mon

52 5 9
                                    

Tin-tin-tin!

Setiap aku melangkahkan kaki, seperkian detik terdengar klakson dari para pengendara. Aku tidak memperdulikannya, pikiran ku sudah terbawa oleh perkara yang diriku buat. Entah apakah nanti diri ini layak mendapatkan maaf atau tidak, aku hanya ingin mengejarnya dengan penuh penyesalan.

Hari itu. Aku hanya ingin menyampaikan satu kata atas setiap perkataan dan perbuatan. Katanya kata ini adalah salah satu kata yang mujarab. Aku harap kata ini bisa menjadi makna yang indah untuk perpisahan yang terlihat buruk.

Terlalu bodoh untuk berlari di tengah hujan yang lebat, tetapi otak ini pun tidak bisa diandalkan. Orang-orang berpayung hanya menatap ku dengan keheranan. Dengan tatapan yang sama, aku pun berpikir 'apa ada yang salah? Apa ini terlalu dramatis? Apa mereka tidak pernah menonton drama, dimana sang tokoh wanita utama mengejar tokoh pria utama yang hendak pergi?'

Yah...

Memang bodoh.

Terlalu bodoh.

Setelah sampai di tujuan, sejenak menundukkan tubuh ku guna mengistirahatkan diri. Tanpa sadar, netra ini menangkap objek di genggaman tangan. Ternyata aku membuat asumsi yang salah. Sedari berlari tadi aku sudah menggenggam payung di tangan, tetapi dibanding memakainya aku hanya berlari seperti orang linglung.

Lantai di sekitar ku di penuhi air, aku merasa bersalah. Mengingat alasan mengapa gadis seperti ku berani menembus hujan, segera tanpa basa-basi mencari sang tokoh pria utama. Bandara ini terlalu besar jika hanya mengamatinya dengan kedua netra kecil.

Lagi-lagi kaki ini menarik ke suatu tempat, seharusnya kali ini aku diam saja. Bagi ku kaki ini memberikan inisiatif anti zona nyaman.

Setiap waktu hati ini mengucap maaf dan berdoa agar tidak ada penyesalan. Aku hanya tidak ingin terjadi penyesalan di atas kepergian, karena begitu menyakitkan.

"Permisi, nona kecil. Kau menghalangi jalan seorang pangeran."

Segala rutukan, tanpa aba-aba membuka keluar dari tempatnya sendiri. Objek yang begitu indah jika harus ku deskripsikan dengan satu kata.

Linang air yang tak terlihat diakibatkan sisa tangisan semesta, aku hanya bisa menganggukkan kepala dengan irama.

Aku benci perpisahan. Aku tidak mau merasakannya sekalipun hal itu menjadikan diri ini egois. Aku membencinya. Tetapi, aku juga menyayanginya. Aku ingin memilikinya, tetapi, ada kata 'tidak' di dalam hati ini.

"Apa... aku mempunyai hak untuk mencegahmu?"

Semacam pengakuan berkedok salam perpisahan.



























~~~

ⓣⓗⓔ ⓢⓚⓔⓣⓒⓗ

~~~

The SketchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang