi.
Akhir Juni lu sudah mulai membicarakan resign. Ya, Tuhan. Gue sedih itu. Bahkan, gue lupa tepatnya kapan, sebelum kita kerja dari rumah lu sudah mulai tanya-tanya soal resign ke Kak Rara. Itu gue sedih banget, literally sedih karena lu itu orang yang selalu berantem sama gue, selalu tolong gue, teman cerita gue, tapi lu mau keluar. Gue masih belum bisa bayangin itu. Kayak 'Apa sih ini. Gue enggak mau ditinggal'. Dan pembahasan ini berlanjut sampai bulan Juli akhir. Jujur banget, Kak. Rasanya gue mau tahan lu buat jangan keluar, tapi kelihatannya gue terlalu egois. Jadi, gue hanya bisa dengerin lu dan kasih pendapat kalau lu minta. Dalam hati gue enggak bisa iklhas, Kak. Jujur. Sampai di suatu saat, pada pembahasan yang sama, gue nangis lagi. Senangis itu, sekejer itu. Gue pernah cerita, gue nangis kejer, nangis yang benar-benar nangis, bukan? Ya, segitu gue nangisnya dan mungkin bisa lebih parah lagi. Bahkan kalau gue lagi kerja, gue inget banget Mbak Niken juga mau resign, gue nangis lagi. Kayak, semua aja keluar sekalian dan gue ditinggal sendiri di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Atidhira
RomanceAtidhira bukanlah namanya. Alam semesta yang memberinya nama demikian. Mengemban rasa yang tidak tahu berakhir seperti apa, begitu tabah dan berani mencintai seorang laki-laki tinggi, Elwin, rekan kerjanya sendiri. Lizbeth. Bak potongan tanya yang h...