Kisah itu bagaikan suatu kepingan kaca, buka kaca yang utuh. Kadang, ada beberapa bagian tajam yang mengundang rasa waspada. Namun, bagian lainnya masih sanggup untuk memantulkan objek yang ada.
Tidak bisa dinilai dengan satu pandangan, apa yang orang lain lihat, apa yang orang lain rasakan. Hal itu pasti berbeda dengan kita.
Sebenarnya lebih banyak pertanyaan yang harusnya ditanyakan, tetapi lebih baik untuk tidak. Kenyataan itu ... tidaklah semurni itu.
"Blue, apa kamu yakin dengan karya mu?"
Ah... salah satu pertanyaan yang enggan dijawab. Ini pengalaman pertamaku, tentu tidak semudah itu untuk percaya diri mengatakan 'ya'.
"Mungkin, lebih tepatnya bisa jadi...?"
Mark yang duduk persis di depan ku sambil menyantap es krim rasa vanilanya, hanya mengangguk. Entah untuk apa anggukkan itu, entah untuk reaksinya terhadap rasa enak dari es krim, atau karena ia sendiri sudah menebak kalau aku akan menjawab seperti itu.
"Garing, ah questionnya. Tanyain yang lain dong, pertanyaan macam itu buat gue bukannya bikin percaya diri tapi malah bikin tambah ragu, tau." Cerca ku panjang, tapi tetap saja lelaki itu hanya mengangguk. Hah... memang ya kalau orang lagi makan itu ga bisa diganggu.
Hari ini aku hanya berencana untuk menghabiskan waktu sendirian, ya... rencananya. Tapi, baru membuat rencana salah satu teman terbaik ku datang. Katanya sih dia stress mengikuti pelajaran di kelas, iya sih beberapa bulan ke depan memang tidak ada jadwal kompetisi atau project dalam musik. Jadi Mark bisa santai.
"Lo ga itu lagi sama your crush?" Mark melemparkan pertanyaan amat random yang bisa menyadarkan secara penuh seluruh indera ku. Rasanya senang ditanya seperti itu, walaupun memangnya sampai mana kedekatan ku dengan Jayden?
Aku agak berpikir sejenak untuk menyusun kalimat, "ya lagi ga gimana-gimana." Akhirnya hanya tersusun kalimat gantung.
"Dasar aneh, orang udah di depan mata jaman masih main secretly? Minimal confess dong, maksimal tembak kalo bisa." Rekomennya dengan sedikit humor dan isi yang basi. Maksudnya, memang tidak salah tapi kan tidak semudah itu.
"Maksimalnya ajak ke altar ga sih?" Tanggap ku dengan gurauan juga.
Mark memberi ku tatapan aneh disertai dengan sebelah alisnya yang sedikit naik.
"Ga usah sok deh lo, ketauan foto diem-diem aja salting."
Mark, sialan.
£££
"Sekarang kita akan belajar mengenai akting dalam teater, dalam teater terdapat ...."
Sekarang sudah waktunya untuk kembali ke kenyataan yang benar-benar kenyataan, suara guru yang berada di depan terdengar samar dari tempat duduk ku. Bukan masalah jarak tempat duduk, tapi karena ini dekat jam pulang sekolah. Cuaca hari ini tidak terlalu panas, mending lah ada angin sepoi yang lewat. Namun, karena suasan seperti menghipnotis otak untuk beristirahat.
Sambil berpikir nanti pulang mau naik bus atau menumpang saja? Pilihan kedua memang pilihan terbaik sih, tapi siapa ya yang bisa aku minta. Haruskah ke Jay? Tapi hari ini dia hendak bermain basket bersama teman-temannya, tumben sih. Tapi gak apa-apa dari pada dia gabut di rumah dan malah mengganggu ku.
Pilihan terakhir ada di Mark, ga mau tau dia harus bersedia mengantar ku pulang.
"Sorry not to sorry, bukan masalah ga mau tapi hari ini. Khusus hari ini arah balik gua lagi beda nih."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sketch
Fanfiction"Tanpa pewarna kertas akan tetap putih, tanpa pola maka tidak ada kisah di dalamnya."